31

286 24 37
                                    

Tony seakan kecewa saat istrinya menolak untuk disentuh. Bianti mengerutkan dahinya. Dia heran pada suaminya. Masih mau saja berhubungan dengannya.

Sebenarnya Tony capek. Batuknya makin parah. Dia tahu ketidaknyamanan istrinya yang mendengar dahaknya yang keras. Karena itu dia mau menebusnya dengan melayani Bianti.

"Aku ini besar sekali lho, Tony," kata Bianti menjelaskan. "Kalau aku di atas badanmu, bisa retak tulang-tulangmu itu!"

"Kamu menyindirku karena aku cungkring?" sahut Tony pura-pura tersinggung.

"Tidak! Justru aku lagi tidak percaya diri karena bentuk tubuhku yang sekarang!"

"Benar tidak ini Bianti istriku? Masa rendah diri begini?"

"Istriku," ulang Bianti tersipu. Dia mengeratkan pelukannya pada Tony. "Kenapa tidak dari dulu kamu bersikap lembut seperti ini?"

"Dulu aku tidak ingat ajal."

"Jangan bicara begitu, ah."

"Kenapa? Senang kan harusnya kamu. Bentar lagi bayinya lahir. Kalau aku ma.."

"Tony!" bentak Bianti. Susah-payah dia menegakkan tubuhnya. Tak dihiraukannya sakit pinggang karena dia memindahkan posisinya. Dia ingin memberi tatapan tajam pada Tony. "Jangan ngomongin lagi soal kema*ian! Aku nggak suka!"

"Tapi bukankah itu tujuanmu menikah denganku? Kamu menghendaki hartaku, kan?"

"Aku lebih butuh dirimu, Tony. Aku tidak punya siapa-siapa selain kamu."

"Aku yakin kamu tidak sesedih itu. Bisalah kamu hubungi pacarmu yang mana saja!"

"Semuanya hanya hiburan sesaat! Tapi kamu. Kamu, Tony, satu-satunya tempatku bersandar tiap malam! Aku nggak mau kehilangan kamu!"

"Kamu masih muda sekali. Perjalanan kamu masih panjang. Bianti. Inilah alasan aku tidak mau bersikap mesra padamu. Aku takut cintamu kepadaku terlalu besar hingga kamu sulit melepaskan aku!"

"Oh!" desis Bianti kesal. "Apakah ini Tony Jusuf suamiku? Mana dia yang gagah dan menyebalkan itu?"

Walau jengkel Bianti kembali lagi meletakkan kepalanya di atas dada pria itu. Ditariknya napas kuat-kuat.

Tony dapat merasakan kemurkaannya. Dia belai-belainya lengan istrinya.

"Bianti, sadarlah, aku sudah tua."

"Aku tahu," kata Bianti pelan. "Tapi aku tidak mau diingatkan soal perpisahan. Kalau tidak ada kamu, aku akan merana, Tony."

"Karena itu kembalilah berkarir lagi. Kamu sangat suka memproduksi lagu. Bernyanyi. Berinteraksi dengan penggemar-penggemarmu. Agar kamu punya tujuan. Agar kamu tak meratapi aku sewaktu aku pergi. Ya? Itu saja permintaanku. Jangan berhenti. Kamu belum selesai."

"Apa lagi yang kukejar, Tony? Aku sudah punya segalanya."

"Namamu itu baru dikenal di ASEAN. Cobalah merambah pasarmu. Ke Asia. Ke Barat, kalau mungkin. Aku yakin kamu bisa. Vokalmu masih bagus."

"Hm."

"Kenapa?"

"Sejak kapan kamu perhatian dengan pekerjaanku?"

"Sejak dulu. Kenapa pikirmu aku mau mengeluarkan modal untuk membiayai proyek-proyek solomu?"

"Oh, kalau diingat-ingat lagi, kamu itu sebenarnya baik, ya. Padahal yang kuberikan padamu cuma tubuhku."

"Tidak juga. Aku bangga punya istri yang berbakat seperti kamu."

"Senang rasanya dipuji sama kamu, Tony. Aku akan terus buat kamu dan anak kita bangga. Tapi sebagai gantinya kamu harus panjang umur."

"Bianti, aku ingin kamu dengarkan aku. Baik-baik. Aku ini sakit. Bahkan besok hari terakhirku bekerja. Selanjutnya Narrendra yang menempati posisiku."

"Sakit?"

"Ya. Sakit."

"Kamu akan sembuh, Tony."

"I wish. Kamu tahu, Bianti, kalau umurku masih panjang, aku akan mencoba menjadi Tony yang buat orang-orang di sekitarku bahagia. Aku akan lebih giat meminta maaf pada Narrendra dan ibunya." Tangan Tony menjulur ke perut Bianti. "Aku akan jadi ayah yang penyayang bagi anak kita."

Air mata tak kuasa ditahan Bianti. Semalaman mereka berpelukan. Mereka terjaga dengan pikiran masing-masing.

Bianti tahu betapa menjengkelkannya Tony sebagai pria yang punya ego. Yang tak mau dianggap lemah oleh orang lain. Jadi ketika dia mengakui kondisi fisiknya yang sebenarnya, Bianti pun mengubah sikapnya.

Dia tak sinis lagi pada suaminya. Yang dia persembahkan pada Tony adalah pengabdiannya.

Tony menyesal telah jujur pada istrinya. Bianti jadi tak mau jauh-jauh darinya. Bahkan saat hujan turun dan Tony hendak masuk ke mobilnya, Bianti mengejarnya.

Tony marah. "Hey! Masuklah! Kasihan kamu dan baby!"

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihatmu sebelum kamu berangkat." Bianti mengecup pipi suaminya. "Pulanglah lebih cepat. Aku gampang rindu padamu."

Kehangatan menjalari hati Tony. Dia mengangguk. "Sana masuk." Bianti tidak menurut. Sampai Tony di mobil dan meninggalkan gerbang villa, dia masih melihat Bianti berdiri di dekat pintu rumah, melambaikan tangan padanya.

Tak ada satu pun dari keduanya yang tahu. Itu terakhir kalinya mereka bersua.

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang