36. Sebuah Fakta
Sisa liburan semester sudah selesai, kini Adira sudah masuk perkuliahan seperti biasanya. Kali ini Adira bisa masuk di kelas yang sama dengan dua sahabatnya, karena permintaan dosen pengampuh mata kuliah semester ini.
Sebagai mahasiswa hanya bisa menurut dengan dosen, selama hal itu masih masuk akal dan tak melanggar aturan pikir Adira.
Saat berjalan ke kelas, Adira mendengar mahasiswa lain sedang bergosip. Dan gosip itu terdengar jelas sampai di telinga Adira.
"Kalian harus tau berita terbaru...." ucap seorang gadis berambut pendek pada teman-temannya.
"Apa lagi?"
"Awas kalo gue udah tau," ancam temannya yang lain.
Gadis itu terlihat tenang dengan wajah yang gembira. "Gue yakin sih! Kalian gak akan tau ini kalo bukan dari gue."
"Emang apasih?" desak teman lainnya.
"Jadi... Kak Dylan udah tunangan dan bakal nikah bulan depan!"
"What!"
"Bohong lo!" tuduh gadis yang sempat memberikan ancaman tadi.
"Kagak! Apa untungnya gue bohong?"
"Bener sih! Gak mungkin juga buat berita bohong," bela temannya yang percaya.
Entah mengapa Adira hanya sedikit merasa sesak, selebihnya dia merasa sangat lega. "Semoga berita ini benaemr Ya Allah," batinnya.
"Hei!"
"Astaghfirullah, kalian!"
Syafa dan Adesya tertawa puas karena berhasil membuat Adira terkejut. "Mukanya itu lo Fa. Komuk banget... tapi masih cantik!"
"Hhahaha, bener banget... Adira mah ekspresi kayak apapun cantik aja terus ya."
Adira hanya menghela napas kasar dan berusaha untuk tidak memarahi kedua sahabatnya ini. Saat tak sengaja dia melihat jam, kedua mata Adira membesar karena terkejut. Dia langsung merangkul keduanya yang masih belum puas tertawa.
"Eh! Mau kemana tah?" tanya Adesya terkejut.
"Kelas Sya... lo mau bolos lagi?" tanya Syafa. "Btw kita udah telat kan?" tanya Syafa lagi yang diangguki oleh Adira. "Makanya ayo kita ke kelas. Kalian ketawanya nanti lagi."
"Mana bisa gitu Ra?"
"Bisa-bisain. Aku gapapa diketawain kalian, tapi cancel dulu oke?"
****
Malam hari mereka berkumpul bertiga, hanya Abid yang tidak ikut karena dia sudah kembali ke kotanya. Awalnya mereka berjanji akan meluangkan waktu di minggu sore, tapi karena cuaca yang meburuk mereka mengantinya dengan sekarang.
Malik sendiri sudah mendapat pekerjaan di sebuah sekolah menengah yang ada di pinggiran kota. Walau harus menempuk jarak yang lebih jauh, Malik tidak masalah karena dia menyukai pekerjaannya.
Sedangkan Raden kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Karena masa perkulihannya belum mulai, Raden masih bisa sedikit lebih santai.
Sangat berbeda dengan Dylan yang kini ikut pekerja di perusahaan ayahnya. Dia harus rela mengantikannya.
"Lo beneran gantiin Om Andrew?" tanya Malik.
"Hem. Siapa lagi kalo bukan gue?"
"Gapapa... tetap semangat bro," Raden menyemangati Dylan.
"Thank. Btw... kerja kalian gimana?"
"No bad sih! Mungkin karena masih awal, jadi aman aja. Belum ada yang aneh-aneh kayak waktu kita PPL."
"Kalo lo Den?"
"Gue?" Menunjuk dirinya sendiri dan kedua sahabatnya mengangguk. "Kemarin sih sempet lamar kerja jadi tutor, mau coba kerja sambil kuliah gue. Lagian kayaknya waktu luanganya lumayan."
"Serius lo?" tanya Malik tak percaya. Raden kembali mengangguk dengan yakin, dari raut wajahnya tidak terlihat jika dia berbohong.
"Semangat aja sih!" ujar Malik.
"Kok lo yang lemes Lik?" heran Dylan sambil tertawa karena wajah tertekan Malik yang terlihat lucu baginya.
"Bayangin aja gua gak sanggup, Lan."
"Jangan di bayangin, Lik. Tapi dicoba," ujar Raden tanpa beban.
"Emang ya cuman lo sama Abid yang suka hal-hal berat," pasrah Malik dengan sifat percaya dirinya Raden.
Raden dan Dylan yang mendengar itu tertawa, lalu tiba-tiba diam membuat Malik kembali waspada. "Lo berdua kenapa dah?"
"Agak aneh kalo gak ada Abid," jawab Raden lirih.
"Iya gue juga ngerasa kayak itu. Kayak ada yang kurang, Lik," tambah Dylan yang juga merasakan hal yang sama dengan Raden.
"Kalo libur panjang... paling juga bakal main ke sini. Tapi kalo enggak? Kita yang nyamperin aja!" usul Malik.
"Setuju," jawab Raden dan Malik dengan kompak.
Mereka kambali asyik berbagi cerita selama liburan ini. Sampai tiba-tiba ada seorang gadisnya yang menghampiri ketiganya dengan senyum yang merekah.
"Kak Dylan!" sapanya dengan senang.
Gadis itu tunangan Dylan-Jemima.
"Sama siapa Jem?" tanya Dylan.
"Sendiri. Ini temen-temen kakak yang waktu utu kan?"
"Iya. Masih ingat?"
"Masih Kak."
Raden dan Malik saling pandang, mereka merasa senang tapi juga sedih. Senang karena temannya mendapat pasangan yang baik, tapi juga sedih karena harapan Dylan bisa masuk Islam sudah pupus.
"Hem!" Seperti biasanya, jiwa-jiwa Malik langsung keluar. "Den, mau pindah aja gak? Ntar kita jadi nyamuk," tawarnya.
"Hm," Raden terlihat berpikir sesaat, "Boleh lah... ganggu juga kalo lama-lama disini."
Kedua segera bangkit ketika Dylan sudah siap mengomeli mereka.
"Eh!" Malik segera mundur satu langkah ketika hampir menabrak seorang gadis. "Dira? Sorry gue gak sengaja."
Gadis yang hampir ditabrak Malik karena tidak berhati-hati adalah Adira, mantan adik tingkatnya di kampus. "Aku juga minta maaf gak hati-hati juga," ucapnya.
"Sama siapa Ra?" tanya Raden.
"Sama Baba, Mas."
"Om Zai ada clien?"
"Enggak. Cuman nganter aku beli es cream aja," jelas Adira. Ketika pandangannya tak sengaja melihat ke arah punggung Raden, dia bisa melihat sepasang kekasih yang menjadi berita panas di kampus. "Kalo gitu, aku duluan ya Mas Raden, Kak Malik, Kak Dylan... dan?"
"Jemima," jawab Dylan.
"Kak Jemi," tambah Adira.
"Permisi. Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumussalam," jawab Raden dan Malik.
"Kalo gitu, kami duluan aja ya... Jangan lupa anak orang dianter Lan," pesan Raden sebelum merangkul Malik dan mengajaknya pergi.
****
Masuk ke kamar, Adira langsung memebersihkan diri. Dia berniat tidur lebih awal karena merasa sangat lelah. Dia juga merasa senang karena bisa melihat wajah yang akan menjadi pendamping dari laki-laki yang sudah membuatnya jatuh cinta.
Setelah ini, Adira harus benar-benar merelakan Dylan. Dia sudah menyiapkan diri untuk ini. Karena dia sadar, saat ini akan segera datang.
"Ternyata secepat ini ya?" gumamnya. "Apa Dira juga akan bertemu sosok imam yang akan membimbing Dira seperti Baba?"
Mata Adira terpejam, dia dengan mudah terlelap dalam tidurnya. Tanpa Adira sadari, Baba Zaidan mendengar ucapannya.
"Baba yakin Nak, putri Baba akan mendapatkan pendamping terbaik dariNya, aamiin."
#24Juli2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih Dylan
ДуховныеNazima Adira Alifa Al-Ghifari, gadis berusia 18 tahun yang baru masuk ke dunia perkuliahan. Di usia yang baru beranjak dewasa ini merupakan masa pencarian jati diri. Di masa ini pula, dia jatuh cinta. Jatuh cinta adalah fitrahnya manusia, setiap man...