Bab 8.

3.6K 160 0
                                    

Mia melewati beberapa pasang mata yang mengamatinya dalam diam. Berbagai spekulasi tampak jelas pada raut muka karyawan lain. Mia enggan menanggapi. Bahkan tidak perlu ditanggapi. Karena pada dasarnya tidak ada hal yang perlu dijelaskan. Tidak ada hubungan istimewa di antara ia dan Elo. Kebetulan mereka pernah terlibat cukup dekat sehingga tidak ada salahnya saling menegur sapa saat bertemu. Bukankah sekarang mereka berteman?

Wanita itu berdiri tepat di samping Dita dan Angel. Kedua temannya hendak bersiap-siap mengajukan pertanyaan. Tapi, lebih dahulu Mia memperingati mereka."Jangan tanyakan apa pun. Karena tidak ada apa-apa di antara kami."

Kedua wanita itu mendesah lelah. Masing-masing dari mereka kemudian berpencar dan mulai melanjutkan kegiatan yang tertunda.

"Yang lain?" Mia mengikuti Dita dari belakang ketika Dita hendak pergi ke dapur.

Dita menoleh sebentar."Pulang, kak."

Mia tidak mengatakan apa-apa selain memberikan sebuah anggukan. Beberapa rekan kerja yang memang memiliki shift pagi tentu sudah pulang setelah melakukan pertemuan. Kafe ini tergolong diminati sehingga membutuhkan banyak karyawan yang dibagi menjadi dua kelompok.

"Bolah kakak minta nomor telepon orang tua kamu?"

Dita berpaling sambil mengernyit. Gadis itu bahkan harus menunda meneguk air yang sudah berada dalam jarak dekat dengan mulutnya.

Dita mengangguk setuju meski sebetulnya ia bingung."Boleh!"

Mia yang bersandar pada meja lantas menegakan tubuh."Kita butuh izin, bukan?" Mia tersenyum tipis. Dita yang mulanya kebingungan langsung mengerti apa yang ingin disampaikan Mia."Artinya jadi kak?"

"Tentu! Kamu bisa menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan dari sekarang. Nanti kakak kerimkan persyaratan yang harus kamu siapkan."

Mia dapat menangkap kegembiraan yang dipancarkan Dita. Gadis itu bahkan berkaca-kaca saat menatapnya.

"Sekarang apa aku bisa berharap?"

Mia menggeleng."Jangan!"

Dita lantas mengangguk patuh. Walau jawaban Mia terkesan menyakitkan, Dita tetap memancarkan senyuman tulus."Apa aku bisa menaruh rasa percaya sama kakak?"

"Itu pun jangan!" Mia tahu, ia bukan Tuhan. Bahkan ia sadar, terkadang Tuhan memberi sebuah keajaiban setelah datangnya sebuah penderitaan. Sebelum Dita patah hati terlalu dalam, ia ingin mencegahnya.

Dita menunduk lesuh.

"Kakak bukan Tuhan, Ta. Kakak tidak mau kamu kecewa. Jangan berharap pada apa pun dan siapa pun. Itu sia-sia. Mari sama-sama berjuang dan lihat hasilnya."

Perkataan Mia menyebabkan Dita mendongak cepat, wajahnya telah dipenuhi air mata bahkan matanya memerah."Aku hampir kecewa." Dita berseru lirih. Namun, ia tersenyum.

Gadis itu mengangguk-angguk sambil berkata,"Mungkin aku perlu meniadakan sesuatu yang disebut berharap. Kita hanya perlu berjuang dan melihat hasilnya. Bukan begitu, kak?"

Mia tersenyum lebar sambil mengangguk."Ya, harus seperti itu. Tiadakan sesuatu yang disebut berharap. Terkadang itu mengecewakan. Bahkan nyaris membunuh apabila apa yang kita harapkan ternyata tidak terjadi."

"Aku pernah dan sering dikecewakan setelah berharap. Sayangnya, aku tidak pernah menjadikan itu sebagai pelajaran."

Dita nyaris mengeluarkan suara tangisan. Setiap kali mengingat mimpi-mimpi yang tak pernah tergapai ia menangis. Tak kenal tempat dan tak kenal waktu.

"Aku pengin kuliah, kak. Ya, aku hanya pengin kuliah."

Mia mengerti kesulitan Dita. Mengerti setiap rasa sakit yang ditahan atas apa yang tak kunjung terjadi padahal sedemikian rupa diinginkan. Mia pernah dan nyaris mati akibat rasa sakit itu.

CINTA YANG NYATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang