Hourglass

141 11 0
                                    




"Mengingat mimpi?" Mata sipit itu membola.

"Iya...." Seokjin tertawa kecil mengusap tengkuknya.
"Aku bermimpi buruk malam tadi tapi tidak bisa mengingatnya"

"Apa yang kau rasakan saat bangun?" Jimin bersandar pada bangku dengan tangan masih memainkan penanya di atas meja.

"Sesak...." Tawanya semakin terdengar jelas.
"Karena aku terlungkup dan wajahku tertutup bantal"

"Ah.......kau bodoh, Seokjin" Pria itu ikut tergelak dan kembali menegakkan tubuhnya.

"Tapi......"

"Kau baik-baik saja kan? Maksudku...."
"Kau tidak sedang merasa tertekan atau sedih?"

"Kau mengira aku berniat mengakhiri hidupku, Jimin?" Bergantian, Seokjin menyandarkan punggungnya seraya terkekeh pelan.

Mata kecil itu menatapnya serius.

"Tidak.....tidak, Jimin...."
"Aku tidak memiliki keberanian untuk itu" Dengus senyum berhembus singkat dari bibirnya.




"Aku mendengar suaramu...." Seokjin menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam busa putih bertabur kelopak ungu dan merah.
"Sama seperti hari-hari sebelumnya"

"Tapi aku tidak bisa mengingat namamu, rupamu, apa pesan yang ingin kau sampaikan...."
"Aku bahkan tidak ingat apa yang terjadi"

"Dan malam ini entah kenapa aku merindukanmu...."

"Kemana suara merdu yang biasa kudengar dan membuatku bergidik ngeri?"



"Pemuda itu tidak seharusnya mati hari itu, Namjoon" Sang sepuh duduk dengan tongkat kayu tipis berkepala berlian hitam.
Cincin berbatu merah darah melingkar di jari telunjuknya, berkilauan diterpa sinar lampu jalan yang hampir memudar.

"Aku menunggu wanita itu.....bukan sang pengantar roti"
"Ada sesuatu yang tidak benar....."


"Katakan, tuan...." Namjoon merendahkan kepala separuh berbisik.
"Apakah kau akan mengambil Kim Geurim dalam waktu dekat?"

Pria tua itu memiringkan senyumnya. Batu merah yang bertengger pada cincinnya diputar-putar dengan ibu jari. Sesaat kemudian tatapan matanya terarah pada dua kakak beradik yang tengah berlarian beberapa langkah dari tempat mereka duduk.

"Lihatlah mereka...." Kedua tangan berkerut saling menumpu di atas kepala tongkatnya. Dagunya ditopang pada punggung tangan teratas.

"Tertawa lepas tanpa mengenali keberadaan kita"
"Apa kau merasa kasihan?"

Namjoon menggeleng pelan. "Apa yang sudah digariskan tidak akan bisa berubah"

"Semuanya berubah saat ini, Namjoon...." Pria tua itu menoleh dengan gerak lambat.
"Seperti yang telah kukatakan.......ada sesuatu yang tidak semestinya terjadi"

"Sang Waktu sepertinya tidak sedang baik-baik saja......."

"Damnit, Jack! Apa yang telah kau lakukan....." Namjoon mengepal kedua tangannya di depan bibir.

"Pergilah....."
"Tugasmu belum selesai bukan?" Pria tua itu tersenyum sendu sebelum menghilang.

. . .

Lengkingan tertahan seolah akan memecah gendang telinga sang pria. Kuku-kuku pucat panjang menggapai bergantian kanan dan kiri meraih sesuatu yang baru saja diambil paksa oleh sang pria.

"Diam.....kumohon diamlah!" Setengah berbisik, Jackson berusaha menahan sebuah jam pasir dalam dekapannya.
"Aku tidak sengaja......"

Pusaran angin juga suara gemuruh mengibarkan surai hitam panjang tak berujungnya, sosok polos berkulit pucat mengerang kesakitan, bersimpuh lemah dengan lelehan air mata yang mengalir deras.

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang