"Kak, Mia." Dita menghentikan Mia ketika hendak bergegas pulang. Mia menoleh, mendapati Dita yang kebingungan untuk mengatakan sesuatu. Lantas hal itu membuat Mia mengernyit.
"Ada apa, Dit?" Mia bertanya lembut dan menyimpan semua perhatian pada gadis berambut sebahu itu.
Setelah cukup lama saling mengenal ada beberapa hal yang telah diubah. Dita dan beberapa pekerja lain memanggil Mia dengan embel-embel 'kak' meski Mia tidak keberatan dengan apa pun yang mereka sematkan untuknya. Mia bukan tipe yang mempermasalahkan hal sepele.
"Aku pengin bicara sebentar sama kakak, boleh?" tanya Dita penuh harap cemas.
Mia sedikit menimang sebelum akhirnya mengangguk. Sebetulnya, ia ingin cepat-cepat pulang. Ia lelah. Hari ini banyak pelanggan yang mendatangi kafe. Ia ingin mengistirahatkan tubuh dan pikiran.
"Boleh!" Balas Mia. Wanita itu membawa langkah pada kursi panjang yang berada dalam ruangan ganti dan mendudukan diri di sana.
Tidak ada siapa-siapa di sini selain mereka berdua.
"Bagaimana kakak tahu kalau aku pengin kuliah?"
Kadang-kadang Mia cukup bersyukur dengan sifat ingin tahu serta selektifnya. Karena dengan begitu, ia mampu memperlajari banyak hal dari orang-orang terdekat tanpa perlu bertanya langsung pada orang bersangkutan. Mia mempelajarinya lewat setiap tutur kata serta merata gestur mereka.
Mia lantas tersenyum hangat sambil menatap Dita yang kelihatan gelisah."Kakak tahu dari kamu, Dit." Dita tercengang. Rasanya ia tidak pernah mengatakan apa-apa pada siapa pun terutama mengenai keinginannya.
Mia bangun. Ia mendekati gadis 19 tahun itu dan mambawanya bersama untuk duduk."Kamu menggebu-gabu saat membahas mengenai kuliah. Kakak tahu kamu pengin kuliah."
Gadis itu tidak mengatakan apa-apa selain menunduk. Mia cukup peka akan masalah yang kemungkinan dihadapi Dita. Setiap anak ingin bersekolah tinggi. Mengangkat derajat orang tua dan berharap mimpinya tidak padam karena alasan-alasan tertentu.
"Kalau kamu pengin kuliah kakak bisa bantu meski tidak banyak."
Dita mengangkat kepala cepat dengan binar antusias. Namun, binar itu meredup yang digantikan dengan tatapan ketidak percayaan. Ia pernah dikasih harapan yang ujung-ujungnya pupus. Sekaligus dari orang-orang tercinta.
Dita menggeleng pahit."Aku tidak mau berharap lebih." Helaan napas berat terdengar. Gadis itu lantas kembali menunduk.
"Tapi itu jika kamu mau." Balas Mia cepat, membuat Dita menoleh padanya. Gadis itu lalu tersenyum putus asa."Sudah terlambat. Dua tahun aku di luar. Mungkin aku tidak punya peluang."
"Siapa bilang?"
"Kuliah tidak kenal batasan usia asalkan ada niat dan tekad."
"Banyak kok yang sudah nikah tapi kuliah."
"Kami orang tak punya kak." Jujur Dita. Ia semakin menundukan kepala.
"Kamu pikir kakak orang berada?"
Dita mengangguk.
Mia lantas menggeleng."Kamu salah. Aku sama seperti kamu. Mungkin lebih parah, karena aku yatim piatu. Tapi, aku punya seorang kakak yang luar biasa. Satu-satunya orang yang tidak pernah membiarkan api dalam diriku padam mengenai pendidikan. Tidak banyak yang kakakku lakukan selain mendukung setiap hal yang aku buat. Kami memang orang tak punya. Tapi, hal itu tidak mengurangi tekadku juga kak Yohan untuk membawaku pada cinta-cinta yang kami impikan bersama. Dan kami berhasil. Banyak peluang untuk bisa mengapai cita-citamu jika kamu mau."
Mia dapat melihat percikkan api yang hidup di mata Dita. Anak itu butuh dukungan. Butuh seseorang untuk mendengar. Seseorang yang bisa menggiringnya pada tempat yang tinggi. Mia akan berusaha semampunya untuk membantu Dita.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA YANG NYATA
RomanceMia, wanita berkulit sawo matang itu diam-diam mengagumi Elo, lelaki jangkung yang kebetulan berteman baik dengan sahabatnya, Tiara. Wanita itu, Mia, mengakui bahwa ia kurang pantas memimpikan Elo menjadikannya pendamping. Elo terlalu menawan untuk...