Hilang?

40 5 2
                                    


"Shera!"

Shera memberhentikan langkahnya. Ia menoleh ke belakang, sosoknya bisa ia lihat, suaranya bisa ia dengar. Dia adalah teman sekelasnya.

Shera kira, itu adalah Rendra. Hari ini, cowok itu tidak lagi masuk sekolah. Nomornya pun tak kunjung aktif. Ingin sekali Shera mengunjungi rumahnya, tetapi ia tidak tahu di mana.

Saat bertanya pada Arthur, dia pun tidak pernah mengetahui dimana letak rumah Rendra. Karena saat mereka berkumpul selalu di markas nya.

"Lo harus ikut gue." ucap Tirta.

Salah satu alis Shera terangkat. "Kenapa gue harus ikut lo?"

Tirta membenarkan selempang tas nya. "Ya pokoknya lo harus ikut gue." paksanya.

"Maksa banget. Gue nggak mau, lagian ngapain juga harus ikut sama lo." tolak Shera.

Ia mengalihkan pandangannya ke samping. Suasana SMA GARUDA TERPADU sudah sepi, karena semua sudah kembali ke rumah mereka. Terkecuali anggota PMR.

Veline beserta anggotanya hari ini berkumpul untuk memuat materi. Ini yang menjadi alasan mengapa Shera tidak mau ikut bersama Tirta, ia takut siapa tahu Veline melihatnya.

"Ayolah, ntar gue beliin apa aja yang lo mau, deh." ujar Tirta.

Shera menatap cowok itu. "Apa aja, nih?"

Tirta mengangguk. Senyum Shera terbit. "Gue mau Mansion yang di beli sama J-hope BTS." kata Shera. Kening Tirta seketika mengerut. Apa dia tidak salah dengar.

"Mansion? Nggak usah ngadi ngadi, ya, lo. J-hope juga siapa? Kenal aja enggak."

"Ya udah, sih, kalo nggak mau juga nggak papa." Shera berbalik badan, ia mulai berjalan menjauhi cowok itu.

Sedangkan Tirta, dia menghembuskan nafas gusar. Susah sekali untuk mengetahui Informasinya. Jika Tirta adalah seorang miliarder, pasti ia akan memenuhi permintaan Shera.

Sementara Tirta ini sekarang hanyalah anak kelas sepuluh SMA, yang uang jajan saja masih minta orang tua.

"Shera, please. Gue cuma mau tahu tentang kehidupan Abbeya." ungkap nya.

Mendengar itu, langkah Shera mendadak berhenti. Ia kembali membalikkan badan, terlihatlah Tirta yang berdiri sambil menundukkan kepala.

Shera benci sekali melihat hal ini.

"Kenapa nggak cari tahu sendiri aja, sih?"

Tirta mendongak. "Ini juga gue sendirian, kok. Gue mau cari tahu lewat lo, Shera. Karena lo itu temannya, kali ini aja."

Shera memutar bola matanya. "Ya udah iya, cepet."

Senyum Tirta mengembang. Ia meninjukan kepalan tangannya ke udara. Sementara itu, ternyata Veline mendengar semua perbincangan Tirta dan Shera dari balik dinding.

Ia baru saja ingin mengambil bukunya yang tertinggal di laci. Dapat Veline lihat Shera pergi bersama Tirta menuju ke suatu tempat. Veline tidak cemburu.

"Kenapa Tirta harus penasaran sama kehidupan gue? Kehidupan gue nggak seindah itu, Ta." monolog Veline.

Teringat akan kejadian kemarin, Tirta membawanya pulang ke Kosannya, ia mengobati luka di tangan Veline, karena teman Veline sedang tidak ada.

Cowok itu terus memanggil Veline dengan nama depannya. Tirta tidak tahu bagaimana sakitnya hati Veline saat kata itu terucap, ia selalu teringat akan Ibunya.

Di sisi Tirta dan Shera, kini mereka telah sampai pada salah satu Kafe di Jakarta. Usai menentukan tempat duduk, Tirta langsung memesan dua Kopi. Metode Kafe ini berbeda dengan yang lain.

Seorang Pemimpin Yang HandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang