22

250 23 25
                                    

Polisi tidak menemukan Bianti karena dia memang tidak ada di kamar itu. Saat dia masuk ke kamar, dia ditarik sengit oleh klien Tony, dan blazer-nya ditanggalkan. Menampilkan dirinya yang hanya dibalut pakaian tidur tipis.

Bianti ditelentangkan di atas tempat tidur. Pria gemuk yang berusia jauh lebih tua daripada Tony itu mengecup-ngecup bibirnya, lehernya, dadanya, dengan tangannya yang usil bermain di sekitar pangkal pahanya.

Bianti tidak bisa melakukannya. Selama ini dia mengkhianati Tony karena keinginannya. Dia tak pernah melakukan itu di luar kuasanya.

Ketika matanya terpejam, wajah Tony yang dingin dan penuh kebencian padanya muncul, menimbulkan kesedihan di hati Bianti. Suaminya tega! Dia tidak hanya main tangan dan merendahkan harga diri Bianti sehari-harinya. Pria itu kini menjualnya pada pria lain. Bianti di mata pria itu betul cuma gundi*!

Selama ini dia pikir kesinisan dan kekasaran pria itu karena sifatnya yang tidak romantis. Karena egonya yang tinggi. Tapi sekarang Bianti sadar betapa jahatnya pria itu!

Bianti tidak mau Tony bahagia. Bianti benci pria itu. Kegusarannya yang memotivasi Bianti untuk mengambil gelas di atas nakas dan dipukulnya pria di dekatnya dengan gelas.

Pria itu sebelumnya tidak terlalu sadar. Hingga sekali dipukul saja dia pingsan. Bianti bergegas memakai blazer-nya dan keluar kamar. Dia memilih turun melalui tangga darurat.

Pada saat yang bersamaan para polisi keluar dari lift dan berjalan ke kamar klien Tony itu.

**

Bianti ngos-ngosan. Dia lepas sepatunya dan tetap turun dari lantai 17. Sampai di bawah, dia melihat-lihat sekitar, dan dia berjalan ke arah pintu belakang hotel.

Dipakainya lagi sepatunya. Begitu berhasil keluar gerbang tanpa diperhatikan siapa pun, dia berjalan ikut berkerumun dengan para pejalan kaki di trotoar.

Berhentilah dia di suatu kedai. Diteleponnya Narrendra. "Tolong aku... Aku kabur..."

"Kamu di mana? Bianti? Ayo bilang ke aku. Sayang, kamu tidak apa-apa?"

Bianti menyebutkan nama kedainya. Jantungnya berdebar kencang. Dia uraikan rambutnya, lalu ditutupinya wajahnya dengan beberapa helai rambutnya. Semoga tak ada yang mengenalinya.

Ketika pelayan menghampirinya, dia tutup mulutnya dengan satu jarinya agar pelayan itu tidak bereaksi saat melihat mukanya. Pelayan itu mengangguk mengerti. Dia kemudian memesan air mineral dan roti.

Setelah memesan, dia menunduk lagi. Dia tahu ada hukuman yang menanti di depannya. Dan dia belum siap menerimanya.

Detak jantungnya nyaris saja berhenti saat dagunya diangkat oleh satu tangan.

Dia mendongak.

"Bianti."

"Oh syukurlah!" Bianti meminta pria itu duduk di sampingnya. "Aku pikir ayahmu!"

"Bianti, ada apa?" tanya Narrendra. Kekalutan kentara terlihat dari matanya. "Kamu.. Kamu disakiti seseorang?"

"Nanti aku akan jelaskan. Yang jelas, aku tidak bisa kembali ke rumahmu."

"Kenapa? Karena ayahku sudah tahu tentang kita?"

"Ayahmu sudah tahu. Aku yakin pekerja yang menyampaikan kedekatan kita. Tapi bukan cuma itu. Aku tidak bisa memberitahunya di sini."

"Kamu mau, tinggal di rumahku yang lain?"

"Di mana? Kalau ayahmu tahu tempatnya, aku tidak mau!"

"Tidak. Rumah ini kubeli sendiri dari tabunganku. Lokasinya dekat rumah sakit tempat ibuku dirawat."

"Oh... tapi..."

"Di sana aman, kok. Aku akan antar kamu ke sana, ya."

"Terima kasih, ya. Aku... aku benar-benar menyesal telah menyia-nyiakan pria sebaik kamu."

Kamu harus menyesal, pikir Narrendra sinis. Kalau tidak aku belum bisa tenang!


** i hope you like the story **

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang