10

411 24 41
                                    

Dahi Tony berkerut. Biasanya istrinya ada di kamar saat dia pulang kerja. Suara dentingan piano terdengar dari ruang musik. Dia temui istrinya di sana.

Pintu berlapis kaca itu dikunci. Tony mengetuk-ngetuknya.

"Aku tidak tahu kamu suka mengunci pintu begini," kata Tony ketika Bianti membiarkannya masuk ke ruang musik itu.

"Karena kamu tidak pernah ke sini."

"Ya ngapain ke sini kalau kamu sudah ada di kamar?" balas pria itu. "Ada apa? Besok ada acara?"

"Tidak. Aku ingin menenangkan diri."

"Kenapa? Banyak yang menghujat lagi di sosial mediamu?"

"Itu sih sudah biasa." Bianti duduk di kursi dekat piano.

Tony duduk di sisi sebelahnya. "Kalau begitu Narrendra? Dia mengusikmu?"

"Kalau iya, apa kamu akan suruh dia pergi?"

"Tidak. Kamulah yang seharusnya angkat kaki."

"Ke mana?"

"Ke mana saja."

"Kamu tidak butuh aku di rumahmu yang ini?"

"Memangnya apa kontribusimu di rumah ini? Bersih-bersih tidak. Masak tidak. Untuk apa kamu di sini juga?"

"Iya ya. Aku pergi saja, deh."

"Hey. Aku bercanda."

"Kering sekali candaanmu," komentar Bianti dengan sorotan pahit di wajahnya.

"Dia buat kamu tidak nyaman, ya?"

"Ya risiko ibu tiri."

"Aku juga lagi stres nih karena anak itu."

"Dia kenapa?"

"Menyebalkan orangnya."

Bianti tertawa. "Kamu ada lucunya ya ternyata."

"Lucu bukan kata yang tepat untuk pria tua ini."

"Tony."

"Apa? Memintaku seperti ini terus? Janganlah."

"Belum juga aku bicara."

"Aku tidak bisa buat kamu tersenyum. Atau tertawa. Bukan karena aku tidak mau. Memang aku tidak bisa melakukannya pada siapa pun. Dan itu sudah terjadi sejak dulu."

"Sejak dulu itu..."

"Sejak sebelum kamu lahir. Aku bukan orang yang menyenangkan. Orangtuaku mendidikku keras. Maklum, aku berasal dari keluarga yang terpandang, jadi aku tidak boleh bodoh, tidak boleh memalukan. Yang bisa kubanggakan dulu adalah kepintaranku. Sikapku dingin. Bukan favorit orang-orang."

"Beda ya denganmu sekarang. Ke mana pun kamu berada, orang ingin dekat-dekat denganmu."

"Mariana yang buat aku percaya diri. Kami bertemu saat kuliah. Dia sabar sekali menghadapiku yang kaku. Cinta sekalilah dia sama aku."

"Sekarang kamu pasti menyesal, ya, sudah menceraikan dia."

"Tidak. Karena di akhir-akhir pernikahan kami dia menjengkelkan. Suka marah tanpa alasan. Buat kepalaku mumet."

"Aku juga akan begitu."

"Bukan akan, tapi sudah!"

"Kenapa aku buat kamu mumet? Aku kan selalu melayanimu!"

"Bukan karena sikapmu, tapi lebih ke kekhawatiranku padamu. Kamu harus punya pegangan, Bianti. Usiaku sudah tua. Karirmu itu bisa redup begitu kamu tidak cantik dan suaramu rombeng."

"Apa saranmu untukku?"

"Kuliah. Cari ilmu. Belajar jadi pengusaha."

"Kenapa aku tidak terima warisan saja darimu?"

"Apa dasarnya? Kalau kamu kasih anak, baru aku kasih warisan!"

"Hey! Aku tidak kuliah, tapi aku tahu, istri berhak dapat warisan!"

"Ya, tapi kamu lupa, di perjanjian pranikah kita, kamu tidak dapat apa-apa jika aku mati."

"Aku tidak tahu. Dulu tanda tangannya sambil merem. Yang penting nikah saja dulu dengan konglomerat!"

"Ya, itu artiku untukmu."

"Apa artiku untukmu, Tony? Selain buda*s se*s tentu saja?"

"Baru itu."

Bianti tidak kecewa. Dia terbiasa dengan statusnya sebagai buda* pria itu.
Bianti berdiri, mengulurkan tangannya, membantu Tony untuk bangkit. Mereka kemudian ke kamar.

Tak ada desahan yang menggelegar hari itu. Selama Bianti di atas tubuh Tony, pria itu melamun saja. Memikirkan anaknya.
Tony mempertimbangkan untuk menjodohkan Narrendra dengan anak koleganya.

"Dia begitu pasti kurang cinta. Kurang se*s. Ya ya. Aku pernah dengar orang yang tidak menyalurkan gairah sangat mudah marah," gumam Tony merasa miris dengan keadaan anaknya.

Aneh juga dia berpikir begitu. Dia pun tak menghadapi masalah dalam hal melampiaskan hasratnya, tapi tetap saja Tony orang yang suka tersulut emosi.

Sok tahu sekali, gerutu Bianti. Anakmu tidak kekurangan gairah! Birah*nya tinggi seperti kamu! Aku yakin dia tidak hanya melakukan itu denganku. Ya... sebelas-dua belas dengan bapaknya!

Eh... Narrendra akan dijodohkan? Itu ide yang bagus, kan? Dia tidak akan menggangguku lagi.
Sebersit kekecewaan merambati hatinya.

Ada bagian dirinya yang keberatan Narrendra menikah dengan perempuan lain.

Tiba-tiba goyangan di pinggulnya mengencang, mengejutkan Tony.

Kemarin Narrendra tersiksa oleh suara Bianti. Kini dia tak bisa tidur karena teriakan ayahnya yang menyebut-nyebut nama istrinya itu.

Ya teruslah, Tony, pinta Bianti sambil menggenjot lebih kuat. Biarkan anakmu itu dengar! Dan dia tidak nyaman! Lalu pergi!

Tapi apakah Bianti benar-benar ingin Narrendra pergi?

** i hope you like the story **

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang