Tangannya masih menggapai-gapai saat tungkai kaki jenjang itu menapak pada rerumputan.
Ringkik keras binatang gagah bertubuh kekar itu membulatkan matanya ngeri. Namjoon berguling menghindar.
Kuda hitam itu pun menurunkan kakinya kemudian berlari. Bersama dengan kawanannya yang membawa pasukan-pasukan berpedang pada punggung berzirah.Sepasang alisnya terangkat tinggi, sosok berbalut seragam perang dengan teriakan nyaring itu adalah dirinya. Bilah tajam penuh merah itu terayun di atas kepala seiring kepalan tangan menggenggam tali kekang.
Ia melihat tubuh tegapnya berlumur darah, suara berat menggeram seiring hantaman serangannya.
"Aku berada di medan perang saat malaikatku menerima kabar fitnah sang jendral....."
"Tepat saat aku bersama para prajuritku meneriakkan kemenangan"
"Saat kemudian sorak sorai mengiringi langkah kami pulang"
Ingatannya kini berada tepat di depan mata.Panggilan tegas itu menolehkan kepalanya. Pasir emas di atas telapak tangan sang Waktu terus berjatuhan.
Sekejap kedipan mata, keduanya telah berada di ruang kamar sang baginda ratu. Namjoon tersenyum lembut menatap sosok berbalut satin putih berkerah lebar di belakang sebuah meja dengan botol-botol obat yang dirapikan oleh jemari lentiknya.
"Malaikatku........Seokjinku......" Tangan gemetar itu terulur perlahan.
"Tentara....."
Namjoon sontak menarik kepalan tangannya.
"Jangan menyentuh apapun di masa lalu yang bisa berakibat fatal di masa depan..." Manik bening biru itu menatapnya tegas.Senyumnya kembali terkembang. Pria manis itu sedikit kerepotan membawa baki perak berisi bekas peralatan makan juga obat-obatan sang baginda. Hingga seorang pelayan berlari tergopoh membantu mengambil baki itu lalu segera pergi untuk mencucinya.
Seokjin membungkuk tersenyum sebelum tubuh rampingnya bergerak keluar. Dan seorang ajudan yang ia ingat betul sosoknya itu pun berjalan cepat dengan raut wajah penuh sesal dan ketakutan.
Manik besar indah itu pun berangsur sendu. Bibir merah mudanya tergigit kelu dengan jemari bertaut kuat di dada.
"Inilah saatnya hati tunanganku hancur....." Kedua bahu Namjoon melemas.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Apa yang terjadi selanjutnya adalah sesuatu yang sama sekali tidak ingin Namjoon lihat. Seokjinnya berteriak dan berontak, namun tak satupun yang datang untuk menolongnya.
Deru nafas yang memburu. Kilat murka menutup manik gelapnya. Kepalan tangan mengerat seolah menahan agar tubuh gemetar itu tak menyerang sang jendral yang tengah bermain dengan tikus kecil tak berdaya di bawah kungkungan raga hinanya.
"Cukup......"
"Bawa aku pergi dari peristiwa ini" Sepasang kelopak mata itu terpejam erat. Namjoon membalikkan tubuhnya menghadap sang Waktu."Apakah kau benar-benar siap, tentara?" Sang Waktu menatapnya iba.
"Ingat....jam pasir ini tidak akan berhenti"
"Jika kita tidak kembali sebelum....."Ucap lirih itu terpotong oleh anggukan kuat kepala sang pria.
"Bawa aku pada akhir hidup tunanganku....." Dadanya berdenyut nyeri seiring saliva yang tertelan kasar.Remat jemari pada kain yang membungkus dadanya mengerat. Namjoon bersandar pada dinding dingin di belakang punggungnya. Rintih pilu dan air mata yang tak henti berderai seketika melemaskan kedua lututnya.
Surai hitamnya kusut menempel pada kening dan kelopak matanya yang basah. Tubuh ramping yang selalu bergerak anggun itu seolah menyempit di balik kain putih lusuhnya yang kotor dan tercabik. Pelipisnya terkoyak dengan darah kering berbekas pada garis pipinya. Seokjin bergelung tak berdaya di bawah pintu kayu besar dengan tatapan kosong.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fate
Fanfiction"I just want a normal life, but then i think of it....what is normal in general?" another [NamJin] story #angst #hurt-comfort #happyending in #anotherlife