Bab 2.

5.2K 219 2
                                    

Mia tampak menikmati hidangan malam ini dibading malam-malam sebelumnya. Malam-malam itu, ia tampak kacau dan nyaris tak ingin menyentuh makanan. Sampai akhirnya dipaksa oleh Yohan menggunakan bentakan hingga mau tidak mau ia harus makan.

Kali ini, Mia tidak perlu dipaksa. Yohan yang memperhatikan perubahan sang adik mengernyit bingung. Meski dalam hati ia senang ketika akhirnya kembali melihat wajah berseri sang adik.

Diam-diam Yohan tersenyum tipis. Mianya kembali. Gadis kecilnya yang kini bertransformasi menjadi gadis dewasa yang mandiri dan penuh pendirian. Juga sangat keras kepala!

"Jangan pernah berpikir jika kamu beban kakak. Itu tidak benar, Mia." Yohan tidak bisa menahan diri untuk mengingatkan Mia bahwa gadis itu adalah tanggungjawabnya. Bahkan meski ketika Yohan memiliki tanggungjawab lain sebagai suami sekaligus ayah.

Mia lantas berpaling cepat dan dengan hati-hati meletakan piring pada wastafel dapur. Setelahnya ia berpaling menatap sang kakak.

Mia tidak mengatakan apa-apa selain menunduk. Ia takut tidak bisa mengendalikan air mata di depan Yohan. Mia tidak mau Yohan berujung cemas. Ia tahu seberapa besar Yohan menyayanginya.

Yohan mendekat lalu memegang kedua pundak sang adik. Ia menatap gadis di depannya dengan kasih sayang yang tidak pernah berkurang."Tidak apa belum kerja! Tidak apa bila tidak kerja sekalipun! Kakak tidak peduli itu semua. Kakak masih sahat. Masih kuat kerja buat kalian. Kakak tidak butuh apa-apa dari kamu selain mengetahui bahwa kamu hidup sehat dan bahagia. Kakak tidak pernah menuntut supaya kamu kerja. Kakak juga tidak menuntut ganti rugi atas apa yang kakak kasih ke kamu selama ini. Itu tanggungjawab kakak ketika mengganti peran papa sama mama."

"Kakak memang pernah bilang sama papa juga mama kalau kakak belum sanggup jagain kamu. Sejujurnya, kakak sanggup. Bahkan sangat sanggup. Jika memang kata-kata itu yang bikin kamu sekacau dua bulan ini. Kakak minta, buang jauh-jauh pemikiran itu. Sebetulnya, hal yang tidak kakak sanggupi adalah kehilangan dua sosok berharga dalam hidup kita secara bersamaan yakni papa sama mama."

"Kamu hanya perlu sehat dan bahagia, Mia. Itu janji kakak sama mama, papa. Kakak tidak butuh apa-apa dari kamu selain kedua hal itu." Yohan menangis dan Mia melihat hal itu secara terang-terangan. Seketika itu pula rasa bersalah semakin menaunginya. Ia sungguh merasa bersalah atas sikapnya.

Mia menggeleng menangis lalu mengusap sayang setiap bulir air mata sang kakak."Jangan menangis kakak. Aku salah. Maaf buat kakak sedih. Maaf, kakak. Aku hanya merasa kurang berguna padahal susah payah kakak berjuang demi gelar yang saat ini ada dalam barisan nama aku."

"Seharusnya setelah mendapat gelar, aku tidak menyusahkan kakak dengan kebutuhan-kebutuhan rencehku. Nyatanya aku masih menyusahkan kakak."

"Aku melakukan semua itu agar bisa menjadi adik yang berguna yang tidak menyusahkan kakak terus-terusan."

"Aku tidak mau kakak berujung sakit gara-gara aku. Aku tidak suka kakak sakit. Aku tidak punya siapa-siapa selain kakak. Papa, mama pergi. Hanya kakak yang aku punya. Aku pengin bantu kakak dan bikin kakak bahagia juga bangga. Hanya itu."

Yohan menggeleng bersama setiap tetesan air mata yang tetap berjatuhan. Ia lalu membawa tubuh sang adik dalam pelukan."Jangan sakit. Kamu harus sehat dan bahagia. Itu lebih dari cukup. Jangan menyiksa kakak, Mi. Kakak tidak mau kamu sakit. Kakak sayang kamu. Kakak sayang kamu, Mia. Jangan sakit. Jangan sakit. Hanya kamu satu-satu peninggalan mama, papa yang paling berharga buat kakak."

Mia mengangguk mengerti dalam pelukan sang kakak."Aku akan hidup sehat juga bahagia kalau itu yang bikin kakak senang. Aku janji, kak. Aku janji." Tekadnya. Namun, dalam hati ia merasa sangat bersalah karena telah mengecewakan sang kakak.

Lantas terdengar helaan nepas lega Yohan. Ia merasa tenang mendengar hal itu.

Suasana haru melingkupi keluarga kecil itu. Sinta yang melihat kakak-beradik yang tengah menangis sambil berpelukan itu tak bisa membendung air mata. Wanita dua anak yang berdiri di balik pintu itu lantas tersenyum kecil disela-sela tangisan. Ia merasa lega. Sehabis ini, keluarga mereka akan kembli hidup. Sinta bisa menjamin hal itu.

***

"Dayung. Iya, begitu. Dayung terus. Dayang terus. Tisa bisa. Tisa bisa ..., terus sayang. Ayo dayung terus."

"Kamu bisa, Sa. Kamu bisa. Adik, kakak hebat. Ayo terus, Sa. Dayung. Dayang. Dayung terus."

"Di luar hebo benar." Yohan mengernyit bingung, pasalnya ketika baru keluar kamar setelah mandi pagi, ia mendengar suara-suara ribut dari luar.

Lantas Sinta menoleh cepat dengan senyuman cerah, secerah mentari pagi yang bersinar terang."Siapa lagi yang bisa bikin keluarga kita sehidup pagi ini kalau bukan Mia. Anak itu lagi mengajak main adik-adiknya." Sinta berseru senang. Senyuman berseri sejak tadi tidak berpindah darinya. Hal itu ikut menulari Yohan. Lelaki itu tersenyum lebar lalu mengambil alih kopi yang di bawa Sinta.

Soal anak-anak yang memanggil Mia kakak mereka tidak mempermasalahkan, karena dua bocah itu belum mengerti. Sering, Sinta maupun Yohan termasuk Mia sendiri telah mengingatkan perihal tersebut. Dia seharusnya dipanggil tante tapi anak-anak itu tetap saja memanggilnya kakak. Mereka yakin ketika bocah-bocah itu besar nanti dengan sendirinya mereka akan memanggil Mia seperti yang seharusnya.

"Saya mau gabung sama anak-anak. Sepertinya seru." Yohan tertawa. Lepas dan sedikit geli. Sinta yang melihat hal itu hanya bisa geleng-geleng kepala dengan senyuman geli.

Setelah mengatakan hal itu, Yohan membawa langkah keluar rumah dengan sebuah cangkir kopi di tangannya.

"Yeyeye ..., Tisa bisa. Tisa bisa." Dua nada berbeda terdengar kompak menyebutkan kata yang sama sambil menepuk-nepuk tangan sebagai bentuk dukungan untuk gadis kecil yang tengah mengayuh sepeda dengan gerakan-gerakan oleng dan kaku. Namun, tampak cukup berhasil karena sepeda roda dua itu tetap melaju pelan.

Perasaan Yohan menghangat begitu melihat pemandangan di depannya. Ia nyaris lupa kapan terakhir Mia bermain bersama adik-adiknya setelah tiga tahun lebih kuliah dan setelah dua bulan kepulangaannya gadis itu melupakan tentang kebersamaan dan sibuk mencari kerja. Mia terlalu fokus menyiapkan lamaran untuk disebarkan ke perusahan-perusahan sehingga ia banyak melewati hari-hari penuh tekanan.

Yohan cukup tersentil atas perubahan Mia. Ia tak pernah berharap sang adik akan seperti itu. Bagaimanapun, masih terlalu dini bagi Mia untuk mencari pekerjaan. Yohan hanya berharap setidaknya Mia memiliki waktu istirahat. Ia tahu seberapa besar perjuangan Mia selama ini. Anak itu terlalu gigih untuk mencapai apa pun demi memenuhi semua pengorbanannya. Dan Yohan tahu Mia melakukan semua ini karena tidak ingin perjuangannya berakhir sia-sia.

Yohan mendadak sentimental. Hatinya cepat rapuh jika itu menyangkut adiknya. "Akhirnya rumah kita kembali dipenuhi tawa." Suara itu membuat Yohan dengan sigap mengusap air mata. Wanita itu mendekat dengan membawa sebuah nampan yang berisi tiga gelas susu dan satu gelas teh. Sinta telah melihat semua yang terjadi.

Yohan mengangguk setuju. Kemudian bergabung duduk bersama Sinta pada tangga pertama teras rumah. Wanita itu bahkan masih memegang nampan yang di bawa.

Perlahan-lahan Yohan meletakan gelas yang di pegang pada lantai lalu mengambil alih nampan yang Sinta pegang. Lelaki itu memegang kedua tangan sang istri lalu di bawa ke mulut dan dikecup dengan sayang. "Terima kasih, Ta. Untuk semuanya." Setelah mengatakan hal itu Yohan kembali mencium tangan Sinta. Ia sangat bersyukur memiliki Sinta sebagai istrinya. Wanita itu begitu pengertian dan penyabar ketika menghadapi berbagai persoalan bersamanya.

Berkat Sinta, ia dan Mia saling berterus terang tentang persoalan dua bulan ini. Juga, berkat Sinta, Yohan tidak benar-benar menyalurkan kekesalannya terhadap Mia yang mana terlalu memaksakan diri untuk mencari pekerjaan dan justru mengabaikan kesehatan. Ia hampir murka, namun nasihat-nasihat Sinta membuatnya urung. Jika sampai hal itu terjadi, yang ada kemungkian ia dan Mia akan bertengkar.

"Sama-sama suamiku. Aku juga sangat berterima kasih karena menjadi suami yang begitu penyayang." balas Sinta dengan senyuman merekah.

Publis: Selasa, 30 Juli 2024

CINTA YANG NYATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang