Bab 9.

3.3K 128 1
                                    

"Ayo masuk, Mia."

Suara itu menyerupai perintah sehingga menyababkan kesalahapahaman bagi si penelepon.

Mia menatap Elo walau fokusnya tertuju pada sang penelepon. "Pacar!"

Mia menggeleng meski orang bersangkutan tidak melihat reaksinya."Bukan!"

"Teman?" Ada rasa ingin tahu yang lebih dan tuntutan sebuah klarifikasi.

Mia memejam sambil menahan napas."Van, kamu terlalu ikut campur!"

"Karena kita teman, Mia!" Terdengar dengusan dan Mia meyakini dirinya bahwa Rivan tidak pantas terlalu ikut campur dengan urusan apa pun dalam hidupnya.

Mia mengangguk setuju dengan peryataan itu sambil membawa langkah mendekati mobil Elo.

Lelaki itu menatap Mia dalam diam sampai wanita itu masuk dan duduk di sampingnya masih dengan ponsel menempel pada telinga.

"Ya, seharusnya teman tidak perlu ikut campur secara berlebihan, bukan?" Nada wanita itu menyiratkan ketidaksukaan. Bahkan wajahnya ikut mendukung suaranya.

"Tidak ada teman yang tidak ikut campur, Manis."

Mia mendengkus sambil merotasikan mata."Itu berlebihan, Rivan!" Mia nyaris memekik. Untung ia sadar jika Elo bersamanya.

"Ya, memang rada berlebihan karena aku punya maksud lain."

Dengan cepat Mia memutus sambungan. Ia dongkol setiap kali lelaki itu membahas hal-hal ngawur. Bahkan ia langsung memblokir nomor Rivan.

Ragu-ragu Mia melirik. Ia agak canggung setelah apa yang telah ia lakukan di depan Elo. Namun, ia mencoba membuang jauh rasa canggung itu dan memulai obrolan,"Makasih atas tumpangannya."

Elo melirik singkat lalu kembali menatap lurus. Ada sebuah senyuman samar di wajahnya. "Sama-sama, Mia."

Setelahnya tidak ada obrolan lanjutan. Mia menatap keluar jendel sedang Elo fokus menyetir.

Elo sendiri tidak ingin mencampuri urusan Mia meski sekedar bertanya seputar perihal tadi. Ia benar-benar tidak memiliki ketertarikan untuk itu. Jelas, kerena lelaki jangkung itu menghargai privasi orang lain.

"Aku baru tahu kalau kita tetanggan."

Mia berpaling, menatap wajah samping Elo yang sementara menatap lurus.

Wanita itu lantas mengangguk setuju."Sama." Tidak ada antusiasme dari ucapan serta gesturnya.

"Itu pun setelah insiden tadi." Ada nada mengejek dan Mia nyaris menghujam lewat tatapan matanya.

"Ternyata kamu cukup sensitif!" Senyuman samar mengembang. Elo lantas menggeleng melihat reaksi Mia.

"Ya, tentang apa pun yang tidak aku lakukan. Tapi, aku dituduh melakukan."

"Tapi, kamu berniat!" Elo menaikan sebelah alis. Tentu saja mengejek.

Mia bereaksi keras lewat mata yang dipicingkan bersama tarikan napas kasar."Oh astaga. Hentikan pembicaraan itu!" Ia memekik, cukup jengkel membahas hal tadi.

Lelaki itu merespon dengan senyuman jahil."Baiklah, Mia. Baiklah."

Kadang-kadang, untuk satu dan dua alasan lelaki di sampingnya agak menjengkelkan. Tidak pantas wajah tenang itu digunkan untuk menggoda. Itu menyebalkan.

Elo yang dulu Mia kenal tidak seperti ini. Cukup lama kejadian itu terjadi namun Mia masih mengingat detail perlakukan Elo.

Lelaki itu enggan berdekatan dengannya. Bahkan tak pernah mau terlibat komunikasi. Tapi, apa sekarang?

CINTA YANG NYATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang