"Aku hanya ingin sendiri, setelah semua luka yang kalian beri selama ini."
–Seorang Pemimpin yang Handal.*
*
*
Happy reading...Langkah Ardhan dan Shera berhenti ketika mendapati seorang perempuan tengah duduk membelakangi mereka pada sebuah kursi taman. Tidak lain lagi, itu adalah Shani.
Ardhan berterima kasih pada seorang suster yang sudah menemani dirinya dan Shera untuk bertemu dengan Shani. Tangan Ardhan menepuk pundak Shera, memberi kode agar dia yang terlebih dahulu menghampiri Ibunya.
Shera tidak menjawab. Dia langsung saja berjalan mendekat ke arah Shani. Wanita itu duduk dengan pakaian khas pasien. Baju dan celana panjang berwarna putih dengan corak bunga berwarna biru. Rambutnya di gerai lurus, kulitnya bersih, tidak ada kantung mata di wajahnya, tampak jauh berbeda dengan Shani yang ia temui saat itu.
Shera bersyukur karena Ibunya telah pulih kembali.
"Mama," panggilnya.
Mendengar suara yang tidak asing di telinga, Shani pun menoleh ke samping. Senyumnya terbit begitu saja melihat kedatangan anak perempuan yang selama ini ia rindukan. Shani beranjak dari duduknya dan memeluk erat tubuh Shera.
Sudah hampir satu bulan dirinya ada di sana. Walaupun sempat sulit sekali di kendalikan, akhirnya saat ini Shani bisa menjadi orang normal. Walau terkadang juga bisa kambuh kembali.
"Mama kangen banget sama kamu, Shera." ungkap Shani. Dia melepaskan pelukannya. Senyumnya terus mengembang, atensinya beralih ke sekitar. Terlihat Ardhan yang berdiri sendirian.
Hati Shera mendadak sesak melihat tingkah Ibunya. Dia sangat takut jika wanita itu sampai menanyakan keberadaan sang Kakak. Bagaimana nantinya dia akan menjawab.
Shani mengusap usap pundak Shera. Jika dilihat, anak perempuannya itu sudah semakin tinggi. Tapi, ada satu hal yang membuat hatinya tidak terlalu tenang.
"Kamu sudah tumbuh besar, cantik." ujarnya.
Shera tersenyum. Dia menoleh saat melihat Ayahnya berjalan mendekat ke arahnya dengan sang Ibu.
"Kalian cuma datang berdua? Kalian nggak ngajak Arthur? Mas Ardhan, sudah cukup. Arthur juga anak kita, kamu cukup membeda bedakan dia. Aku kangen banget sama Arthur, kenapa kalian nggak ngajak dia?" Shani tidak bisa di bohongi lagi. Hatinya sangat merindukan anak anaknya, terutama pada putra sulungnya.
Dan benar saja apa pikiran Shera. Pasti Ibunya itu akan mencari keberadaan sang Kakak.
"Sini, ayo duduk." ajak Ardhan. Dia menggandeng istrinya untuk duduk di atas rumput. Di sana, Ardhan, Shani, dan juga Shera duduk berhadapan.
Sebelum mengatakan semuanya, Ardhan beberapa kali menghembuskan nafas. Di raihlah tangan putih Shani, dia mengusap punggung tangan Shani menggunakan ibu jarinya.
"Sebelumnya, gimana kabar kamu?" tanya Ardhan.
Shani menganggukkan kepalanya. "Aku baik. Walaupun terkadang aku selalu kepikiran sama bangkrutnya butik aku, aku pasti bisa melupakan itu."
"Bagus kalau kamu berusaha buat bangkit. Yang aku mau, saat ini kamu harus bisa kendalikan emosi kamu. Jangan sampai emosi mengendalikan diri kamu sendiri." Ardhan tersenyum tipis pada Shani.
Wanita itu terus mengangguk. Lagi lagi dia memperhatikan sekitar, seperti tengah mencari keberadaan seseorang.
"Ingat, kendalikan emosi kamu. Jadi diri sendiri. Kemari," Ardhan merentangkan kedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seorang Pemimpin Yang Handal
Teen Fiction______________ "Seorang pemimpin yang handal tidak akan menghitamkan mawar putihnya." Asher menatap Shera dengan lekat. "Gue tahu itu." *** Shera kira, bersekolah di sekolah yang sejak dulu ia inginkan akan menjadi sebuah kebahagiaan, namun ternyat...