28.

592 42 0
                                    

"Bagaimana kabar Afifah? Kok dia belum menjenguk Mama, ya?"

Mendengar ucapan sang Mama, Aksa yang sedang memegang piring saat menyuapi Mamanya itu mendengus.

"Untuk apa sih, Mama berharap dia kesini?"

"Siapa tau saja, dari awal pulang dari rumah sakit, dia nggak menjenguk Mama. Mama pengen disuapi makan sama dia."

"Mama... Dia itu anak yang pernah Mama buang. Jadi, pastinya dia juga berpikir untuk apa bertemu Mama bahkan mengurus Mama yang jelas-jelas sudah buang dia. Dia itu cuman pura-pura baik didepan Mama. Dia kalo didepan Aksa nggak baik gitu."

Mendengar itu, Irish terdiam sembari berpikir bahwa yang diucapkan putranya ada benarnya juga.

"Aksa selalu ada buat Mama, kalo nggak ada Aksa, ada Bibi. Jangan harapkan dia."

DRTT DRTT

Ponsel yang berada diatas meja itu berbunyi membuat Aksa segera mengambil ponselnya. Saat melihat siapa yang menghubunginya, ia memasang wajah tak suka dan menolak panggilannya.

Namun, beberapa kali menolak, beberapa kali juga panggilan itu muncul, membuat Aksa menjawab panggilannya.

"Apa sih, kalo nelfon tiga kali nggak diangkat, tandanya orang lagi sibuk, nggak bisa angkat." ucap Aksa ketus.

"Maaf. Saya minta tolong sama kamu, tolong bilang pada Ibu, saya belum bisa menjenguknya karna suami saya sedang berada dirumah sakit." ucap Afifah dibalik telfon, ia menggunakan ponsel Afif untuk menelfonnya.

"Apa urusannya? Dirumah sakit ngapain coba? Kursus jadi Dokter? Atau suster?"

"Suami saya baru kecelakaan. Saya minta tolong bilang pada Ibu, ya?"

Tanpa bicara, laki-laki ini menutup obrolannya begitu saja. Membuat Irish mengerutkan keningnya.

"Siapa? Kok ketus banget jawabnya?" tanya Irish melihat raut wajah ketus Aksa.

"Anak buangan Mama."

"Siapa?"

"Si Afifah-Afifah itu."

"Sayang, stop sebut dia anak buangan Mama. Mama tidak membuang dia, Mama hanya menitipkan dia pada Pamannya."

"Sama aja,"

"Ada apa dia menelfon?"

"Katanya suaminya kecelakaan jadi nggak bisa kesini."

"Ya ampun. Kok bisa? Terus, sekarang bagaimana?" tanya Irish terkejut.

Aksa mengedikan bahunya. "Mana Aksa tau."

"Kamu antar Mama kesana, ya. Kit—"

"Nggak mau." jawabnya tanpa menunggu lanjutan ucapan sang Mama.

"Kenapa? Dia itu teman baik kamu dari dulu, kenapa sekarang kaya gitu?"

"Gara-gara anak buangan Mama yang buat Aksa sama Afif nggak akur gini."

"Sayang, jangan seperti itu. Bagaimana pun, didalam janin Kakak tiri kamu ada anak kamu."

"Mah, stop bilang itu anak Aksa!" laki-laki berdiri. "Ini sebuah kesalahan yang seharusnya nggak terjadi. Dulu emang Aksa mau mengakui anak itu, tapi setelah tau dia adalah anak Mama, Aksa nggak sudi." Aksa pergi begitu saja.

"Apa alasan kamu membenci Kakak tiri kamu, Aksa?" ucap Irish saat Aksa berada diambang pintu, membuat laki-laki itu berhenti.

"Dan kamu tidak menyukai Afif sekarang yang jelas-jelas itu adalah teman dekat kamu dari dulu." sambungnya.

••••••••••••

"Kak, kalo bisa jangan suapin Abang kalo makan." ucap Adiba yang sedari tadi melihat Afifah menyuapi Afif.

Bukan apa, ia hanya tak suka melihat kemanjaan Afif, apalagi disana ia hanya menjadi nyamuk, orangtuanya justru malah keluar entah kemana.

"Emang kenapa? Nggak suka?" celetuk Afif.

"Kalo nggak disuapin, nggak mau makan." sahut Afifah tersenyum membuat Adiba memasang wajah jijik.

"Amit-amit, manja amat, Bang."

"Mukamu itu yang amit-amit, jelek." ucap Afif tak mau kalah.

"Dih, cantik begini dibilang jelek. GGM dasar!"

"GGM apaan?"

"Ganteng-ganteng manja hahahah."

"Manja sama istri boleh aja, jadi pahala. Lah kamu manja sama pacar, Dosa!"

"Siapa yang pacaran?"

"Kamu pikir Abang nggak tau? Abang pernah lihat kamu jalan sama laki-laki."

Adiba terdiam, bisa-bisanya ia bisa ketahuan pacaran oleh Afif. Bisa saja habis ini ia dimarahi oleh sang Ayah.

"Temen itu,"

"Temen tapi mesra?" Afif tersenyum. "Abang kasih tau Baba kamu kalo kamu pacaran, bahkan Jiddah, Kakek, bisa-bisa kamu dihukum nggak dikasih uang buat jajan."

Adiba kemudian beranjak dari duduknya dan menghampiri. "Bang, jangan dikasih tau, ya?"

"Bakal. Kamu sudah melanggar hukum agama. Pacaran = zina = nggak sayang sama Baba kamu karna itu akan membuat Baba kamu disiksa dineraka."

"Iya, putus, kok. Tapi jangan dikasih tau."

"Nggak janji."

"Ihhh, ayo lah."

Tok... Tok...

"Assalamu'alaikum," ucap Irish memasuki ruangan saat mata ketiganya tertuju padanya.

"Wa'alaikumsalam."

"Ibu," Afifah tersenyum lalu menyalimi tangannya, begitupun Afif dan Adiba.

"Ibu apa kabar? Sudah membaik?" tanya Afifah.

"Sudah, Nak. Bagaimana kondisi Afif?" tanya Irish dengan raut wajah khawatir.

"Baik-baik aja, Tan." sahutnya.

Beda halnya dengan Aksa yang justru memasang wajah tak suka. Ia tak mau ikut masuk, namun dipaksa oleh sang Mama.

"Bang, kok bilang Ibu, emang ini siapanya Kak Afifah?" tanya Adiba berbisik pada Afif.

"Ibu kandungnya."

Sontak bola mata Adiba membulat, ia tahu Aksa adalah teman Afif dan Irish Mamanya, ia hanya terkejut setelah mengetahui bahwa Afifah juga termasuk keluarganya.

"Cemberut aja, Bang." Adiba mendekat dan menyikut tangan Aksa.

"Apaan sih," balas Aksa tak suka. Gadis ini memang selalu mendekat-dekati Aksa jika bertemu.

"Sensi bener, Bang. Ngopi mau ngopi?"

"Bisa nggak jangan deket-deket gue?" ujar Aksa disaat gadis itu terus menempel padanya.

"Nggak bisa, soalnya—"

"Assalamu'alaikum,"

Suara dan orang yang masuk itu membuat Adiba segera menjauh dan terdiam.







KISAH KITA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang