Asher Project

35 4 0
                                    


Hari hari tidak se-menyenangkan biasanya. Shera mengurung diri sejak dua hari yang lalu. Dia menuruti perkataan sang Ayah untuk tidak makan di rumah. Shera tidak tahu menyapa Ayahnya menyuruh itu, mungkin, dia menginginkan satu persatu anaknya mati.

Tatapan matanya kosong. Di luar ia dapat mendengar Ibunya yang tertawa tidak jelas, di iringi dengan hardikan Ardhan. Perutnya terasa sangat perih, bibirnya pun terlihat pucat.

Akibat kejadian itu, namanya di SMA Garuda Terpadu pasti d cap buruk oleh siapapun. Kemarin, Shera dengar Indriana sedang melangsungkan operasi. Ia berdoa agar gadis itu cepat pulih, dan ia bisa kembali masuk ke sekolah.

Ponselnya mengeluarkan suara beberapa kali, dengan cepat ia mengeceknya. Lagi lagi ada nomor tidak di kenal. Shera selalu berharap bahwa itu Rendra. Namun, nyatanya salah.

_________________________________

+62 895xxxxxx88

|Mati,
Lo harus mati kayak orangtua gue.
|Hancur,
Keluarga Lo harus hancur kayak keluarga gue.

_________________________________

Shera membuang ponselnya jauh jauh. Sejak awal mulai di skorsing, Shera selalu mendapat pesan seperti itu berulang kali, dan setiap ia memblokir kontaknya, pasti orang itu selalu menggunakan nomor baru.

Shera tidak tahu dia mendapat nomornya dari mana. Langkahnya terasa berat untuk berjalan, ia berhenti saat mencapai pagar pembatas. Dari penglihatannya, menjatuhkan diri ke bawah sepertinya menyenangkan. Di bawah sana tidak ada rumput, jika Shera jatuh ke sana, pasti ia akan terluka.

Aksi Shera tertangkap basah oleh Arthur. Laki laki itu baru saja kembali dari SMA Pancasila, dengan sekantong kresek hitam di tangannya. Ia melotot saat melihat Shera menaikkan kakinya ke pagar.

"Lo mau ngapain, Shera?!"

Arthur berlari ke dalam. Di ambang pintu, ia melihat sang Ibu sudah seperti orang gila. Shani beberapa kali di gampar oleh Ardhan. Semenjak mengetahui jika usaha butiknya hancur, Shani mendadak seperti tidak punya akal.

Arthur ingin sekali menolong Ibunya. Tetapi di atas, Shera bagaimana?

Tidak peduli, Arthur langsung pergi ke lantai dua. Ia berusaha untuk membuka pintu kamar adiknya, tetapi tidak kunjung terbuka.

"Kamu mau apa, Arthur?! Bantu Ayah buat ngurung Mama kamu!" perintah Ardhan.

Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya. "Shera mau bunuh diri, Ayah." tolak Arthur, sembari terus mencoba membuka pintu.

"Nggak usah pedulikan dia! Biarkan dia mati. Anak pembuat malu, dia aja nggak pernah peduli sama kamu."

Arthur menatap Ayahnya marah. "Ayah yang enggak pernah peduli sama kita berdua!" pungkas Arthur.

Dengan kekuatan penuh, Arthur akhirnya bisa membuka pintunya. Dia mengganjal pintu dengan meja, agar tidak bisa terbuka kembali. Di taruhlah kresek itu di sana. Arthur berlari menuju balkon, tepat saat Shera menjatuhkan diri, Arthur berhasil meraih tangannya.

"Bangs*t, lo kenapa anji*g!" bentak Arthur.

"Lepas." perintah Shera dengan nada rendah.

Arthur seolah olah tuli, dia malah menarik tubuh Shera kembali ke atas. Karena tidak ada tenaga, Shera hanya bisa diam.

Arthur membawa Shera ke dalam. Ia memeluk adiknya sangat erat. Tak peduli Ayahnya berkata apa, Arthur sangat menyayangi Shera. Setelah beberapa menit Arthur melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah Shera lekat.

Seorang Pemimpin Yang HandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang