18

240 25 26
                                    

Bianti tidak memusingkan lagi urusan lagu-lagunya yang dibeli label untuk diberikan ke penyanyi lain. Ketika malam itu dia tampil di atas panggung untuk acara musik yang disiarkan di televisi, matanya berbinar memandang semua penggemarnya yang menyerukan namanya.

Dia tidak mau mengecewakan fansnya dengan konsep baru. Jika memang konsep yang sekarang yang mereka inginkan, ya biarlah. Asal penggemarnya bahagia, dia pun ikut bahagia.

Tidak, dia tidak senaif itu, tentu dia memikirkan dari aspek bisnis. Jika dia buat gebrakan dengan citranya yang baru, kemungkinan terburuknya dia berdiri di atas panggung tanpa satu orang pun yang menontonnya.

Dia akan diberitakan sebagai penyanyi kurang laku. Dan dia akan kembali menjadi bukan siapa-siapa.

Itu mimpi buruk baginya. Memang lebih baik dia kubur saja mimpinya untuk punya imej anggun dan terhormat itu!

Tidak ada keinginan membuatnya bosan dengan hidupnya. Dia bak berjalan tanpa tujuan. Hari-harinya hanya latihan vokal, tampil di acara, lalu pulang melayani Tony. Itu saja.

Gairahnya tak setinggi dulu. Kalau Tony sedang tidak minta jatah darinya, dia tidak mencari-cari kepuasan di tempat lain. Tidak di studio bersama Ben. Tidak juga bersama Narrendra yang sudah jarang dia temui.

Bianti yang selalu bangun siang tak berkesempatan untuk melihat pria itu di pagi hari. Saat malam pun Bianti tahu diri dengan tidak ada di antara ayah dan anak itu. Dia lebih memilih menunggu Tony di kamar.

Suatu malam Tony tidak semangat bercinta dengannya. Dia melamun saat Bianti melayaninya. Bianti pun kesal dan berbaring di sampingnya.

"Sekarang aku pasti bukan di top 3," katanya kesal.

"Aku memang sedang tidak mood."

"Pekerjaan?"

"Narrendra."

"Kenapa dia?"

"Aku takut dia mengulangi kesalahanku."

"Kesalahanmu yang mana?"

Tony tidak tersinggung. Dia terkekeh. "Yang abus*ve."

"Kenapa takut? Kan anakmu kaya. Hukum pasti bisa dibeli olehnya!"

"Itu dia. Dia tidak seperti kita."

"Hey! Aku tidak ab*sive!"

"Dia lemah dalam hal berurusan dengan klien. Pantas saja dulu dia hanya manajer di usianya yang tidak muda lagi."

"Dia... lurus? Tidak pakai suap-menyuap untuk memenangkan tender? Itu kan caramu selama ini?"

Senyum Tony terulas. "Kamu nih. Diam-diam perhatian padaku."

"Mau bagaimana. Tidak sebentar kita bersama."

"Narrendra punya sifat sepertiku. Dia bisa kasar sama orang. Tapi di sisi lain dia takut polisi. Yang aku takutkan jika dia menyakiti calon istrinya, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa."

"Dia kasar? Calon istri?"

"Oh! Aku tidak percaya membicarakan anakku denganmu, tapi karena kamu gundik yang sekarang ada di dekatku, ya sudah, kusampaikan saja kerisauanku."

"Huh! Bilang saja, kamu mau membagi keluh-kesahmu dengan istrimu!"

"Tidak. Nanti kamu GR." Senyum Tony makin lebar, namun kemudian wajahnya berlumur kepahitan. "Narrendra pernah ditangkap polisi dulu. Dia mukul teman SMA-nya di acara reuni. Saat itu dia terpancing karena temannya itu menyinggung ibunya yang sakit."

"Oh... aku baru tahu," kata Bianti kaget.

"Untungnya ketika itu terjadi aku tidak di luar kota, tapi anak itu... dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Masalahnya adalah, perempuan yang dekat dengannya sekarang, bukan anak dari orang sembarangan. Dia sangat bisa buat Narrendra dalam masalah kalau Narrendra tidak bisa mengontrol emosinya."

Pria itu terus bicara, tapi Bianti tidak mendengar. Pikirannya terbang membayangan Narrendra bersama perempuan lain.

Dia tidak nyaman. Pantas saja Narrendra tidak mendekatinya lagi. Ternyata dia sudah membagi hatinya untuk wanita lain!

Kupikir kamu bisamenungguiku, keluhBianti sebelum tidur. Tapi... kamu tidak secinta dan setulus itu padaku kan,Narrendra? Kamu hanya terbawa perasaan saja saat kamu suruh aku cerai dari ayahmu! Kamu tidak sungguh-sungguh ingin bersamaku!


** I hope you like the story **

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang