8

433 26 39
                                    

Tangannya menyentuh gagang pintu kamar. Tahu-tahu dia dipeluk dari belakang.

Dirasakannya sesuatu mengganjal.

"Halo, Sayang."

"Narrendra!"

Tubuh Bianti tak bisa bergerak. Pria itu melekapnya kuat. Dada Bianti pun kena diremas oleh pria itu.

"Tenang saja, dari dulu papaku tidak pernah ada di rumah siang-siang!"

"Kamu mau apa?"

"Mau bawa kamu ke kamarku."

"Tidak mungkin. Ini rumah ayahmu! Kita tidak bisa melakukannya di sini!"

"Kata siapa?"

Pria itu memaksanya. Ketika keduanya sudah di kamar Narrendra segera mengunci pintu dan melepaskan kaosnya.

"Oh kamu sudah gila."

"Tidak lebih gila daripada kamu. Melayani pria tua yang tak lain ayah dari pacarmu!"

"Kamu bukan pacarku lagi!"

Narrendra tertawa, menggelengkan kepalanya. "Bagiku kamu selalu pacarku!" Dia memagut bibir Bianti.

Perempuan itu memberontak. Dia berusaha memukul dada pria itu tapi Narrendra lebih kuat menahannya.

Masih dengan bibirnya yang menaut di bibir perempuan itu, Narrendra mendorong Bianti ke atas tempat tidur. Kedua pahanya mengapit tubuh Bianti.

Tangannya masuk ke dalam celana Bianti. Jari-jarinya menelusuk di bagian sensitif perempuan itu.

"Narrendra! Ini sama saja dengan perko*aan!"

"Oh, begitu ya." Narrendra menjauhkan diri. "Silakan pergi. Ayo. Tinggalkan kamar ini."

Bianti seakan terhipnotis. Atau lebih tepatnya dia tidak benar-benar mau pergi. Dia ingin meraup kenikmatan itu. Toh Tony tidak ada di rumah!

Senyum Narrendra terukik. Dia dekati lagi perempuan itu. Dia tidak mau lagi pemanasan. Lekas disodoknya perempuan itu dengan jagoannya. Tidak peduli kesat di bawah sana.

Tapi Bianti peduli. Dia menarik diri dan mengulum pria itu. Persetan dengan tenggorokan dan suaranya. Setelah pria itu cukup basah, dia bawa lagi junior itu masuk ke dalamnya.

"Oh... Bianti.... Bianti, Sayang..." Narrendra menciumi bibir perempuan itu dengan satu tangannya yang menudungi payu*ara Bianti.

"Narrendra, aku mau...."

"Sebentar lagi, sebentar lagi ya...." Narrendra menguatkan dorongannya sampai keduanya sama-sama klimaks.

Bianti menyentuh cairan itu dan membawanya ke mulutnya. "Ini yang terakhir. Kita tidak bisa lagi melakukan ini."

"Ini baru permulaan."

"Narrendra!"

"Aku setuju untuk kerja di perusahaan Papa agar aku bisa tinggal di sini dan dekat denganmu."

"Kamu sadar tidak sih, yang kita khianati adalah papamu!" sahut Bianti gemas. "Kamu tidak akan diapa-apain karena kamu anaknya, tapi aku?!"

"Papa sudah tua. Dia lemah. Aku bisa melindungimu, Bianti!"

"Kamu salah! Papamu sama sekali tidak lemah!"

"Kamu tidak usah membelanya. Kita berdua tahu usianya."

"Tidak! Ini harus berakhir. Dan harus sekarang!"

Bianti hendak beringsut tapi Narrendra menahannya. "Kenapa sih kamu begini? Kamu tidak peduli sama aku?"

"Narrendra, aku ini...."

"Tidak. Kamu kekasihku. Dan aku masih kangen sama kamu!" Suara Narrendra melembut. "Kamu jangan tinggalkan aku lagi, ya? Ya Sayang, ya? Oke?" Narrendra menarik tangan perempuan itu, mengantarkannya ke juniornya. "Aku tahu kamu masih ingin kan lepas rindu sama dia."

Sebagai jawabannya Bianti mengelusnya.

Kepuasan merambati hati Narrendra. Memang tidak sulit meluluhkan perempuan yang tak punya harga diri seperti Bianti ini.

Mata Narrendra menoleh ke pigura di atas nakas. Di balik pigura itu ada kamera kecil yang merekam apa yang mereka lakukan barusan.

**

Bianti tahu Narrendra sama kerasnya dengan ayahnya. Dia tidak bisa bilang ya dan tidak begitu saja. Pria seperti itu tidak menerima jawaban simpel darinya.

Dia harus buat Narrendra berhenti dengan cara lain. Malam itu ditahannya Tony ke ruang makan. Dia ajak Tony ke tempat tidur.

"Aku mau berterima kasih padamu."

Bianti tengkurap di atas kasur. Bokongnya dia naikkan tinggi-tinggi. Dia mengundang Tony untuk masuk.

Tersenyum Tony melihat perempuan itu sukarela menyerahkan dirinya. Biasanya Tony lah yang memulai.

Tony tak menyia-nyiakan undangan. Dia merenggangkan gespernya. Menurunkan retsleting. Dan memasuki bagian belakang Bianti.

Jarang Bianti menawarkannya. Perempuan itu paling ogah diajak dari belakang. Katanya tidak nikmat. Dan sakit. Herannya Tony yang tersinggungan kalau keinginannya ditolak, terima saja pendapat Bianti.

Kedua tangan Bianti mencengkram sprey erat-erat. Tidak menyenangkan sekali melakukan itu baginya. Sengaja dia berteriak keras-keras. Bagi Tony teriakan itu terkesan menikmati.

Begitu pun bagi Narrendra yang ada di kamar sebelah. Dia mau muntah membayangkan Bianti dipuaskan ayahnya sampai suara desahannya terdengar ke ruangan lain.
Tidak heran. Selama ini mereka tinggal berdua di rumah sebesar itu. Pastilah mereka tak mempertimbangkan untuk masang kedap suara.

Seenak itukah bercinta dengan Papa, pikir Narrendra murka. Pantas saja dia betah bersama Papa! Selain karena uangnya, dia juga keenakan di atas tempat tidur! Huh!

Kemarahannya berganti jadi rasa malu. Dia malu, sebab dia masih cemburu. Dia dibuat cemburu oleh perempuan yang menjual tubuhnya untuk karir! Perempuan yang tidak layak dicintai sampai menimbulkan nyeri di hati Narrendra.

Maafkan aku, kata Bianti dalam hatinya. Kamu harus lupakan aku, Narrendra! Aku tidak bisa... tidak memberi kepastian itu untuk kedua kalinya!

Jeritan Bianti meninggi. "Tony... Tony... aku tidak kuat lagi... Tony.... Oh, Tony!"

Narrendra juga tidak kuat. Dia ke kamar mandi dan mengeluarkan isi lambungnya di WC.

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang