Bab 28.

2.9K 91 1
                                        

Setelah hari itu, Mia maupun Elo sangat berhati-hati supaya kejadian yang sama tidak terulang. Keduanya tahu bahwa Yohan serta Sinta sangat peduli terhadap mereka. Oleh karena itu keduanya tak ingin membuat Yohan maupun Sinta cemas.

Elo dan Mia memang sering menghabiskan waktu bersama seperti kekasih pada umumnya. Begitu menjelang malam, ketika selesai kerja, Elo sering mengantar Mia pulang jika tidak memiliki halangan. Begitu pula ketika Mia mengambil shift pagi.

Hubungan keduanya terbilang berjalan baik dari waktu ke waktu. Ketika Elo keluar kota untuk mengamati pembangunan kafenya. Komunikasi keduanya tak pernah putus. Elo sering mengabari Mia. Begitu pula sebaliknya.

Elo juga tidak menolak sifat tertutup dan pemalu Mia. Wanita itu memang menyimpan perasaan terdalamnya dan jarang menunjukan kepada Elo. Sehingga yang sering muncul ke permukaan adalah sifat keragua-raguan serta rendah diri Mia. Padahal sebelum berpacaran Mia tipe yang percaya diri.

Elo tidak mengerti mengapa Mia berpikir demikian. Mia sempurna menurut versinya! Ia tak peduli jika Mia dinilai kurang oleh orang lain. Baginya Mia selalu sempurna!

Mia terlalu gugup ketika memegang ponsel. Tangannya benar-benar bergetar sampai ia kesusahan mengendalikan getaran itu. Sedari tadi keringat bahkan telah membasahi sekujur tubuh.

Tadi, beberapa menit yang lalu, Stef, ayah Elo datang berkunjung. Paruh baya yang memiliki muka yang sama seperti Elo secara terang-terangan meminta agar hubungan mereka diresmikan. Selama lelaki paruh baya itu membuka mulut dan bersuara, Mia hanya menunduk sambil mengetatkan kedua tangannya yang bertumpuh pada paha. Jantungnya berdetak dengan kencang dan nyaris membuatnya pusing.

Kedatang paruh baya itu terlalu mendadak. Mia tentu belum menyiapkan mental. Dan ia sangat membenci Elo yang tidak mengabarinya terlebih dahulu.

"Hai, Manis."

Mia mengehela napas panjang sambil menengadah. Perasannya kacau. Dan ia tak bisa mengendalikan kekacauan ini.

"Ayahmu tadi datang," Setelah beberapa detik kemudian Mia bersuara. Elo dapat menangkap nada gugupnya.

Elo diam! Membiarkan Mia menyelesaikan serangkaian kata-kata yang ada dalam pikirannya.

Mia menarik napas panjang. Begitu menguasi diri ia kembali berkata,"Beliau maunya kita cepat-cepat nikah." Ada embusan napas panjang diakhir kalimat. Mia merasa sesak, rasanya ia tidak bisa bernapas dengan benar.

Selama empat bulan pacaran, ini adalah kejutan yang begitu aneh. Mia merasa ini tidak nyata. Namun, ini nyata! Ia didatangi ayah Elo dan diminta agar segera meresmikan hubungan mereka. Lantas apakah ia pantas untuk Elo? Untuk keluarga terpandang itu?

"Aku belum siap!" Alasan yang sama! kadang-kadang Elo sedikit merasa kesal dengan kata itu 'aku belum siap' rasanya Mia sedang menutupi sesuatu darinya.

"Aku tak akan memaksa! Tapi, aku butuh alasan pasti di balik kalimat 'aku belum siap'."

Mulut Mia mendadak kelu. Inilah hari itu. Hari di mana ia merasa terjerat dan terhimput oleh ketidakpuasan Elo atas alasannya.

"Aku ..., aku ..., takut!"

Elo menarik napas perlahan-lahan. Ia ingin mentoleril, tapi Mia memprovokasi. Apa yang mesti Mia takutkan. Dibilang berulang-ulang pun. Ia akan mengatakan hal yang sama. Ia mencintai Mia! bahkan berniat mengabdikan diri seumur hidup pada wanita ini!

Elo mengertukkan alis tak puas."Ayolah, Mia. Aku tak ingin ada perselisihan di antara kita."

Mia mengerti. Tapi, ia belum berani terbuka. Ia takut segalanya mendadak kacau. Elo mungkin akan meninggalkannya.

CINTA YANG NYATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang