Dream

130 12 1
                                    




Tungkai kaki ramping berbalut celana denim hitam itu melangkah keluar dari Mini Cooper birunya.

Hari Rabu yang cerah, dan Seokjin memutuskan untuk mengambil jatah cutinya yang hampir dua tahun tak pernah ia gunakan.

Sebelah tangan menggenggam ponsel dengan layar menyala terang menampakkan sebuah peta. Bibir merah muda tebalnya tersenyum lebar menatap bangunan semi klasik berseberangan dengan kakinya berpijak.

"Inikah tempatnya? Terlihat mewah sekali..." Pikirannya sudah terlebih dahulu membayangkan bentuk ruangan yang mungkin akan menjadi tempat tinggal barunya sebentar lagi.

Ia akan memasuki sebuah pintu panel kokoh berwarna putih dengan kenop hitam doff.
Di hadapannya terhampar ruang tanpa sekat berbentuk kotak sedikit memanjang dengan dua buah jendela berdampingan pada satu sisi dinding berwarna kuning gading pucat.
Di bawah jendela itulah ia akan menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan di atas sofa lamanya.

Seokjin terkekeh pelan.

Begitupun dengan seorang pria yang memperhatikan wajah bersemu itu sejak ia menuruni kendaraannya. Namjoon mengulum senyum lalu menggeleng singkat.

"Sedang apa ia disini?"
Manik gelap itu kemudian beralih pada seorang pria tua berpakaian serba hitam beberapa meter di sisi kirinya.

Bola mata berkabut abu-abu itu terus memandangi wanita cantik yang baru saja keluar dari sebuah restoran mewah.
Kim Geurim.

Namjoon memutar tubuh lalu berjalan dengan langkah besar, hendak bertanya namun urung ketika suara decit roda kendaraan membuyarkan konsentrasinya.

"Tidak......tidak......" Mata naganya menegang dengan dahi berkerut tipis.

Pejalan kaki juga beberapa pengendara mulai membentuk sebuah barikade melingkari tubuh yang tergeletak tepat di tengah perbatasan jalan.

Namjoon berbalik dan pria tua itu telah berada di tengah-tengah kerumunan. Menatap heran pada seorang anak remaja yang tergolek pasrah di samping sepeda berkeranjang besar.
Sesaat kemudian pria bersurai putih itu melirik datar padanya.

Manik gelap itu masih tak berkedip, kepalanya dimiringkan saat otaknya berpikir keras.

"Pengantar roti itu tidak seharusnya mati hari ini..."

Namjoon terus memperhatikan pria tua itu mengulurkan tangan keriputnya, membujuk pemuda polos yang bertanya-tanya tentang jasadnya yang terbaring mengenaskan di tengah jalan.

"Ah........" Namjoon menggeleng singkat saat pandangannya tak sengaja beralih ke seberang.

Kedua tangan bertaut di dada, Seokjin menggenggam erat ponselnya dengan tatapan kosong terarah pada sepatu kets hitam pudar yang terbujur kaku mengintip dari balik kerumunan.



Malam itu Seokjin hanya memandang langit kamar mandinya dalam keheningan. Takut jika ia menenggelamkan kepalanya lagi maka suara-suara itu akan kembali muncul. Bibir bawahnya terkulum lemah.

Tetangganya sama sekali tak terdengar malam ini. Mungkin mereka sudah berdamai atau bahkan berpisah, pikirnya.

Ingatannya kembali pada peristiwa nahas yang mengawali harinya.

"Ia hanya seorang pemuda yang masih memiliki banyak kesempatan dalam hidupnya......." Lirihnya hampir tak terdengar. Kepalanya mulai terkulai bersandar pada bahunya sendiri.

"Seharusnya kau tidak melihat itu, Seokjin...." Namjoon tertunduk melipat kedua tangan di dadanya.

"Ini seharusnya menjadi hari yang menyenangkan....." Seokjin terkekeh pelan.

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang