34

518 25 33
                                    

Bianti mengecup dahinya, mengatakan selamat jalan pada suaminya. Sikapnya tenang sampai dia benar-benar melihat Tony berbaring di dalam peti. Dia menangis kejar.

Fifi manajernya memeluknya, mengingatkannya untuk sabar, sementara Narrendra yang berdiri di dekatnya, diam tak bersuara.

Dia memandangi ayahnya yang rapi dengan pakaian formalnya. Pakaian yang dipakainya sehari-hari untuk bekerja. Ayahnya pergi dengan tampilan yang biasa dilihat orang lain.

Dan begitu pula kesan ayahnya bagi Narrendra. Necis. Pekerja keras. Mengingatkan Narrendra kepada dirinya sendiri. Bagaimana penilaian orang lain terhadapnya jika dia yang pergi? Tak usah jauh-jauh. Bianti saja. Apa yang akan dia lihat dari Narrendra?

Narrendra tak mau diingat sebagai orang yang menyebalkan dan pendendam. Caranya adalah dengan memaafkan.

Memaafkan Bianti. Memaafkan papanya. Memaafkan dirinya sendiri yang selalu menyalahkan ketidakmampuannya menjagai ibunya.

Saat ayahnya dikubur, dia insyaf, ada seberkas kasih sayangnya pada sang ayah. Bagaimana pun Tony memastikan dia tak kekurangan apapun. Bagaimana pun Tony memberikannya pekerjaan yang tak semua orang bisa kasih: direktur di salah satu perusahaan konstruksi terbesar di negeri itu. Bagaimana pun Tony berusaha untuk meraih maaf darinya sebelum dia pergi.

Apa lagi yang Narrendra inginkan? Ayahnya sudah pergi!

Bianti terlalu sedih hingga tak memperhatikan air mata Narrendra yang mengalir ke pipi pria itu. Dia baru melihat kehancuran yang dirasakan Narrendra saat pria itu muncul di unit apartemennya beberapa hari kemudian.

Tentu pria itu tahu di mana dia tinggal. Dia mengikuti Bianti pulang saat perempuan itu bolak-balik untuk menjenguk Tony.

"Tolong, aku juga butuh waktu sendiri." Bianti menolak kehadirannya.

"Aku tidak punya siapa-siapa. Ibuku pergi, Bianti."

"Oh!" desah Bianti menyesal. "A.. apa yang terjadi?"

Ketika mendengar cintanya pergi dari Narrendra, Mama menjerit. Mama meraih garpu dari nakas dan merobek nadinya. Ibunya meregang nyawa di depan Narrendra.

"Jangan usir aku," pinta Narrendra, terisak. "Aku janji tidak akan mengganggumu."

"Makanlah. Kamu pasti belum makan kan, Narrendra?"

Narrendra mengangkat mukanya. Dia trenyuh atas perhatian yang dia rindukan itu. "Nanti saja."

"Narrendra."

"Ya."

"Tolong panggil Fifi. Dia sedang di ruang laundry. Aku...." Bianti menunduk. Air ketubannya turun ke lantai. "Sekarang... oh..."

"Kamu..."

"Ya, Narrendra!" pekik Bianti. "Panggil Fifi! Sekarang!"

**

Bianti tidak bisa melahirkan secara normal. Pembukaannya tidak bertambah. Dokter menyarankannya untuk segera dilakukannya operasi caesar.

Terang dia tahu risikonya. Digenggamnya tangan Fifi kuat-kuat. "Fi, kalau ada apa-apa sama aku..."

"Jangan dong! Mbak Bianti pasti bisa kok!" kata Fifi sama takutnya.

"Fitroh, aku ini bakal dibius, dan aku tidak tahu apakah aku akan bangun atau tidak..."

"Bianti, jangan ngomong begitu!" kata Narrendra separuh mengancam. "Kamu bisa melakukannya, Bianti!"

Bianti menoleh ke pria itu. Baru disadarinya Narrendra ikut bersamanya sedari tadi. "Oh! Tahu apa kamu... Ini... ini hal yang besar, Narrendra!"

"Memang aku tidak tahu-menahu soal lahiran, tapi aku tahu kamu ini pejuang! Kamu akan bawa anak kamu ke dunia dengan selamat. Ya? Kamu percaya sama diri kamu, kan?"

"Ya... aku bisa... terima kasih ya... Fi, Narrendra..."


** i hope you like the story **

next: Epilog

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang