Bab 5.

3.8K 181 2
                                    

Hari ini Mia masih memiliki shift malam. Biasanya untuk menghabiskan waktu yang ada, wanita itu akan bermain bersama kedua keponakannya serta membantu Sinta mengerjakan pekerjaan rumah. Apabila ketika kedua adiknya tertidur dan pekerjaan rumah selesai dikerjakan, Mia akan menggunakan sebagian waktu untuk beristirahat sebelum akhirnya bersiap-siap kerja.

Pagi ini, Mia mengajak kedua bocah itu melakukan joging menggelilingi rumah. Kebetulan sekali kedua anak itu bangun pagi seperti yang lain. Sebetulnya, Mia tidak berharap mereka bangun sepagi itu, kerena Mia cukup tahu ketika beranjak dewasa kedua anak itu tak akan memiliki kualitas tidur yang baik kerena memikirkan kekhawatiran-kekhawatiran tentang hidup yang bertumpuk-tumpuk. Seharusnya di usia mereka yang masih kecil, hal itu dimanfaatkan dengan baik untuk beristirahat.

"Adik-adik kamu mana, Mi?" Yohan ikut duduk persis di samping Mia. Mata lelaki itu mencari-cari ke mana anak kembarnya.

"Dipanggil kak Sinta."

Yohan mengangguk mengerti. Pantas ia tidak menemukan anak-anak di halaman sepulang joging. Yohan memang sering berlari pagi. Baginya kesehatan tubuh adalah nomor satu.

Mia berpaling."Kak, kira-kira rumah itu masih aman dari hantu?" Mia bergedik sewaktu mengatakan hal itu. Sering, ia merasa tidak aman ketika mengunjungi rumah besar yang kebetulan bersebelahan dengan rumah mereka.

Rumah dua lantai sebesar itu hanya di tempati Art dan Satpam. Sedangkan majikannya berada di luar kota untuk mengurus bisnis. Jelas, sebagian ruangan dari rumah itu telah di tempati hantu.

"Huss ... mana mungkin berhantu kalau ada orang yang tinggal!" Yohan menggeleng dengan senyuman geli. Adiknya terlalu mengada-gada.

Mia tidak merespon perkataan kakaknya. Wanita itu sibuk dengan pikirannya."Percuma dong kerja susah payah tapi tidak menikmati hasilnya."

Yohan menatap dengan kerutan di kening."Maksudnya?"

Mia menggeleng sambil mengedikan bahu."Lihat. Orang lain yang menempati tempat itu sedang pemiliknya tidak! Bukankah itu sia-sia."

Yohan memejamkan mata lalu menarik napas panjang."Konsepnya tidak seperti itu, Mia. Nanti, akan ada saat di mana mereka akan menikmati segala usaha mereka. Kelak ketika tua, tentu saja mereka tidak perlu repot-repot memikirkan tantang apa pun."

"Kalau seandainya mereka mati. Tetap sia-siakan?!"

Yohan mendengkus."Di mana-mana orang biasanya doa buat panjang umur apalagi usaha yang dikerahkan begitu besar biar tidak mati sia-sia, Mia."

Mia tidak berkata apa-apa selain menarik napas. Rasanya, sang kakak terlalu hebat membalas perkataannya.

"Kalau semisal aku jadi nyonya di rumah itu kakak setuju?" Mungkin pagi ini otak Mia sedikit eror sampai memikirkan ide sekonyol ini. Namun, ia senang membuat kekonyolan itu.

Yohan menarik napas."Kalau dalam mimpi, kakak tentu setuju." Setelah mengatakan hal itu Yohan terkekeh. Sebagai respon Mia merotasikan mata."Kita sedang berandai dalam kehidupan nyata kak bukan dunia mimpi."

Yohan lantas memasang wajah serius. "Mustahil, Mia. Inilah kenyataan yang ada. Kakak sedang berpikir objektif."

Mia mengangguk setuju. Mereka hidup bukan dalam dunia dongeng di mana seorang pangeran jatuh hati pada wanita kelas bawah. Hidup yang saat ini ia jalani begitu kejam.

"Ya, gagal dong jadi nyonya besar di rumah itu padahal kakak juga mau aku ajak tinggal di sana." Mia terkekeh. Sebetulnya, ia sepemikiran seperti kakaknya. Itu mustahil. Hal yang tadi ia bicarakan hanya bisa terwujud dalam imajinasinya.

Yohan ikut terkekeh. Meski akhirnya wajah lelaki itu harus berubah serius."Mi, kamu ingat apa yang sering kakak bilang, carilah lelaki yang pantas disebut lelaki. Karena seorang lelaki sejatinya akan mempertaruhkan apa pun untuk wanita yang ia cintai. Jangan menyukai seorang karena ada apanya, itu sia-sia, Mia. Hubungan itu tak akan kuat dan mudah goyah. Akan ada banyak pertengkaran yang akan kamu hadapi. Cari lelaki yang sepada itu lebih baik."

CINTA YANG NYATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang