Note: Jangan lupa tinggalkan jejak setiap bab, harap bijak dalam membaca. Jika ada kesamaan nama tokoh atau alur, tolong jangan di sama samakan. Karena ini murni pikiran aku sendiri.
Disclaimer: 10% Nyata, 90% fiksi.
Happy reading gaysssss...
****
Prang!
Rafka terbangun dari tidurnya setelah mendengar suara. Netranya menangkap Agler yang baru saja memecahkan kaca jendela menggunakan balok kayu, terlihat dunia luar sana masih petang.
Karena tidak di beri makan, akhirnya Rafka, Agler, dan juga Veline memutuskan untuk tidur sejak tadi siang. Agler menoleh ke arah Rafka yang terbangun akibat ulahnya.
Tidak hanya Rafka, Veline pun sama. Gadis itu mengucek matanya. Di samping Veline, ada Selena yang masih belum sadarkan diri sejak tadi pagi. Mereka khawatir akan kondisinya, tetapi mereka pun bingung harus melakukan apa.
Rafka dan Veline bangkit. Mereka berjalan mendekati Agler. Cowok itu menampilkan senyuman cerah.
"Lo ngapain Agler?" tanya Rafka, memandang keluar. Jendela itu tinggi, sekitar dua meteran, tetapi cukup untuk mereka jika akan keluar. Angin malam masuk ke dalam, hingga membuat bulu kuduk berdiri. Terdengar suara pohon bambu di sana. Malam ini sangat petang, tidak ada pencahayaan sama sekali. Bulan pun sepertinya masih enggan untuk menyinari bumi malam ini.
"Gue bakal bawa kalian semua keluar dari sini." jawab Agler, senyumnya belum pudar.
"Lo yakin? Ini udah malem, kita bisa keluar dari sini besok. Kasihan Selena, dia masih belum sadar. Kita nggak mungkin bisa keluar lewat sana."
"Kenapa? Lo nggak yakin? Kita pasti bisa. Ini kesempatan kita buat keluar, Raf, sebelum orang itu balik ke sini lagi. Veline bisa keluar dulu, kita bisa bantu Selena buat keluar, habis itu kita yang keluar." ujar Agler percaya diri.
Rafka menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa. Yang ada di luar kita nggak bisa lihat apa apa, senter kita aja kemarin hilang."
"Lo kenapa, sih? Kenapa selalu nunda kesempatan kita buat keluar? Atau jangan jangan ini emang rencana lo? Lo, kan, yang buat kita semua ada di sini." cecar Agler.
Sementara itu, Veline menoleh ke belakang saat mendengar suara rintihan seseorang. Di sana, Selena sudah membuka matanya, tangan kanan gadis itu memegangi dada. Sepertinya dia menahan sesak yang sangat dalam di dalam sana.
Veline menghampiri gadis itu. Kepala Selena ia tidurkan di atas pahanya. Raut wajah Veline terlihat sangat panik.
"Sel, lo kenapa? Gue mohon bertahan, kita pasti bakal keluar dari sini." Veline berjongkok di samping Selena. Wajah Selena sangat sangat pucat dari kemarin, nafasnya terdengar tersengal sengal. Veline menjadi takut akan hal itu.
"Pelakunya pasti ada di antara kita semua." Agler menatap satu persatu temannya dengan tatapan yang sulit di artikan.
Rafka terkekeh. "Nggak usah saling menuduh. Kita semua sama." ujarnya menyeringai Agler, agar mereka tetap bersama.
"Kita semua sama gimana?! Ini semua gara gara lo Anjing! Kalo elo nggak ngajak kita buat pergi ke dalem hutan, semuanya pasti akan baik baik aja." hardik Agler, membuat Rafka dan lainnya membulatkan matanya.
Mereka tak habis pikir dengan ucapan Agler barusan, ada apa dengan anak itu? Mengapa tiba tiba ia saling mencurigai? Apa dia baru saja di rasuki setan iblis?
"Gue pergi. Ada yang mau ikut gue?" Mereka saling menatap. Satu detik, dua detik, hingga detik detik berikutnya mereka hanya diam. Agler tertawa kecil. "Serius nggak ada yang mau ikut gue? Selamat, kalian semua akan membusuk di gubuk ini." ucapnya, lalu naik ke atas jendela, dan menjatuhkan diri ke bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seorang Pemimpin Yang Handal
Teen Fiction______________ "Seorang pemimpin yang handal tidak akan menghitamkan mawar putihnya." Asher menatap Shera dengan lekat. "Gue tahu itu." *** Shera kira, bersekolah di sekolah yang sejak dulu ia inginkan akan menjadi sebuah kebahagiaan, namun ternyat...