"Kamu basah!" Pikirannya tidak di sini bersama tubuhnya sampai-sampai suara lelaki yang berbicara dengan nada tinggi sama sekali tidak terdengar. Hanya gerakan-gerakan acak yang dapat ia tangkap.
"Kamu basah, Mia!" Lelaki itu semakin meninggikan suara. Nyaris berteriak demi menyamakan suara hujan.
Wanita itu lantas tersenyum, fokusnya telah kembali."Seperti yang kamu lihat!"
"Ikut aku."
Cepat-cepat wanita itu menggeleng."Tidak!"
"Kamu bercanda?"
Wanita itu merespon dengan gelengan kepala serta merata senyuman."Sama sekali tidak."
"Saya tidak suka ada pegawai yang memakan gaji buta. Saya tahunya, kamu harus kerja meski sakit." Ini terdengar ambigu dan tidak masuk akal. Tapi, itulah yang ia ucapkan. Elo juga tidak mengerti dengan dirinya.
Itu jelas sebuah ancaman sehingga mau tidak mau wanita itu mengikuti langkah lelaki jangkung tersebut ke arah mobil.
Dengan gesit Elo membuka pintu, setelah memastikan Mia masuk dan duduk dengan benar, lelaki tampan itu berputar kemudian ikut bergabung bersama Mia.
Elo mendesah panjang sambari mengibas-ngibas sisa-sisa air hujan yang mengenai pakaian. Lalu setelahnya ia mambawa pandangan ke arah wanita yang tengah menatap keluar jendela sambil memeluk dirinya.
"Pakai ini." Elo mengambil jaket yang sempat ia simpan pada jok belakang dan memberikan kepada wanita itu. Namun, yang mengejutkan Mia justru menolak."Tidak, terima kasih." Wanita itu melirik cepat sambil tersenyum lalu kembali memandang keluar jendela.
Karena tidak ingin ada penolakan, Elo sendiri yang memakaikan kepada Mia. Ia menaruh secara asal namun cukup berhasil menutup tubuh kecilnya. Lantas Mia menatap protes, sayangnya tidak digubris oleh lelaki tampan tersebut.
Elo tak ingin manduga-duga tentang apa pun yang di alami wanita ini. Namun, ia cukup tahu jika Mia sedang tidak baik-baik saja. Hal yang paling tidak ia sukai adalah cara Mia menyiksa dirinya. Setiap masalah pasti memiliki jalan kelura, apa pun itu.
"Seberat apa masalahmu, jangan lukai dirimu!" Elo melirik dengan kilatan amarah. Ia tidak pernah berpikir untuk mencampuri urusan orang lain. Namun ia melakukan itu, sekarang. Sebetulnya, ini adalah sebuah kegilaan pertama yang pernah ia lakukan. Mencampuri urusan orang lain tidak pernah masuk dalam daftar hidupnya.
Hal mendasar ia melakukan kegilaan ini adalah kekhawatiran. Ia cemas setiap kali melihat kekacauan di balik senyuam wanita itu. Mia, benar-benar kacau akhir-akhir.
Tanpa sadar, ia menggengam erat kemudi mobil. Urat-urat di sekujur tubuhnya tiba-tiba mengembang.
Wanita itu berpaling dan memberikan senyuman yang sama. Senyuman yang nyaris membuat Elo mengumpat. Ia jelas tahu Mia terluka lewat senyuman itu.
"Jelaskan padaku apa masalahmu?"
Elo merespon dengan sebuah senyuman sinis. Lambat-lambat lelaki itu mengangguk. Sebelum berbicara ia menyempatkan diri membasahi bibir."Kamu!" Mia menggelengkan kepala, tentu saja tidak mengerti. "Aku?" Mia tertawa samar menanggapi perkataan Elo. Lelaki itu benar-benar konyol.
"Hmm. Kamu!" Tidak ada jejek humor. Elo benar-benar telah kehilangan selera humor.
"Jangan menyakiti dirimu. Aku benci!" Mia tertegun, itu semacam tamparan halus, tak menduga jika Elo akan mengatakan demikian.
Bukan tanpa alasan Elo mengatakan hal ini, ia telah mengamati perubahan-perubahan Mia. Wanita itu berbeda dari wanita yang pernah bertukar cerita serta memiliki senyuman termanis. Akhir-akhir ini ia berubah. Tidak ada lagi jejak-jejak senyuman tersebut. Mia, menjadi lebih pendiam dan tertutup. Bahkan kedua temannya ikut mengatakan hal itu dan kebetulan Elo di sana dan mendengar semua keluhan mereka.
Mia menarik napas, matanya mulai berkaca-kaca. Sebagai pengalihan ia menggigit erta bibir bawah."Aku suka hujan." Elo tidak butuh penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang di alami Mia. Dari suara bergetarnya ia tahu Mia terluka.
"Ya, karena hujan mampu menutupi setiap luka!"
Mia kembali tertampar mendengar sindiran itu. Segera, ia menatap keluar jendela sambil merepatkan kedua bibir guna meredam suara tangisan. Karena sejujurnya, ia ingin manangis saat ini juga. Dan itu sungguh terjadi. Ia menangis!
Setelah melihat punggung wanita itu bergetar, Elo tidak mengatakan apa-apa dan membiarkan kesunyian berkuasa di antara mereka. Bahkan ia sama sekali tidak memiliki niat untuk menghidupkan mesin mobil untuk pergi dari sana.
Berulang kali, Elo melirik, memastikan kondisi wanita itu. Mia masih menangis. Ia dapat melihat lewat punggungnya yang bergetar.
Dalam kondisi ini, ia benar-benar buta. Ia tidak pernah tahu cara menghibur seseorang saat berada dalam situasi sedih. Ketika ia merasakan hal itu, pelariannya adalah berolahraga dan melakukan hal-hal yang ia gemari.
Untuk pertama kali, Elo ingin meraih lengan tangan wanita itu dan memeluknya erat guna meredam tangisannya. Dan itu adalah langkah terbesar yang hampir ia ambil. Namun, diurung!
Lelaki itu kembali melirik, ia merasa tidak tenang sebelum memastikan kondisi Mia. Entah bagaimana ia kurang suka dengan situasi ini. Mia dan segala masalah yang ia hadapi tidak seharusnya menariknya begitu jauh. Elo, bukan lelaki yang gampang memasang rasa iba terhadap masalah orang lain. Terlepas dari masalah yang ia sendiri tidak tahu sama sekali penyebabnya apa. Mungkin, ia mulai sinting!
"Ahh ..., ini begitu memalukan." Lambat-lambat wanita itu berpaling. Ada senyuman di balik segala tekanan. Elo cukup terkejut melihat kekacauan yang wanita itu tampilkan. Matanya memerah akibat memangis. Bahkan bekas-bekas air mata masih kentara.
Lelaki itu menerbitkan sebuah seringai. Ia tidak memberikan sebuah tanggapan selain mengambil tissue pada laci mobil lalu di sodorkan ke arah wanita itu.
Mia lantas menerima dengan senyuman yang masih belum pudar, ia kemudian menghapus jejek-jejek air mata."Aku lega!" ungkapnya, lalu tersenyum."Bisa kita pulang sekarang?"
"Oke." Lelaki itu menanggapi dengan ringan, lalu mulai menghidupkan mesin mobil. Dan tak lama berselang mobil bergerak.
Tidak ada obrolan yang terjadi sepanjang perjalanan. Atau mungkin itu tidak diperlukan ketika wanita itu masih berada dalam kondisi hati yang kacau. Elo sendiri tidak tahu harus memulai obrolan seperti apa atau bagaimana menghidupkan suasana. Ia sama sekali tidak tahu!
"Mau jalan-jalan sebentar?" hampir, ia hampir mengumpat atas pertanyaan yang diajukan. Sudah dibilang. Ia tidak tahu cara menghibur seseorang. Tapi, setidaknya ia cukup berani menanyakan hal ini. Sebetulnya ini adalah salah satu bentuk rasa peduli atau semacam bentuk penghiburan yang mungkin saja terdengar konyol.
Setelah mengajukan pertanyaan itu, tiba-tiba ia merasa menyesal.
Mia memicing sambil tertawa lepas mendengar ajak lelaki yang tampak salah tingkah dengan pertanyaannya sendiri."Salah, ya?" bahkan tawa wanita itu menularinya hingga tanpa sadar ia tertawa. Dan untuk kedua kalinya ia nyaris mengumpat akibat terpanah melihat tawa lepas wanita yang ia tahu sedang tidak baik-baik saja.
Seketika senyuman lelaki itu hilang. Ia menatap lama dan dalam ke arah wanita itu sampai-sampai tawa itu berangsur hilang.
Mia menggeleng sambil mengernyit. Tentu saja, ia ingin sebuah penjelasan atas reaksi lelaki ini.
Sesaat, setelah menyadari kesalahannya, ia berdeham lalu memalingkan wajah ke arah luar jendela. Elo menekan pipi dalam menggunakan lidah. Setelahnya ia menghela napas panjang. Entah bagaimana ia merasa gugup. Ada getaran aneh yang menyerangnya di kala melihat tawa lepas itu.
Mia, ternyata berbahaya!
Publis: Selasa, 30 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA YANG NYATA
RomanceMia, wanita berkulit sawo matang itu diam-diam mengagumi Elo, lelaki jangkung yang kebetulan berteman baik dengan sahabatnya, Tiara. Wanita itu, Mia, mengakui bahwa ia kurang pantas memimpikan Elo menjadikannya pendamping. Elo terlalu menawan untuk...