9

387 23 27
                                    

Saat sarapan, Narrendra bertanya dingin. "Mana dia?"

"Dia? Bianti?" sahut ayahnya.

"Ya. Dia. Papa tidak mengharapkan aku memanggilnya 'Ibu', kan?"

Tony tersenyum tenang. "Tidak, dia juga tidak akan senang dipanggil begitu olehmu. Bianti masih istirahat. Jadwalnya lagi padat."

"Padat ngapain?"

"Ya... dia kan penyanyi. Ada saja kesibukannya. Latihan vokal. Persiapan album baru. Ah, apapun itulah. Papa kurang mengerti juga detailnya gimana."

"Apa yang Papa mengerti dari orang-orang di sekitar Papa?"

"Narrendra."

"Iya, kan? Apa ada hal yang Papa pedulikan selain diri Papa sendiri?"

"Ada. Kamu. Papa memikirkan masa depan kamu. Itulah kenapa Papa ingin kamu pulang. Papa mau kamu serius dengan tanggung jawab yang akan kamu emban."

"Papa tidak betul-betul peduli padaku. Papa hanya takut perusahaan Papa jatuh ke tangan yang bukan darah daging Papa."

"Itu hak istimewa bagimu, kan?" Senyum Tony melebar. "Makanlah. Kamu harus sehat. Untuk perusahaan. Dan untuk mamamu."

"Jangan berlagak perhatian pada Mama."

"Narrendra, Papa tidak mau tahu soal mamamu," kata ayahnya disertai seringaian menyebalkan. "Makanya kamu harus di sini. Gak boleh sakit. Tahu kenapa? Karena kalau ada apa-apa sama Mariana, ya kamu! Kamu yang harus urus dia! Iya, kan?"

Ayahnya yang jahat bukan hal yang mengagetkan. Narrendra tatap saja ayahnya dengan sorotan dingin. Ditahan-tahannya emosinya yang ingin menonjok Tony.

Ayahnya selesai makan duluan. Sebelum berangkat ayahnya mengingatkan, "Nikmatilah waktumu hari ini. Besok, tanggung jawabmu sudah besar."

"Aku besok ngapain?"

"Jadi manajer dululah. Tahu seluk-beluk perusahaan. Kalau Papa sudah yakin kamu matang, kamu pasti akan diangkat menggantikan Papa."

Aku ingin menggantikan Papa, pikir Narrendra memandang kepergian ayahnya dari ruang makan. Bukan di perusahaan. Tapi di tempat tidurnya bersama Bianti.

Usai sarapan Narrendra berlalu ke kamar ayahnya. Dia duduk di tepi tempat tidur. Menepuk-nepuk lengan Bianti.

Bianti menarik napas panjang ketika dia melihat Narrendra di dekatnya. Dia kesal. Rencananya untuk buat Narrendra menyerah belum berhasil juga!

"Enaknya jadi istri papaku. Dapat uang. Ketenaran. Kamu tahu, dulu saat mamaku masih jadi istrinya, dia selalu siaga mengurusi papaku? Dari membuatkan sarapannya, menyiapkan bajunya, makan malamnya, ya... semuanya yang berkaitan dengan Papa! Sementara kamu..." Narrendra mendengus. "Bangunlah! Ngapain kek!"

"Aku capek," kata Bianti lesu.

"Aku tahu. Semalaman kamu melayani ayahku. Atau dilayani."

"Keluarlah. Aku tidak mau bicara denganmu."

"Kamu tidak bisa mengusirku. Kamu bukan papaku!"

"Aku ibu tirimu," sahut Bianti lebih tegas. "Terima tidak terima, itulah kenyataannya!"

"Diam."

"Aku memang ibu tirimu!"

"Aku bilang diam!"

Pria itu mencoba untuk mencium perempuan itu tapi Bianti lebih cekatan menjauh. Dia menggulingkan dirinya ke sisi tempat tidur yang lain.

Narrendra mengejarnya. Berusaha untuk menerkamnya.

Bianti menamparnya, lalu turun dari tempat tidur. "Keluar aku bilang! Aku tidak mau melihatmu!"

"Kamu belum berubah juga. Masih sombong! Cuma karena kamu bisa menaklukkan hati papaku sampai dia tega membuangku dan ibuku!"

"Terserah apa katamu! Aku tidak mau punya hubungan apapun denganmu. Tidak dulu. Tidak juga sekarang!"

"Kali ini kamu lolos." Narrendra berjalan ke arah pintu. Sebelum meninggalkan kamar, dia katakan pada Bianti, "Tapi berikutnya kamu tidak bisa menolakku. Aku tahu. Kamu masih mencintai aku."

Aku memang masih mencintaimu, keluh Bianti. Tapi cinta ini tidak penting dibandingkan karirku dan semua penggemarku! Enyahlah, Narrendra. Enyahlah dari hatiku dan hidupku!

A Woman Like You #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang