"Untuk apa datang, jika pada akhirnya kau menghilang. Untuk apa kau kembali, jika pada akhirnya kau pergi lagi."
–Shera Anindita.*
*
*
Happy reading..."Kenapa nggak jadi ke tempatnya Tante Shani?" tanya Asher disela sela perjalanan. Pandangannya masih terus ke depan. Kini di sampingnya terdapat Shera yang duduk sembari menatap pemandangan di luar.
"Nggak ada izin dari Ayah. Ayah sendiri yang bakal bilang ke Mama tentang Abang gue." balas Shera. Kuku kuku jarinya mengetuk ngetuk kaca mobil.
Asher menganggukkan kepalanya. Hari ini, sebenarnya Asher berniat membawa Shera ke tempat Shani, seperti janjinya pada hari itu. Namun, Shera tiba tiba mengatakan tidak jadi, dan malah meminta ke tempat dimana Tyara dan Rendra berada.
Di sampingnya pun terdapat dua buah paper bag yang Shera bawa untuk Tyara. Shera mengetahui semuanya, bukan salah Tyara seutuhnya. Tyara hanya anak yang tidak bisa memilih. Jika saat itu Tyara tidak menuruti perintah sang Kakak, sudah di pastikan hidupnya akan menderita.
Namun, keputusannya salah. Tyara memilih untuk lebih menderita lebih lama.
"Lo masih belum nerima almarhum Bang Arthur? Udah sembilan hari, Shera. Lo nggak seharusnya mikirin dia terus. Abang lo juga pasti sedih liat lo begini." Asher berujar, menatap Shera yang sejak kemarin tidak memiliki semangat hidup.
Suara helaan nafas terdengar. Shera menyenderkan punggungnya ke kursi mobil. "gimana gue nggak terus kepikiran, di saat kepergian Bang Arthur adalah kesalahan gue."
Asher mencengkram kuat kemudi mobil, dia menghentikan mobilnya di tepi jalan membuat Shera menatapnya dengan bingung.
"Gue nggak akan jalanin mobil sebelum lo janji sama gue."
Shera merotasi kan bola matanya. Selalu saja.
"Kenapa harus? Lo kalo nggak mau ngater gue juga nggak papa. Gue bisa pesan taksi sendiri, gue tahu perbuatan lo itu nggak ikhlas. Dan semua kata yang keluar dari mulut lo, gue nggak pernah percaya itu."
Tangan Shera bergerak mengambil beberapa paper bag nya dan berniat untuk membuka pintu. Namun, kegiatannya terhenti saat Asher mencekal lengan Shera.
"Bukan itu maksud gue. Gue cuma mau lo setop salahin diri lo sendiri. Gue nggak suka setiap kali lo ngomong itu, semua ini bukan salah lo. Lo nggak ingat apa yang Bang Mahesa omongin ke lo? Gue juga tahu dari Dewa. Bang Arthur itu ngebela lo, kematian nya juga bukan keinginan nya."
"Gue kayak gini karena gue cinta sama lo, Shera. Gue sakit hati ngeliat lo yang sedih setiap hari, rasanya usaha gue sama temen temen lo dari kemarin nggak ada hasilnya. Lo bahkan nggak senyum secuil pun saat temen temen kita keluar dari rumah sakit. Gue juga sakit hati."
Shera meneteskan air mata tatkala mendengar suara Asher kian meninggi. Apakah dia salah tidak menampilkan senyuman saat teman temannya keluar dari rumah sakit? Jawabannya mungkin iya. Karena Shera tidak lagi mengenal bahagia setelah Arthur meninggal dunia.
Kematian Kakaknya secara tiba tiba, membuat Shera bersedih dalam jangka yang lama. Setiap kali kembali ke rumah, Shera selalu mengingatnya. Walaupun cowok itu berandalan, tidak berguna dalam keluarga, tetapi dia selalu ada dalam hidup Shera.
"Gue, emang sangat bermasalah buat kalian."
Asher menghela nafas panjang. Dia menarik tubuh Shera dan memeluknya. Asher mengusap punggung gadis itu dengan lembut, sementara Shera memejamkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seorang Pemimpin Yang Handal
Novela Juvenil______________ "Seorang pemimpin yang handal tidak akan menghitamkan mawar putihnya." Asher menatap Shera dengan lekat. "Gue tahu itu." *** Shera kira, bersekolah di sekolah yang sejak dulu ia inginkan akan menjadi sebuah kebahagiaan, namun ternyat...