Nothing Is Wrong

34 3 0
                                    

"Jangan mencintai seseorang se-jatuh jatuhnya, jika kamu tidak ingin terluka sedalam dalamnya."
–Abbeya Aveline.

*
*
*
Happy reading...

Tirta hanya diam selama ada di dalam. Rasa bersalah masih terus bermunculan tatkala melihat kondisi temannya yang tidak seperti biasanya. Tubuhnya terbaring lemas, hidungnya tertusuk selang oksigen, dan luka luka di wajah.

Terakhir kali yang Tirta lihat, kondisi cowok itu sehat. Tidak ada satupun luka di badannya, namun sekarang, karena ulahnya, semuanya menjadi seperti ini. Walaupun ini bukan seratus persen kesalahannya, tetapi tetap saja.

"Jangan terus ngerasa bersalah gitu, Ta. Ini bukan salah lo, juga. Lagian sekarang gue nggak papa, kok." ujar Rafka lirih.

Tirta mengangguk. Pundaknya di tepuk oleh Daren yang sekarang duduk di samping kirinya. Di ruangan itu, terdapat dirinya, Daren, Asher, Rafka, Neisha, Lia, dan kedua orang tua Rafka.

"Gue tahu, Ka. Tapi ngeliat kondisi lo yang kayak gini, gue jadi ikut sakit. Gue sama Asher bener bener minta maaf sama lo dan keluarga, lo." balas Tirta.

Risma tersenyum melihat itu. Sudah lama dia tidak melihat anaknya itu berkumpul bersama teman temannya. Biasanya, jika tidak berkumpul di basecamp, mereka akan berkumpul di rumah Asher, Agler, Rafka, atau Tirta dan Daren.

Saat berkumpul di rumah Rafka, Risma selalu menyediakan makanan untuk mereka. Mereka semua sudah ia anggap seperti anak sendiri. Bahkan saat mendengar bahwa Agler telah tiada, hatinya pun ikut hancur.

Saat itu, dalam pikirannya hanya satu. Bagaimana keadaan putranya? Risma sangat menghawatirkan kondisi Rafka selama satu minggu terakhir. Sampai akhirnya saat ini Rafka sudah bersamanya, walaupun dengan kondisi yang tidak baik baik saja.

"Jangan gitu, Tirta. Benar kata Rafka, dia juga sekarang udah di sini, udah kumpul sama kita. Jadi, enjoy aja kayak biasanya." sahut Risma di samping suaminya.

Tirta menganggukkan kepala. Dia menoleh kepada Asher yang tengah tersenyum pada Risma. Punggungnya lagi lagi di tepuk oleh Daren.

"Apasih, lo?" bisik Tirta dengan nada sedikit jengkel.

Daren tersenyum idiot. "Lo nggak ada niatan buat jengukin si Veline gitu?" tanya Daren berbisik juga.

"Gue nggak tahu kamar rawatnya."

"Sejahtera 16."

Tirta mengangguk. Jadi itu kamar rawat milik Veline, ternyata Asher sudah memberitahunya tadi. Tetapi, mengapa tiba tiba Asher mengatakan itu? Mengapa dia tahu apa yang sedang dia pikirkan.

Ah sudahlah, tidak penting juga.

Tanpa ber aba aba, Tirta bangkit dari duduknya. Dia berjalan keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Melihat itu, Neisha segera menarik pergelangan tangan putranya.

"Mau kemana kamu?"

"Keluar sebentar."

Neisha mengangguk. Di lepaslah pegangan tangan nya. Tirta berjalan keluar dan menutup pintu dengan rapat. Baru ingin berjalan, dia sudah melihat seorang pria yang tengah gelisah di depan sebuah ruangan.

Tirta mengalihkan pandangan pada tulisan di atas pintu. "Sejahtera 14" Jika ruangan di depannya itu nomor 14, kemungkinan besar ruangan bernomor 15 itu milik Selena, dan di sampingnya milik Veline.

Tirta berjalan mendekati pria tadi. Dia terlihat kesal dengan telepon genggam yang ia pegang.

"Om Satria?"

Seorang Pemimpin Yang HandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang