27

260 17 14
                                    

Sikap Tony yang santai saja menimbulkan pertanyaan di benak Narrendra. Ayahnya tidak menunjukkan gelagat sedih atau senang.

Pertanyaannya bertambah saat orang-orang mengeluarkan barang Bianti dari rumah. Termasuk membawa foto-foto perempuan itu dari sana.

Narrendra menoleh ke ayahnya. Saat itu mereka sedang sarapan.

"Dia benar-benar tidak kembali?" tanyanya dengan nada yang ditenang-tenangkan.

Dahi Tony mengernyit. "Ya."

"Apa yang Papa lakukan padanya?"

"Menyingkirkannya."

"Pa. Tolong katakan di mana dia sekarang."

"Kenapa Papa harus melakukannya?" sahut Tony heran.

"Karena aku... Aku peduli padanya," kata Narrendra lemah.

"Kenapa kamu peduli padanya?"

"Apa Papa perlu bertanya? Dia kekasihku. Kami berpacaran lama sebelum dia menikah dengan Papa."

"Dia bukan kekasihmu lagi, Narrendra," jawab Tony tenang. "Tak usah lagi kamu pikirkan dia."

"Aku mencintainya, Pa."

Tony memandang anaknya. Sesaat tak ada yang bisa dikatakannya. Kemudian dia ingatkan anaknya, "Dia tinggalkan kamu. Dia khianati kamu. Bagaimana bisa kamu bicara kamu cinta pada wanita seperti itu?"

"Bagaimana dengan Papa? Papa mencintainya juga, bukan? Padahal dia bukanlah istri yang setia..."

"Papa dan Bianti punya kesepakatan di awal pernikahan kami. Kami boleh berhubungan badan dengan siapa pun yang kami mau."

"Sakit," desis Narrendra tak percaya.

"Saling memberi pengertian, itu lebih tepat."

"Pa."

"Apa? Masih mau bertemu dia?"

"Katakan saja. Apa dia masih hidup?"

"Apa pedulimu?" jawab Tony. Kali ini suaranya lebih keras. Tatapannya pun dingin. "Dia bukan urusanmu! Kamu itu anakku. Dan suka tidak suka, dia istri Papa, ibu tiri kamu!"

"Dia kekasihku!" cetus Narrendra berang. "Aku akan kembali padanya."

"Tidak mungkin."

"Apa Papa bunuh dia?!" kata Narrendra tak sabar. "Tolong beri aku jawaban, Pa!"

"Bukankah itu yang kamu mau? Bagi kamu, perempuan seperti dia hanya pengkhianat cintamu dan perusak rumah tangga orangtuamu, kan? Dan karena itu kamu ingin Papa mengotori tangan Papa untuk membuatnya pergi dari hidup kita. Kenapa sekarang sikapmu begini?"

"Aku...." Narrendra menangis. "Aku tidak tahu."

"Penyesalanmu itu.. gak ada gunanya!" kata Tony jengkel. "Dia sudah pergi. Kamu move on saja. Fokus pada hubunganmu dengan Renaya. Ayahnya terus tanyai Papa. Kapan kamu mau bawa hubungan kalian serius."

"Pa, soal Bianti..."

"Dia tenggelam," jawab Tony, tidak sepenuhnya bohong. "Kamu bisa sapa dia di pantai sana."

"Tenggelam? Dia..."

"Bunuh diri."

Kedua Narrendra membelo. Dia kaget mendengar Bianti telah tiada. Tapi lebih mengejutkan lagi cara ayahnya memberitahunya. Santai sekali!

Kekalutan membayang-bayangi Narrendra. Dia gelisah di mana pun dia berada. Wajah Bianti tak mau pergi. Suara tangisnya terngiang melulu di imajinasinya.

Saat Narrendra berkencan dengan Renaya, sekalian membicarakan rencana pertunangan mereka, Narrendra melihat Renaya sebagai Bianti.

Dia kehilangan kendali. Keduanya di mobil Narrendra. Sebelum wanita itu turun, Narrendra meraih tangannya, kemudian bibirnya berkelana di bibir Renaya.

Renaya bingung. Dia tidak tahu bagaimana membalas kecupan pria. Kiranya itu ciuman pertama baginya. Lambat-laun dia membalas pagutan bibir Narrendra.

Ketika tangan Narrendra turun ke dadanya, Renaya menamparnya. Kala itulah Narrendra tersadar. Dia bukan bersama Bianti.

Kikuk dia meminta maaf. "Aku... aku tidak tahu kenapa aku begini," kilahnya berlagak polos. "Aku tidak akan mengulanginya lagi, Renaya! Aku janji!"

"Kamu tidak sabar ya sampai kita nikah?"

Apa peduli Narrendra pada pernikahan. Tapi toh Bianti tak bisa diharapkannya lagi. Di sisi lain juga dia tidak tega melukai hati Renaya yang tulus padanya.

Narrendra mengangguk sekenanya. "I... iya. Aku tidak sabar, Renaya." Dia tersenyum masam. Begitu Renaya turun dari mobilnya, dihelanya napas lega. Syukur saja dia tak salah menyebut nama.

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang