11

354 70 51
                                    

Satu alis Narrendra menaik. Bianti di depannya sedang menaruh piring-piring berisi lauk di atas meja. Wanita itu menoleh padanya. Mengajaknya sarapan.

Narrendra duduk. "Mana ayahku?"

"Pagi-pagi sudah berangkat ke Bandara. Katanya mau meninjau proyek di KalBar."

Apa peduli Narrendra. Justru dia senang bisa lebih leluasa dengan Bianti tanpa kehadiran ayahnya.

"Kenapa, Bianti?"

"Kenapa apa?"

"Kenapa kamu repot-repot melayaniku di ruang makan seperti ini? Apa kamu berubah pikiran? Kamu mau kita menyambung hubungan kita..."

"Tidak," sela Bianti, duduk di seberang Narrendra. "Aku mau bersikap wajar denganmu. Jangan lupa. Aku ini istri ayahmu dan ibu sambungmu."

"Aku sudah cukup berat menerimamu sebagai pendamping ayahku. Tak usah tekan aku dengan mengingatkan kamu ibu sambungku."

"Kenapa kamu tidak membiasakan dirimu?"

"Aku? Aku yang membiasakan diri?" Narrendra tertawa tipis. "Apa yang kamu tahu sebagai ibu sambung! Jadi ibu saja belum!"

Raut wajah Bianti berubah. Dia tampak pundung. Tak ada sahutan yang bisa dia berikan untuk Narrendra.

Penyesalan melumuri hati Narrendra. "Kamu ingin jadi ibu, Bianti?" tanyanya setelah beberapa menit terlewati.

Wanita itu menatap Narrendra sesaat, lalu pandangannya beralih ke roti yang dilahapnya. "Tidak. Aku tidak mau jadi ibu."

"Apa karena kamu takut tidak tahu siapa bapaknya?" sahut Narrendra tenang.

Sekalipun Bianti tak usah tersinggung. "Se.. sebaiknya kita tidak usah bicara saat makan," kilahnya.

"Kenapa kamu tidak mau jadi ibu?" desak Narrendra masih penasaran.

Bianti menghela napas panjang. Kali ini dia tidak mengelak. Dipandanginya Narrendra lekat-lekat. "Untuk apa kemauan itu."

"Bukankah kamu suka harta? Kalau kamu punya anak dari ayahku, kamu pasti akan diberikannya hadiah yang mahal-mahal."

"Tak usah punya anak pun aku sudah diberikan hadiah oleh ayahmu!" kata Bianti dingin. "Habiskanlah makananmu."

"Tidak sebelum kamu jawab terus terang."

"Pikir saja sendiri. Aku dan Tony sudah bareng untuk waktu yang lama, kan. Tapi memang aku... aku yang..." Bianti mengangkat bahu. "Aku yang tidak bisa memberikannya anak. Karena itu aku tak punya keinginan untuk hamil."

"Cobalah denganku. Siapa tahu bisa," sahut Narrendra menyeringai penuh maksud.

"Masih pagi tapi pikiranmu sudah tidak jernih. Lagipula kamu akan dijodohkan oleh ayahmu."

"Benarkah?"

"Ya. Papamu yang bilang semalam."

"Kalian ngobrol? Kirain cuma ngese*s."

"Itu juga iya."

"Mengganggu, kamu tahu?"

"Mau bagaimana lagi. Enak."

Rahang Narrendra mengeras. Dia fokus ke topik yang sebelumnya. "Apa papaku kasih tahu kenapa tiba-tiba dia ingin menjodohkan aku dengan.. siapa?"

"Dia belum bilang siapanya. Ya alasannya.." Bianti tidak mungkin memberitahu apa yang Tony katakan semalam. Untuk menjaga perasaan Narrendra. "... agar kamu tidak kesepian saja."

"Lalu kamu?"

"Maksudnya?"

"Lalu kamu setuju dengan ide ayahku? Kamu tidak apa-apa aku menikah dengan yang lain?"

"Te... tentu!" jawab Bianti sedikit gelagapan. "Kalau kamu senang, aku ikut senang."

"Benar?" sahut Narrendra dengan nada menantang. "Kamu tidak masalah aku melamar wanita lain, menikah dengannya, dan berbahagia sebagai suami wanita lain?"

Mata Bianti menatap ke arah lain. "Itu hidupmu. Siapa pun tidak berhak menghalangimu untuk bahagia."

"Benar juga. Nanti aku coba deh. Semoga saja perempuan itu cocok untukku."

Bianti menoleh dengan sorotan tak percaya. "Ya. Semoga saja!"

Diperhatikannya Narrendra yang makan di depannya. Dalam hati Bianti miris sendiri.

Tidak sepantasnya dia sakit hati jika Narrendra bersama orang lain. Tapi mengapa dadanya sesak dengan membayangkannya saja?

Di sela-sela makannya, Narrendra mengangkat mukanya. Mengingatkan perempuan itu. "Jangan cuma roti, Bianti."

"Aku biasa hanya makan roti setiap pagi."

"Dulu kamu tidak begitu."

"Dulu itu lebih dari 10 tahun lalu. Tentu aku sudah berubah."

"Sekarang kamu buat dirimu kelaparan?" sindir Narrendra.

"Mau tidak mau." Bianti mengangkat bahunya acuh tak acuh.

Narrendra memandangnya iba. Hidup Bianti tidak semenggerimbakan itu rupanya. Pastilah dia menjaga bentuk tubuhnya. Untuk Tony. Untuk fansnya. Untuk pria-pria yang tidur dengannya.

Sekonyong-konyong bayangan wajah ibunya yang linglung masuk ke benak Narrendra. Dia urung merasa kasihan pada Bianti.

Penderitaan Bianti yang tersiksa akibat dari melaparkan dirinya tidak ada apa-apanya dibanding penderitaan ibu Narrendra.

Dan itu yang buat Narrendra semakin bertekad, untuk lebih gencar mendekati Bianti. Untuk menyakiti hati perempuan itu. Untuk merusak rumah tangga ayah Narrendra. Dengan begitu Narrendra dan ibunya bisa lega.

** I hope you like the story **

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang