3

733 33 41
                                    

Ponsel Tony tak berhenti berbunyi. Bianti tetap fokus merias diri depan kaca. Sementara Tony sedang sibuk memakai dasinya.

Tak digubris-gubris telepon itu, Bianti menoleh ke suaminya. "Angkatlah."

"Ini masih pagi. Tidak ada klien dan karyawan yang bisa menghubungiku jam segini."

"Ya mungkin salah satu gundikmu."

"Tidak mungkin. Aku sudah transfer ke mereka kemarin."

"Sudah kuduga kamu masih main gila."

"Memang kamu sudah berhenti?" sahut Tony mengangkat satu alisnya.

"Bukan urusanmu." Bianti memalingkan mukanya.

Begitu rapi Tony mendekati ponselnya. Bianti memandang lagi pria itu. Muka Tony tampak tak senang, malah jelas sekali dia dilanda kekhawatiran.

"Siapa?" tanya Bianti setelah pria itu menutup sambungan.

"Rumah sakit. Mariana tidak mau makan."

Nama itu. Nama mantan istri Tony. Nama ibu Narrendra.

"Oh," desah Bianti menahan nyeri di hatinya.

"Hari ini aku tidak pulang ya. Aku mau mendampingi Mariana."

"Tony!" Bianti berjalan menghampiri pria itu. "Dari bulan lalu aku bilang padamu, malam ini malam terakhirku tampil di teater musikal! Kamu bilang kamu bisa datang!"

"Dokter bilang Mariana coba mengakhiri hidupnya lagi. Bianti. Ini urusan penting."

"Acaraku juga sama pentingnya! Akan ada banyak wartawan di sana. Kalau kamu tidak ada, bisa-bisa aku kena rumor! Reputasiku bisa jelek!"

"Reputasi apa," ulang Tony menggeleng-gelengkan kepalanya. "Seantero negeri juga sudah tahu kamu perusak rumah tangga orang."

"Aku? Perusak rumah tangga orang?" Tertawa Bianti mendengarnya. "Hey! Saat kita bertemu rumah tanggamu sudah berantakan! Kamu menderita, dan aku! Ya aku! Aku yang buat kamu terlepas dari jeratan penderitaan itu. Kamu bahagia bersamaku!"

"Kamu terlalu tinggi menilai dirimu."

Bianti mengatur tarikan napasnya. Dia sakit hati sekali. "Oh! Lalu kenapa kamu nikahi aku dan bertahan sama aku selama ini, Tony?!"

"Aku sudah menghancurkan keluargaku demi kamu. Masa aku buang kamu begitu saja setelah apa yang kukorbankan di saat aku bisa menjadikanmu sebagai buda* se*sku?"

"Carilah bud*k s*ks yang lain! Aku mau cerai saja darimu!"

Tangan Tony mendarat sengit di pipinya. Dia menarik tangan Bianti dan mendorongnya ke atas tempat tidur. Dilepasnya gesper.

Tak ada perlawanan dari Bianti. Itu bukan pertama kali Tony menyalurkan amarahnya dengan menyakiti fisiknya. Sering Tony marah karena berbagai alasan, biasanya terkait dengan pekerjaan pria itu.

Tony hendak mencambuk paha istrinya, tapi dia ingat Bianti akan tampil dari sore sampai malam. Dia tak habis akal. Dia letakkan kedua tangan Bianti di atas kepala perempian itu. Diikatnya pergelangan tangannya dengan gespernya.

Dia singkap bagian bawah gaun perempuan itu. Ugal-ugalan dia memasuki Bianti.

Pria itu tahu Bianti terhina. Memendam ngilu. Tanpa perlu ada air mata yang keluar. Ada sisi Tony yang merasa bersalah saat dia melakukannya.

Namun permintaan Bianti benar-benar melukai hati dan egonya. Cerai! Siapa dipikirnya dirinya? Bianti cuma perempuan yang punya mimpi! Tanpa Tony dia bukan siapa-siapa. Bahkan jangan-jangan jika dulu Tony tidak membantunya, nasibnya sekarang sudah jadi pela**r.

Tatkala kepuasan itu diraihnya, Tony berbisik di telinga perempuan itu. "Aku sudah usir keluargaku. Aku tidak mungkin kehilangan kamu juga. Cuma kamu tempatku pulang." Bianti menggeleng. Tony mencengkram leher perempuan itu dengan satu tangannya. "Kamu! Cuma kamu!" Dia hujam istrinya sekali lagi.

Bianti menarik tangan Tony dari lehernya. Diciumnya tangan itu. "Tony, aku ingin disayang..."

Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku bukan pria romantis seperti itu. Kalau aku bisa, istri lamaku tidak sakit seperti sekarang."

** i hope you like the story **

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang