Mia menatap Elo lekat dan dalam. Situasi sekeliling senyap dan hanya ada mereka dalam lingkaran yang di bangun.
Elo tidak bercanda dengan perkataannya. Ia memang menginginkan Mia untuk menyempurnakan hidupnya. Ia memiliki visioner tentang itu. Ia menyukai Mia semenjak wanita itu datang pertama kali ke rumahnya bahkan mungkin jauh sebelum itu. Namun, ia selalu mengalak perasaan itu dan menutupinya.
Diam-diam ia suka mengintip aktivitas Mia bersama Tino dan Tisa ketika kepulangannya dari luar kota. Ia tertarik mengikuti setiap kegiatan sederhana yang dilakukan mereka.
Pagi itu ia duduk di balkon kamar bersama secangkir kopi lalu menikmati pemandangan di bawah. Kadang-kadang ia akan tersenyum begitu ketiga orang di sisi rumahnya tertawa.
Ia yakin jikalau Mia layak menjadi ibu untuk anak-anaknya. Meski ia perlu memastikan keyakinan itu. Karena ini tentang masa depan yang tentunya tidak sesederhana itu. Butuh kepastian dan keyakinan. Dan ia menemukan hal itu dan memantapkan pilihan hatinya kepada Mia.
"Ya, terus Tisa bagaimana? Tisakan suka kakak." Elo dan Mia langsung melirik Tisa. Bocah perempuan itu memasang muka cemberut.
Keduanya tidak bisa menahan senyum melihat tingkah Tisa. Ekspresinya sangat mendukung kata-katanya.
"Makan yang banyak biar besar. Pas besar, kakak Elo sudah jadi kakek-kakek peot." Itu pemikiran yang begitu objektif. Tapi sangat lucu. Bagaimana bisa Tino mengatakan dengan wajah dingin padahal kata-katanya mengundang tawa.
"Nah, itu benar!" Elo menanggapi dengan ringan. Tak lupa menyempatkan diri mengacak-acak rambut Tino.
"Jangan diacak, nanti kegantenganku berkurang." Tino mendumel. Ia benci pada siapa pun yang merusak tatanan rambutnya. Baginya itu akan mengurangi kadar kegantengannya.
"Oke boy. Oke." Elo mengangkat kedua tangan, pasrah. Semakin mengenal kedua anak ini. Ia ingin cepat-cepat punya satu atau dua seperti mereka bersama Mia.
Memikirkan hal itu Elo tidak bisa menahan senyuman. Ia lalu memandangi Mia sambil menggigit bibir bawahnya erat-erat.
"Kenapa?" Mia melotot. Agak tersinggung dengan tatapan dalam penuh makna itu. Padahal dalam hati ia mengumpat karena perlakuan Elo membuat jantungnnya nyaris copot.
"Kamu manis!" mengatakan itu, ia mengedipkan mata.
Oh Tuhan. Jantung Mia jatuh dalam satu pukulan. Itu pujian nyata yang datang diri mulut Elo.
Seketika Mia merasa disengat aliran listrik bermuatan tinggi dari ujung kaki naik ke rambut sehingga menyebabkannya tegang.
Dengan cepat Mia memalingkan wajah. Mungkin sekarang sedang memerah karena ia merasa panas pada sekujut tubuhnya.
"Kita pulang!" itu adalah usaha yang sia-sia. Karena ketika hendak berbalik badan Mia hampir tersungkur akibat tidak memiliki keseimbangan tubuh. Untung, dengan cepat Elo menopang tubuhnya.
Muka Mia semakin memanas. Ini murni karena ia malu. Lebih-lebih ia kedapatan salah tingkah atas perkataan Elo. Sialnya lagi, ketika hendak menghindari obrolan ini, ia hampir jatuh.
"Hati-hati, Mia." namanya ketika diucapkan dari mulut Elo, itu terdengar aneh. Ia merasa ini tidak benar. Ia berdebar! Dan itu salah. Karena ia tidak menyukai Elo.
"Jangan sebut namaku!" Mia mengatakan dengan penuh tekanan. Berharap lelaki itu tidak memprovokasi hatinya. Bagaimana pun ia merasa sedikit terancam.
"Mia!" Mia memejamkan mata erat-erat sambil mengertakan gigi kuat-kuat.
"Lepas!" ia membentak marah dan berusaha melepaskan diri dari rangkuhan Elo.
Lelaki itu bekerja sama dan melepaskan tangannya. Lalu ia tersenyum."Bagus. Sangat progresif." Ia mengumam. Jelas, Mia tidak memahami perkataan ambigu lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA YANG NYATA
RomanceMia, wanita berkulit sawo matang itu diam-diam mengagumi Elo, lelaki jangkung yang kebetulan berteman baik dengan sahabatnya, Tiara. Wanita itu, Mia, mengakui bahwa ia kurang pantas memimpikan Elo menjadikannya pendamping. Elo terlalu menawan untuk...