21

263 23 30
                                    

Narrendra sedang makan malam bersama Renaya di restoran. Perasaannya tidak enak. Dia mengecek ponselnya. Tidak ada pesan apa-apa dari rumah sakit. Pikirannya melayang ke Bianti.

Kegelisahan tak diayal, padahal seharusnya Narrendra berada di atas awan, karena kehancuran rumah tangga ayahnya dan Bianti ada di depan mata. Dia yakin ayahnya menghukum perempuan itu dengan cara yang sadis. Cara yang tidak bisa dipikirkan orang normal.

Bagaimana nasib Bianti, pikir Narrendra. Apa yang dilakukan Papa padanya? Papa bilang Papa masih butuh dia. Untuk apa? Apa karena Papa investor di label yang menaunginya jadi Papa tidak mau merugi jika Bianti diusir dari rumah? Tidak, tidak, sudah banyak penyanyi yang lebih bagus dan laku di pasaran di bawah label itu.

Ketidaktenangan itu tak luput dari perhatian Renaya. Perempuan itu menyarankan untuk segera menyudahi saja makan malam mereka.

Narrendra menggeleng. Dia tersenyum untuk mencairkan suasana. "Tidak, Sayang, aku lagi banyak pikiran. Biasa. Pekerjaan."

"Ada apa? Mungkin aku bisa bantu," tawar Renaya.

"Ya... aku kan di Sales, lagi gugup saja, takut tidak menang tender."

"Kamu orangnya jujur ya?"

"Kenapa kamu bisa bilang gitu?"

"Aku pernah punya teman. Ayahnya bangkrut. Tapi dia tidak pernah susah. Ketika aku tanya dari mana uangnya selama ini, dia bilang dia pelobi perusahaan konstruksi."

"Pelobi..." Kedua mata Narren membelo. "Memangnya legal?"

"Ah, siapa yang tahu sih, itu kan urusan kamar. Mereka juga melakukannya di hotel mewah. Tidak takut digrebek. Tapi aku kecewa sih sama dia. Dia itu pintar, sebenarnya masih bisa kerja. Kamu jangan begitu ya. Kerja, ya kerja yang lurus-lurus saja."

"Kalau kepepet?" sahut Narrendra menggoda.

"Asal bukan kamu saja deh yang tidur dengan pelobinya." Renaya tersenyum.

"Kamu bisa saja. Malam ini kamu ada kesibukan tidak?"

"Mau ngapain memang?"

"Kita bisa mengakrabkan diri. Di hotel."

"Maaf, tapi aku bukan perempuan yang melakukan itu di luar nikah."

"Oh..." Narren kikuk. Kekagumannya pada perempuan itu timbul. Di tengah jaman yang penuh godaan ini, masih ada perempuan yang tidak terayu untuk melakukan s*ks tanpa ikatan pernikahan. Hal itu mengejutkan Narrendra. Tapi seharusnya tidak. Dia kaget pasti karena dia sebelumnya terlibat dengan buda* naps* seperti Bianti.

Lagi-lagi Bianti. Narrendra tidak bisa mengusirnya dari benaknya. Dia yakin sesuatu telah terjadi.

Kali ini Narrendra tidak bisa mengesampingkan kekhawatirannya. Setelah mengantarkan Renaya pulang, dia lekas ke rumah, dan tak ada siapa-siapa di sana selain para pekerja.

Ponselnya berbunyi. Bianti berbisik-bisik padanya, meminta tolong untuk dijemput.

**

Tony memberikan kartu akses pada istrinya. Dia suruh Bianti untuk segera naik dan menemui pria yang menunggunya di kamar.

Bianti terima kartu itu. Tony didampingi asistennya duduk di lounge. Dia akan di sana sampai Bianti selesai memuaskan kliennya.

Suara Bianti terngiang-ngiang. Aku ingin dicintai... Aku mau setia padamu, Tony... Dan tampaknya perempuan itu sungguh-sungguh memohon padanya.

Mata Tony tertuju pada lift. Setengah jam berlalu dan Bianti belum muncul. Lalu perhatiannya beralih pada sejumlah polisi yang masuk ke lobi hotel. Mereka meminta akses ke... kamar nomor tempat kliennya singgah.

Tony dan asistennya menghampiri mereka. "Ada apa? Istri saya ada di hotel ini juga."

"Sedang apa istri Anda di sini?" sahut salah satu polisi curiga.

"Oh... saya Tony Jusuf. Istri saya penyanyi."

"Ya ya saya tahu Anda. Istri Anda Bianti."

"Ya dia ada jadwal tampil dekat sini. Dan sementara waktu dia tinggal di hotel ini juga."

"Pak Tony, ini tidak ada hubungannya dengan istri Anda. Di atas ada pengusaha yang terkena kasus pengedaran narkob*. Dia..." Polisi menyebutkan sebuah nama.

"Oh. Pemilik resort terkenal itu?"

"Anda kenal?"

"Dia klien saya juga."

"Kebetulan sekali, ya. Ya sudah, Pak Tony. Kami ke atas."

Cemas Tony mendengarnya. Jangan sampai dia terkena masalah juga begitu polisi melihat Bianti di kamar kliennya.

Tony berdiri di sana sampai lift terbuka lagi. Kliennya diborgol dengan tangan di belakang. Kepalanya berdarah.

Mata mereka saling menatap. Tapi kliennya tidak mengenalinya. Dia sedang teler.

Tony lega tak ada Bianti di antara gerombolan polisi dan kliennya yang ditangkap. Namun.. di mana dia?

Tony segera menyuruh asistennya untuk mencari Bianti.

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang