32

298 27 44
                                    

Tak ada firasat buruk yang berbisik pada Tony. Dia tersenyum pada karyawan-karyawannya sebelum jabatannya berakhir. Rasa sakit pun tak mencengkramnya.

Tony memperkenalkan anaknya sebagai direktur yang baru. Mereka berseru menyambut Narrendra.

Narrendra baru saja selesai mengucap terima kasih pada ayahnya atas kepercayaan yang diberikannya ketika ayahnya tiba-tiba terhuyung pingsan. Dia lekas menangkap Tony sebelum ayahnya jatuh ke lantai.

Tony dibawa ke rumah sakit. Kondisinya kritis. Narrendra menghubungi Bianti.

Bianti terlihat kacau. Dibalut dress selutut dengan rambut yang diikat seadanya. Wajah tak dirias menunjukkan kepucatannya.

Orang-orang sekitar memotretnya diam-diam. Mereka akan membagikan foto Bianti yang tidak dipoles apapun ke sosial media. Banyak yang mencibir. Bagaimana istri konglomerat seperti dia tak merawat diri. Namun ada juga yang memuji. Tanpa dempul apapun Bianti masih tampak cantik. Ditambah lagi dia sedang hamil. Wajar dia tidak menambah make up berbahan kimia ke kulitnya. Demi kesehatannya dan bayinya.

Persetan kata orang tentangnya. Fokusnya hanya Tony. Sampai sore Tony tak memberi respons. Dia dibawa ke ICU.

Sebelum dipindahkan, Bianti mencium tangan Tony, memintanya untuk bangun. Diberitahunya juga tentang bayi mereka yang sebentar lagi dilahirkan.

Bianti tetap di sana sampai malam. Entah apa yang ditunggunya.

Narrendra tak pernah jauh darinya. Namun kehadirannya tak disadari oleh Bianti. Wanita itu kelewat kalut dengan keadaan suaminya.

"Bianti, pulanglah, besok ke sini lagi. Tak ada yang bisa dilakukan. Papa juga tidak bisa dijenguk selain di waktu yang dijadwal," kata Narrendra mengingatkan.

"Aku mau dia lihat aku saat dia bangun. Aku mau dia tahu aku menungguinya."

"Bianti. Ingatlah bayimu. Kamu bahkan belum makan, kan?"

Bianti menggeleng.

"Ayo aku temani ke kafetaria. Sebelum kamu pulang."

"Tapi Tony..."

"Papaku akan baik-baik saja. Dia orang yang kuat."

Selama di kafetaria mereka membungkam mulut mereka. Terbuai dengan kegalauan masing-masing. Bianti yang takut Tony tak bangun lagi. Dan Narrendra yang sedih jika ayahnya tak selamat, maka Bianti akan terpukul.

Narrendra tidak bisa memungkiri kepeduliannya pada Bianti. Dia tak mendendam lagi. Sejak Bianti pergi karena ulahnya, yang dia kehendaki adalah kebahagiaan perempuan itu. Jika kebahagiaannya memang ayah Narrendra, maka Narrendra hanya bisa berharap ayahnya bisa sembuh lagi.

Narrendra tidak peduli pada Tony Jusuf sebagai ayahnya. Dia sudah tenggelam dalam lautan kebencian pada Tony. Sampai kapan pun dia tidak bisa memaafkan apa yang ayahnya lakukan pada ibunya.

Papa mendorong Mama sampai Mama terjatuh dan kepalanya membentur tembok. Mama lupa ingatan. Mama tidak bisa bersikap seperti dulu lagi. Apa yang bisa Papa lakukan untuk membayar kesalahannya? Tidak ada. Selamanya bayangan itu menghantui Narrendra, menekan rasa bersalah dalam diri Narrendra, sebab dia gagal melindungi ibunya sendiri.

Di sela-sela makannya, Bianti memberitahu Narrendra. "Ayahmu sangat menyesal padamu. Pada mamamu."

"Kamu tidak usah membagus-baguskan namanya saat dia sekarat seperti ini."

"Tidak, Narrendra. Ayahmu bilang semalam, betul-betul semalam, jika dia diberi waktu dia ingin lebih giat meminta maaf darimu dan ibumu."

"Aku tidak sekuat itu," sahut Narrendra nanar. "Aku lihat semuanya, Bianti. Dan sampai detik ini bayangan itu tak pergi-pergi juga. Aku tidak mungkin memaafkan papaku."

Bianti tidak menyahut. Dia tidak bisa memaksakan kehendak orang lain, apalagi orang itu punya luka yang mendalam.

"Semua orang bisa berharap kan, Narrendra. Ya itu harapan ayahmu. Mau itu terwujud atau tidak..." Bianti menggeleng. Entah apa yang bisa dia ucapkan selanjutnya. Tidak ada."

Orang bisa berharap, ulang Narrendra tersadar.

Pria itu nekat. Dia mendatangi rumah Renaya. Keluarganya berpikir dia membawa berita buruk tentang Tony. Maklum, masuknya Tony ke rumah sakit sudah menyebar ke mana-mana. Keluarga Renaya sendiri sudah siap menjenguk Tony sebelum Narrendra mampir.

Narrendra memang mengantarkan berita buruk. Bukan terkait ayahnya. Tapi tentang hubungannya dengan Renaya.

Dia membatalkan pernikahannya.

"Tidak mungkin!" Ayah Renaya berang. Dia menatap putrinya. "Apa kamu sudah terus terang tentang kamu yang hamil luar nikah?!"

Narrendra melongo. Renaya salah tingkah. "Papa! Narrendra tidak tahu-menahu soal itu."

"Kalau tidak tahu, kenapa dia bisa membatalkan niatnya untuk menikahimu?" Ayah Renaya memandang Narrendra penuh penyesalan. "Maafkan Oom, ya. Oom tidak bermaksud menipumu dan keluargamu. Oom hanya takut. Renaya melahirkan anak pacarnya yang begajulan itu tanpa pendamping!"

"Maafkan aku ya," kata Renaya pelan. "Itu kenapa aku menolak ajakanmu ke hotel waktu itu. Aku takut kamu lihat perutku yang memblendung. Tapi... kamu tahu dari mana soal aku yang hamil luar nikah?"

"Oh...." Narrendra mulai mencerna apa yang terjadi. "Aku... Aku dapat firasat buruk tentang kita."

Dan tentang kesehatan ayahku, tambah Narrendra dalam hati. Dia tidak tahu apakah dia harus sedih atau senang. Sedih karena hampir dikelabui Renaya. Atau justru senang bisa lepas dari perempuan itu tanpa merasa bersalah.

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang