19

259 23 26
                                    

Pintu kamar Narrendra diketuk. Sambil memasang kancing kemejanya, dia buka pintu itu. Bianti berdiri di hadapannya.

"Masuklah, aku lagi pakai baju." Perempuan itu menurut. "Tutup pintunya, Bianti." Sesaat Bianti ragu, tapi dia menurut juga.

"Ada apa?" tanya Narrendra heran.

"Papamu sudah pergi duluan."

"Lalu?"

"Aku ingin mengucapkan selamat. Kamu sudah bisa move on dari aku."

"Apa yang kamu dengar tentangku?" sahut Narrendra datar.

"Ya kamu. Kamu setuju untuk dijodohkan."

"Papaku ngarang. Aku tolak kok perempuan itu. Bianti." Pria itu menatap perempuan itu lekat-lekat. "Aku kan cinta sama kamu. Itu kenapa aku ada di sini. Akhir-akhir ini aku memang sibuk. Ya bagaimana pun aku masih kroco. Belum banyak pengalaman di konstruksi."

"Benar?" tanya Bianti berharap. "Kamu tidak pilih perempuan itu?"

"Bianti, kenapa aku harus pilih dia di saat aku yakin aku masih bisa balikan sama kamu?"

"Kamu punya banyak alasan untuk tidak bersamaku. Itu kenapa aku meragukanmu."

"Kamu? Meragukanku?" Tawa Narrendra pecah. "Bukankah aku yang seharusnya meragukanmu? Kamu kan sudah meninggalkan aku. Bahkan kamu biarkan aku mendengarmu berteriak karena keenakan bercinta dengan papaku!"

"Maafkan aku..."

"Tampaknya kamu tidak sungguh-sungguh mau lepas dari papaku. Mungkin kamu sudah terbiasa disiksa begitu. Aku sempat lihat dia menyakitimu saat kalian melakukannya."

"Aku tahu kamu mengintip saat itu."

"Aku sakit hati, kamu tahu? Aku tidak bisa tenang sejak hari itu. Kamu... kamu harus lakukan sesuatu!"

"Apa, Narrendra? Katakan saja!"

"Hari ini aku tidak usah sarapan, deh. Aku mau sama kamu saja. Di sini."

"Aku... Aku tidak bisa. Aku tidak mau khianati Tony lagi!"

"Kamu tega, Bianti. Setiap hari aku di sini gelisah memikirkan kamu bermesraan dengan ayahku. Kamu tidak peduli sama perasaanku, kan. Sekarang aku cuma minta untuk bersenang-senang sama kamu saja, kamu gak bisa! Kapan sih kamu, berhenti memikirkan diri kamu sendiri? Ada tidak aku di kepala kamu? Huh?"

"Narrendra, aku...."

Bibirnya dipagut. Narrendra mendorongnya ke atas ranjang pria itu. Diciuminya bibir, leher, kemudian dada perempuan itu.

Tergesa-gesa Narrendra memasukinya. Bianti tidak bisa menikmatinya. Dia memukul-mukul dada Narrendra untuk berhenti tapi pria itu tak mau dengar. Malah bibirnya ditutup dengan mulut pria itu.

Tak ada pilihan untuknya selain berpasrah sampai cairan hangat itu keluar dan masuk ke dalam dirinya.

"Aku masih sakit hati padamu," kata Narrendra dingin. "Kamu tidak mengerti. Kamu tidak peduli!"

Bianti memeluk pria itu. "Maafkan aku! Tolong ampuni aku!"

Narrendra tersenyum lega. Bukan karena penyesalan perempuan itu. Tapi dia tahu, Bu Nita yang sudah disuruhnya terus mengawasi Bianti, pasti sudah mengirim foto Bianti yang masuk ke kamarnya, ke Tony.

Benar saja. Narrendra hari itu sengaja menyetir lebih lambat daripada biasanya. Karena bukan bos, menurutnya lebih baik jika dia mengemudikan mobilnya sendiri.

Ayahnya menunggu di ruangannya. Wajahnya mengerikan.

"Kenapa terlambat?" tanya Tony dingin.

"Oh, percayalah aku tidak mau terlambat kalau istri Papa tidak menahanku!"

"Apa maksudmu?" Kedua mata Tony menyipit. "Kalian berdua..."

"Aku tidak bisa melawannya, Papa! Dia masuk ke kamarku dan menyergapku. Dia bilang dia tidak tahan... Oh! Aku mau pergi saja dari rumah. Ini memalukan. Semoga saja hal ini tidak sampai ke Renaya!"

"Jangan. Kamu jangan pergi dari rumah," kata Tony kemudian. "Tapi tadi kalian... Kamu sampai masuk..."

"Dia yang buat aku masuk!"

Tony menarik napas. Dia geram. Hal itu terpampang sekali sampai Narrendra tidak bisa mendeskripsikan kebahagiaan yang menyelimuti hatinya.

Di luar dugaan, Tony memberitahunya, "Kita tidak bisa mengusirnya sekarang. Papa masih butuh dia."

** I hope you like the story **

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang