17

267 23 28
                                    

Manajer Bianti, Fifi, meminta ijin pada Tony untuk menemui istri pria itu. Saat itu Tony sedang sarapan dengan anaknya.

"Mbak Bianti sudah baik-baik saja kan, Pak?" sahut Fifi santai.

"Memangnya dia kenapa?" Tony balik bertanya.

"Kan kemarin pundung. Lagu-lagu Mbak ditolak sama Direktur. Katanya terlalu mellow."

"Kenapa pundung dia," kata Tony datar. "Wajarlah ditolak! Selama ini dia nyanyi Kiss Me Kiss Me, Baby, masa sekarang nyanyi mellow?"

Fifi mengulum senyum. Tony melotot.

"Kaget aku, Pak Tony ternyata tahu juga lagunya Mbak Bianti, kirain..."

"Apa? Saya gak peduli sama istri saya?" Dilihatnya Fifi mengangguk. "Sana, Fitroh, dia masih di kamar."

"Oke deh, Pak!" Fifi menoleh ke Narrendra yang diam saja. "Ini anak Bapak? Baru lihat."

"Iya. Lama di luar negeri dia."

"Ganteng ya, Pak?" kata Fifi penuh maksud. Dia merinding begitu kedua mata Tony makin membelo. "Oke ya, Pak, saya ke atas! Selamat makan!"

Keheningan menyertai Tony dan Narrendra. Tony memandang anaknya tajam, sementara Narrendra bersikap cenderung masa bodoh amat.

Tony menarik napas panjang. Dia tidak bisa didiamkan begitu.

"Ini hari pertamamu kerja. Kamu nanti langsung ke lantai bagian Sales and Procurement, ya. Kamu menggantikan manajer yang ada di sana."

"Hm."

"Kamu tidak bisa memperlakukan orangtuamu seperti ini, Narrendra."

"Aku nggak bisa berpura-pura baik."

"Tidak usah. Jadilah baik betulan pada ayahmu."

"Kenapa?"

"Ya karena Papa adalah papa kamu. Orangtua kamu. Dan Papa sudah berusaha untuk bertanggung jawab terhadap kamu, setidak-tidaknya kamu tidak mengalami kesulitan untuk punya pendidikan tinggi."

"Yang aku tahu Papa yang buat Mama seperti sekarang. Tidak ingat siapa-siapa. Dicemooh banyak orang."

"Apa itu salah Papa sepenuhnya?"

"Mama tidak salah!" sahut Narrendra geram. "Mama mencintai Papa, tapi Papa malah menyakitinya!"

"Yang kamu lihat hari itu bukan tiba-tiba terjadi, Narrendra. Papa sudah menahan diri jauh sebelum hari di mana Papa mendorongnya! Tolonglah mengerti posisi papamu ini. Harus bekerja keras tapi justru disambut oleh istri yang galak seperti mamamu itu!"

"Aku tidak mau membicarakan ini lagi."

"Berdamailah dengan Papa. Atau, paling tidak, berusahalah!"

"Tidak selama perempuan itu masih ada di hidup Papa."

"Bianti? Memangnya kenapa dia?"

"Dia menggodaku!" Kepuasan menjalari hati Narrendra saat permukaan wajah ayahnya berubah pahit. "Dia murahan! Dan perempuan murahan itulah yang mengambil posisi Mama!"

"Lalu kamu mau Papa melakukan apa?"

"Buat dia pergi dari kehidupan kita."

"Itu tidak mungkin."

"Kenapa tidak? Memangnya tidak ada lagi perempuan yang lebih baik daripada dia?"

"Cuma dia yang Papa kehendaki."

"Papa cinta sama dia?" Kedua mata Narrendra menyipit.

Tony tertawa kecil. "Habiskanlah sarapanmu."

"Aku tidak percaya Papa cinta dengan wanita yang tidak ada harga dirinya seperti itu."

"Kalau gitu kamu jangan seperti Papa. Jangan termakan dengan rayuannya. Menikahlah dengan perempuan baik-baik. Narrendra. Kamu sudah di atas 30-an. Sudah punya pekerjaan juga. Ada anak kenalan Papa yang tertarik sama kamu."

"Siapa?"

"Siapa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Renaya. Perempuan cantik seusia Narrendra. Pada jam makan siang dia dan ayahnya datang ke kantor Tony.

Narrendra seakan terbuai saat dia bersalaman dengan wanita mungil berparas manis itu. Tanpa sadar dia membandingkannya dengan Bianti. Beda sekali Renaya dengan Bianti.

Suara Renaya halus. Tatapan matanya yang sendu. Mirip dengan Bianti-nya yang dulu. Bukan Bianti yang sekarang, yang materialistis dan suka meremehkan orang lain.

Narrendra tidak bisa menutup kemungkinan itu, bahwa dia akan sungguh-sungguh jatuh cinta dengan Renaya.

** I hope you like the story **

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang