Mia tersenyum tipis. Pertanyaan itu terkesan tidak mengganggu. Tapi, siapa sangka, telapak tangannya mulai berkeringat!
Sedari tadi ia mencoba menutupi setiap rasa gugup dengan senyuman tipis. Cukup berhasil, namun ia ragu. Karena, tidak bisa berpura-pura untuk waktu yang lama di depan mereka.
"Kami tidak begitu dekat, meski sekelas. Perbedaan status sosial membuat kami asing." Mia tersenyum canggung. Dengan hati-hati ia menatap Sean. Lelaki itu membatu di tempat setelah mendengar jawaban Mia.
"Oya?! Separah itu!"
Mia mengangguk mantap. Sementara Alea begitu bersemangat mendengar penjelasan Mia. Ia ingin tahu lebih dan banyak mengenai suaminya. Itu adalah misinya setelah mereka menikah.
Wanita berkulit sawo matang itu merasa pembahasaan ini terlalu tidak masuk akal dan justru membuatnya tertekan. Apalagi sedari tadi Elo menatap dengan rumit. Ekspersi lelaki itu berganti-ganti. Ia seperti mengamati dan menilai sesuatu.
Setelah pertemuan itu berakhir, reaksi Mia berubah total, ia tampak murung dan memiliki tekanan batin. Tatapan wanita itu kosong dan jauh.
Elo ingin menduga-duga tentang segala hal yang Mia tanjukan, namun ia takut. Bagaimana jika yang ia bayangakn lebih mengerikan dari pada yang ia alami sekarang?
Elo hendak bertanya, tapi ia mempercayai Mia. Apabila ia benar-benar mengatakan niat hatinya tentang keganjilan ini, ia tentu sedang meragukan Mia. Ya, ia hanya perlu mempercayai Mia!
"Mi."
Elo mendekati Mia yang tengah menatap kepergian teman-temannya. Seperti biasa, Mia selalu akan mengantar Dita dan Angel, segera setalah itu ia akan pulang. Jika lalu-lalu ia sendiri, maka sekarang ada Elo yang menemaninya pulang.
Mia lantas mendongak. Kebetulan saat itu ia tengah duduk di depan anak tangga terakhir kafe.
Mia menatap mata Elo, penuh rasa bersalah dan keputuaasaan. Senyuman kecil lalu mengembang, ia telah mengukir wajah Elo dalam hatinya. Ia ingin memiliki lelaki ini di sisinya seumur hidup. Namun, ia ragu. Apakah Elo akan menahannya ketika mengetahui kebenaran yang ada?
Sikap Mia membuat dada Elo berdetak kencang. Wanita itu seakan-akan menunjukan akhir dunia. Ia merasa takut sekaligus sakit!
"Aku cape. Bisa kita pulang sekarang?" Perlahan-lahan wanita itu berdiri. Ia bersikap seolah memiliki tekanan dunia. Senyuman yang Mia berikan bukan senyuman yang Elo harapkan. Itu dibuat-buat dan terpaksa.
Elo mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.
Mereka pulang dalam diam. Tidak ada yang membahas satu topik dalam perjalanan pulang. Biasanya Mia suka membuka diskusi kecil-kecilan mengenai ilmu pengetahuan umum yang berlanjut pada hobby, berita, serta masukan dan saran seputar usahanya.
Mia memang tergolong pandiam. Namun, Elo tahu bahwa ada saatnya wanita itu begitu banyak bicara ketika menemukan topik dan teman yang sesuai!
"Terima kasih, Elo. Selamat malam." Mia turun tanpa menengok ke belakang. Tidak ada seyuman atau lambaian tangan malu-malu yang sering Mia lakukan dan Elo merasa situasi ini begitu asing.
Sebetulnya ia ingin marah! Mia mengacaukan pikirannya dan menyebabkan pola tidurnya terganggu. Ia bahkan rela meninggalkan pekerjaan demi menemui wanita ini untuk menyelesaikan masalah yang ada. Namun, yang ia dapati sekarang adalah Mia yang memiliki tekanan pikiran. Jadi, mau tidak mau, Elo meredam egonya sekaligus amarahnya.
Lelaki itu menghela napas panjang sambil menatap punggung Mia yang menghilang di balik pintu.
***
Setelah mandi, Elo masih terjebak dalam suasana hati yang kacau. Ia pikir, setelah mandi mungkin beban pikirannya akan berkurang. Sayangnya, justru berlipat ganda.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA YANG NYATA
RomansMia, wanita berkulit sawo matang itu diam-diam mengagumi Elo, lelaki jangkung yang kebetulan berteman baik dengan sahabatnya, Tiara. Wanita itu, Mia, mengakui bahwa ia kurang pantas memimpikan Elo menjadikannya pendamping. Elo terlalu menawan untuk...