2

2.1K 41 48
                                    

"Menghargai!" Bianti melempar tisu ke muka Tony. "Anggap mereka ada saja kamu tidak! Aku tidak mau. Aku harus dapat bagian."

"Soal Narrendra. Ada yang ingin kusampaikan padamu."

Sesaat Bianti terdiam. Dia waswas. Takut Tony sudah tahu dia pernah berhubungan dengan anak Tony di masa lalu.

Bianti berusaha bersikap wajar. "Apa?!" tanyanya berlagak marah.
"Dia orangnya keras. Anak sayang ibunya. Dia benci pada kita, dan tentu padamu. Kamu..." Tony tiba-tiba diam.

"Apa? Gagu kamu sekarang?"

"Berbaik-baiklah sama dia," kata Tony setengah memohon. "Aku akan tunjuk dia sebagai pimpinan di perusahaan konstruksiku."

"Tony." Bianti menunjukkan kekhawatiran. "Kamu sekarat?"

Tergelak Tony. "Tidak. Aku sudah tua. Aku tidak bisa pungkiri itu. Orang yang lebih muda dan tidak gampang capekan yang seharusnya duduk di kursi direkturku sekarang."

"Kamu capekan sekarang?"

"Menurutmu saja. Akhir-akhir ini aku pulang cepat kan."

"Ya kupikir karena gundik-gundikmu lagi pada sibuk."

"Tidak. Gundikku ada di sini. Di sampingku."

Bianti tidak tersinggung. Dia malah balik bergurau, "Iya, yang lainnya gimana?"

"Cuma kamu."

"Kiamat kalau aku percaya sama kamu."

"Jadi kamu pikir selama ini aku masih suka main perempuan?"

"Bukan kupikir! Tapi aku memang yakin!"

"Maaf deh kalau gitu."

"Maaf, maaf! Sudah ah! Aku mau tidur!"

"Ingat kata-kataku tadi. Kamu yang akur sama anakku."

"Untuk apa? Anak itu juga tidak respect padaku!"

"Orang yang kamu sebut anak itu lebih tua darimu." Tony mengingatkan.

"Tetap saja dia anak. Kamu suamiku. Dia anakmu. Aku... aku ibu sambungnya! Iya, kan?"

Tony menarik napas panjang. "Dia tidak suka menganggapmu ibu. Dan kamu juga tidak mau kan anggap dia anak."

"Memang tidak mau. Tapi orang itu - ya orang itu - tidak punya sopan santun! Ingat tidak saat kita nikah? Dia masuk ke acara pesta, dan menyebutku jala*g! Di depan banyak orang dan wartawan! Oh. Sampai hari ini aku tidak bisa memaafkan dia."

"Kan orang-orang juga sudah lupa."

"Tidak! Aku punya banyak pembenci, dan mereka menggunakan kejadian itu sebagai bahan untuk menghinaku! Lagipula kamu." Bianti memandang tajam suaminya. "Kenapa sekarang kamu perhatian pada anakmu itu? Hidup kita baik-baik saja tanpa melibatkan dia!"

"Aku merasa bersalah."

"Pada siapa? Ibunya?"

"Sampai hari ini dia masih di Rumah Sakit Jiwa. Tak ada perkembangan. Dokternya meneleponku. Bilang dia terus memanggil aku."

"Lalu kamu datang ke sana?" tanya Bianti kesal.

"Belum."

"Tony! Kamu..."

"Bianti," potong Tony tegas. "Kamu harus ingat siapa kamu. Kamu itu istri kedua. Dan kita tidak ada anak. Kedudukanmu tidak lebih tinggi daripada istri pertamaku dan anakku!"

Bianti hendak membuka mulutnya. Namun yang dikatakan Tony benar. Siapalah dia. Dia hanya tempat penampungan sper*a pria tua itu! Dia juga sudah banyak mendapat keuntungan dari jadi istri Tony. Kemewahan. Modal untuk buat album dan konser. Dan uang yang tak ada habisnya.

Membiarkan Tony berurusan dengan keluarganya seharusnya bukan sesuatu yang berat dilakukan Bianti.

Dia bingung. Kenapa dia tidak nyaman? Selama ini dia masa bodoh amat Tony mau ngapain asal Tony tak pernah absen mentransfer uang padanya. Kenapa justru sekarang dia tidak tenang?

Bianti tak mau berdebat. Dia pejamkan matanya. Anggap saja obrolan mereka sudah selesai.

Tapi, tapi... ada sesuatu di bawah sana. Lidah Tony menelusup masuk ke bagian sensitifnya. Bianti membuka matanya.

"Tony...." Tangannya terulur, mengusap-usap kepala Tony. "Tony, aku..."

Lidahnya. Jari-jarinya. Buat Bianti menggelinjang tak keruan.

Saat Bianti basah, Tony memasukinya. Kasar dan menghentak seperti biasa. Bibir pria itu menempel di bibirnya.

Kali ini Tony mengalah. Dia keluar duluan. Kedua alis Bianti menaik.

"Biar kamu gak marah terus." Pria itu menghujam sekali lagi, lalu menarik diri.

Bianti menutup matanya. Senyumnya terulas. Kemudian didengarnya Tony bergumam,

"Istriku."

Tanpa membuka matanya Bianti menarik tangan Tony dan membawanya ke dadanya.

Tony merangkumnya.

"Setelah sekian lama ini pertama kalinya aku merasa sebagai istrimu." Bianti membuka matanya. Matanya berbinar menatap Tony. "Kamu memedulikan perasaanku. Jujur ini menyenangkan."

"Kalau aku pensiun, dan kamu masih aktif bekerja, aku mau aku saja yang jadi gundikmu," sahut Tony, mengecup bibir istrinya. "Selamat tidur."

** i hope you like the story **

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang