Home

47 7 0
                                    




Alas tidur empuk dan hangat di bawah piyama birunya sama sekali tak membuat Seokjin merasa nyaman. Jantungnya terus berdegup resah sejak sahabatnya pulang satu jam lalu.

Ia menyibak selimut tebalnya, duduk sebentar di tepi tempat tidur kemudian berjalan perlahan menuju jendela kamarnya.

Salju tak lagi terlihat deras namun batang-batang ranting pohon terus bergerak dengan liar. Seokjin menggeleng kemudian berjalan cepat mengambil jaket tebal bertudungnya.


Boots coklatnya tertatih menyusuri jalan sepi dan licin. Manik hazelnya terus berkeliling memindai seluruh sisi jalan, dirapatkannya jaket bulu bertudung itu setelah angin dingin berhembus kembali menerpa tubuhnya.

Seokjin terus berjalan menyeberangi jalan, kemudian melambat saat kakinya tiba di ambang pagar pendek yang membatasi taman.
Jantungnya kembali berdebar. Ada rasa takut jika yang akan ia temui bukanlah sosok yang ia cari. Kembali jemari berbalut sarung tangan itu meremat jaket tebalnya.

"Namjoon?" Ia berbisik pelan dengan bootsnya yang mulai melangkah diantara semak-semak pendek.

"Namjoon?" Ia menepis ilalang-ilalang tinggi kemudian memalingkan tubuhnya sejenak. Seokjin meneguk salivanya dengan degup jantung yang semakin kencang.

Sadar dirinya telah berjalan terlalu jauh dari taman kota. Ia merogoh-rogoh saku jaket juga celananya. Seokjin meninggalkan ponselnya yang akan ia gunakan untuk menerangi jalan yang semakin gelap.

Hela nafas panjang berhembus.
"Tenang, Seokjin....." Kedua kelopak matanya terpejam seiring niatnya menenangkan diri.

"Namjoon..." Panggilnya lagi dengan suara lebih keras yang juga mengejutkan dirinya.

Suara daun bergesekan membuat bahunya berjengit. Seokjin melangkah mundur. Sosok berpakaian hitam itu terlihat berdiri dengan cepat dan berpaling dari balik sebuah pohon besar.

Desah keras berhembus dari bibirnya yang bergetar.
"Kemarilah......." Telapak tangan itu terulur pelan.
"Jangan lari lagi....."

"S-Seok........"

"Ini aku...." Seokjin mengangguk-anggukkan kepalanya. Air matanya mengalir tanpa ia sadari.

"Ini aku, Namjoon...."

"Kemarilah" Dihentakkannya pelan tangannya yang masih terulur.

"Aku akan menyakitimu lagi....." Suara berat itu lirih. Seolah sang malaikat telah kehilangan seluruh tenaganya.

Isak keras terhalang telapak tangan itu memotong kalimatnya. Namjoon memiringkan kepala kemudian melangkah ragu.
"Jangan menangis......."

"Kembalilah, Namjoon......jangan pergi lagi..." Suaranya bergetar, isak tangis terus terdengar dari balik sarung tangan pinknya.

Senyum tipis menghias bibirnya yang membiru.
"Jangan menangis" Sosok tegap itu hanya berjarak tiga langkah di hadapannya. Kepulan uap hangat menghalangi raut wajah bahagianya.

"Oh.....Namjoon....." Kedua alisnya menukik sedih. Bibir sang pria kembali berlekuk menatap wajah tirus dan pakaian lusuhnya.

"Aku.......lapar sekali...." Namjoon terkekeh pelan mengusap perutnya.

Dengus tawa pelan berhembus seiring isak tangisnya yang semakin keras.
"Akan kubuatkan sup hangat juga roti enak..."
"Pulanglah......"


Langkah beriringan dan lengan mendekap tubuh bergidik dingin, Seokjin sesekali menoleh pada sang pria yang berjalan tertunduk di sampingnya. Rambut-rambut pendek telah menghias rahang tirusnya, tubuhnya terlihat lebih kurus dengan jaket hitam besar yang terus dipeluk erat.
Ia lalu tersenyum saat sang pria tak sengaja menatapnya.

Namjoon memperlambat langkahnya.
"Aku ingin sekali memapahmu....."
"Kakimu sakit lagi?" Raut wajah khawatirnya mengamati langkah sedikit tertatih sang kesayangan.

"Aku tidak mau kau lebih menderita dari ini, Namjoon...."
"Lebih cepat kita sampai, lebih cepat kau bisa menghangatkan tubuh dan makan"
"Ayo!" Seokjin kembali mempercepat langkahnya dengan senyum lebar.

"Seokjin......jangan.....kumohon" Kali ini tungkai jenjang itu terdiam.
"Kau.......sangat berarti bagiku"
"Aku masih bisa menahan lapar"
"Tapi aku tidak bisa menahan rasa sakit jika sesuatu yang buruk terjadi padamu"

Tudung jaketnya tersibak saat angin kencang berhembus. Seokjin memiringkan kepalanya menatap sang pria. Lalu tersenyum lembut dan mengangguk.

Lesung pipi manis yang lama tak ia lihat pun tercetak di wajah lelahnya. Namjoon melangkah lalu menjulurkan kedua tangannya dengan hati-hati.
"Jangan bergerak...."

Seokjin terpejam saat jemari sang pria memasang tudung jaketnya kembali. Suara berat yang selalu membuatnya terlena, tubuh tegap yang selalu membuatnya merasa terlindungi, hembusan nafasnya yang terdengar sangat dekat.

Kelopak matanya berayun terbuka.

Namjoon meneguk salivanya kasar. Manik hazel itu menatapnya lembut, pipi bayi bulatnya merona kemerahan, sudut bibir penuh itu terangkat tinggi.

Ia menggeleng dan mengusap tengkuknya.

"Kurasa aku belum terlatih untuk berada dekat denganmu...."


"Jadi selama ini kita saling berdekatan....." Namjoon mendengus tersenyum saat Seokjin tiba-tiba berbelok lalu membuka pagar rumahnya.

"Ayo lekas masuk, Namjoon....anginnya semakin kencang!" Seokjin tertawa kecil dan berjalan cepat untuk membuka pintu rumahnya.

Hangat. Nyaman. Namjoon menarik nafas menghirup harum vanilla dan lavender yang menguar setelah pintu ditutup di belakangnya.

Manik gelapnya mengikuti sang pria yang bergerak menuju kamar mandi. Suara keran air mulai terdengar. Ia tersenyum mengenang masa-masa kebersamaan mereka beberapa waktu lalu. Kemudian ia teringat sesuatu, dikeluarkannya bungkus plastik dari saku jaketnya.

"Apa itu?" Seokjin yang baru saja keluar dari kamar mandi memiringkan kepalanya.

"Ini mengingatkanku padamu....." Namjoon terkekeh pelan.
"Aku meminta Jackson untuk membelikannya" Tangannya terulur menyerahkan sebuah botol berwarna ungu.

"Namjoon.........." Seokjin mendengus tersenyum, kedua matanya kembali berkaca-kaca.
"Aku merindukanmu.......sangat....."

"Dan.....ini......aku menghabiskannya separuh"

Lagi-lagi Seokjin tersenyum. "Kau ingat kesukaanku...." Ia tertunduk memeluk plastik berisi sisa permen jelly yang terulur dari tangan dingin sang pria.

"Bersihkan dirimu...."
"Aku akan memasak makanan yang enak untukmu" Kepala itu ditegakkan dengan senyum lebar.


"I-ini terlalu banyak...." Namjoon meneguk salivanya menatap bermacam hidangan di atas meja makan. Harum masakan kembali membuat perutnya berbunyi nyaring.

Seokjin tertawa, dengan cepat mengambil mangkuk lalu mengisinya dengan sup ayam yang masih mengepul.
"Ayo dimakan, Namjoon....."

Namjoon pun menurut lalu segera duduk dengan mata mengikuti gerak sang pria yang masih sibuk memindahkan makanan untuk mengisi piring-piring di hadapannya.
"Kau tidak makan?"

"Sudah, Namjoon.....Jimin membawakan aku ramen sepulang kerjanya sore tadi"
Kedua tangan menopang dagu, Seokjin memperhatikan sang pria yang mulai menyeruput kuah sup hangatnya. Lalu tersenyum lebar ketika sang pria semakin lahap menikmati masakannya.

"Kau bertemu dengannya bukan?"

Gerak rahangnya melambat. Namjoon mengangguk pelan dan merebahkan sumpitnya di atas manguk nasi.

"Maafkan Jimin karena tidak memberitahu keberadaanku, Namjoon....."

Sang pria menggeleng. "Aku mengerti kekhawatirannya, Seokjin...."
"Dan......melihatmu dari kejauhan pun telah mengobati kerinduanku walau sedikit"

"Tapi kau tidak akan merasakan ini...." Sepotong daging panggang tercapit pada ujung sumpit tiba-tiba telah menunggu di depan kepala tertunduknya.

Namjoon mendengus tersenyum lalu bergerak mendekat. Disambutnya suapan daging itu hati-hati.

"Lagi......" Kepala yang dimiringkan, senyum lembut dan sorot mata teduh itu membuat telinga Seokjin memerah.

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang