Vow

41 5 0
                                    




"Kakimu masih sakit, Namjoon?" Seokjin mengintip dari balik pintu kamar sang pria yang tengah duduk di tepi tempat tidurnya.

"Sayang........." Namjoon mengangkat kepalanya lalu tersenyum, diturunkannya tungkai jenjang yang sejak tadi diusap-usap itu kemudian mendekat untuk mempersilahkan Seokjin masuk.
"Kau bangun pagi sekali, apakah semuanya lancar?" Senyum manis dan lesung pipi tercetak jelas di wajahnya.

Seokjin mengangguk.
"Ada pasien yang akan menjalani terapinya hari ini"
"Lalu aku tidak ada jadwal apa-apa lagi, jadi aku bisa dengan leluasa mempersiapkan diri untuk pernikahan Jimin..." Kedua sudut bibir merah muda itu terangkat.

"Ikutlah bersamaku malam ini"

"Jimin telah menyiapkan tempat khusus untukmu dan Jackson agar kalian tidak harus berinteraksi dengan tamu lain"

"Benarkah? Jimin melakukan itu untukku?" Manik gelap sang pria sedikit membulat mengikuti langkah sang kesayangan duduk di kursi bersebelahan dengan tempat tidurnya.

Lagi-lagi sang pria mengangguk. Pipi bulatnya bersemu terpapar cahaya matahari yang menembus tipis melewati tirai yang berayun pelan tertiup angin.
"Biar kulihat luka di kakimu...." Seokjin kemudian berpindah ke samping tempat tidur, menunggu sang pria menaikkan celana piyama hitamnya.

"Aku ceroboh saat tidur...." Namjoon mengusap tengkuknya singkat sebelum celana piyamanya diangkat pelan.

"Aku........."
"Mendengar semuanya, Namjoon" Tangkai besi yang mencapit gumpalan kapas itu perlahan terulur menyentuh sisi-sisi kulit terbuka di bawah lututnya.
Namjoon sedikit berjengit saat cairan antiseptik itu mengalir menyentuh lukanya.
"D-dengar?"

"Apa yang kau ucapkan pada Jackson saat ia pergi dari rumah ini beberapa hari lalu" Dengan telaten kapas itu ditekan lembut.

"Seokjin........." Kedua tangan mengepal di depan bantal yang dipeluknya.

"Dan dalam mimpimu kau selalu berteriak ketakutan...." Seulas senyum tipis menghias wajahnya. Perlahan plester besar bergambar alpaca itu melekat menutup luka pada tungkai jenjang sang pria.

"Tapi kau tidak pernah bercerita siapa yang membuatmu ketakutan seperti itu" Seokjin tertunduk membereskan obat-obatnya.

"Sayang......" Alisnya menukik turun seiring tubuhnya yang beranjak mendekat, kemudian sontak menjauh saat sang pria berdiri.

"Maaf......aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun"
"Aku......hanya tak kuasa untuk menyampaikannya dengan kata-kata"
"It's too painful......."

Keduanya kini tertunduk. Seokjin terdiam di belakang meja menghadap jendela.

"Seokjin, please say something....." Namjoon bergumam dengan dahi berkerut takut.

"Jadi.....kau harus mengambil nyawaku, Namjoon?" Sang pria berbalik dan tersenyum lembut menatap pucuk kepala yang masih tertunduk dalam.

Namjoon mengangguk pelan.

Hela nafas panjang berhembus, langkah kakinya bergerak mendekat.
"Dan kau akan terbebas dari kutukan?"

Namjoon mengangkat bahunya ragu.
"Itu yang Tetua katakan padaku"
"Tidak ada yang tahu apakah ia berkata yang sebenarnya atau tidak"

"Apa yang kau takuti dari itu?"

"Rasa sakit yang terus berulang ketika melihatmu menghilang......." Gumam pelan meluncur dari bibirnya. Ia kembali duduk di tepi tempat tidur.
Seokjin terdiam.

"Dan rasa sesal saat tangan ini yang harus menghilangkan nyawa dari belahan jiwaku..."
"Alsaanku untuk tetap bertahan"

Salivanya terteguk pelan. Seokjin mengerjap singkat sebelum menghela nafas.

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang