"BUB?!"
Afif membuka pintu ruangan yang mana tepat didepan Afif ada Alif yang melipat tangannya pada dada.
"Eh?"
"Kenapa kamu tinggalkan istri kamu didepan kamar mayat?" tanya Alif dengan tatapan tajam.
"Kita janji mau lari dalam hitungan ketiga, Afif lari tapi Afifah nggak." ucapnya tanpa rasa bersalah.
"Kenapa lari emangnya?"
"Ada suara-suara aneh didalam kamar mayat."
"Laki-laki kok takut sama suara-suara, nggak gentle. Kalo istri kamu kenapa-napa disana, gimana?"
"Afif kan panik, jadi lari, nggak inget sama Afifah."
"Bilang aja takut." ucap Alif yang terus berjalan menuju Alea yang masih memejamkan matanya.
Afif menghela nafasnya dan menghampiri istrinya yang duduk disofa, ia ikut duduk disampingnya. "Kamu kenapa nggak lari?"
"Kalo hamil nggak boleh lari."
"Aa' bilang tadi Aa' gendong,"
"Belum gendong, Aa' udah lari ninggalin aku."
Afif menyengir. "Hehe, maaf."
"Mana baksonya?"
"Nggak beli,"
"Kenapa?"
"Aa' cari kamu tadi."
"Nggak jelas!" ucap Afifah mulai kesal, ia memalingkan wajahnya. "Udah ninggalin, nggak beli baksonya, aneh!"
"Maaf, ayo cari."
"Nggak mau!"
"Maaf, Bub. Aa' panik tadi, makanya lari sendirian, terus pas dikantin Aa' cari kamu nggak ada."
"Terserah,"
"Yaudah, Aa' cari lagi. Kalo nggak ada, roti ya?"
"Harus ada!"
"Kamu tadi bilang nggak gitu. Kalo nggak ada, ya makan yang ada." Afif berdiri.
"Astagfirullah!" Alif menghampiri keduanya. "Kenapa ribut-ribut? Bunda lagi tidur, ini juga sudah malam."
"Ribet, Ba. Udah bangunin Afif lagi tidur, pengen bakso, kalo nggak ada harus ada, dipikir didunia ini harus ada yang dia mau? Jam segini mana ada yang jual bakso." ucap Afif menatap tajam Afifah yang justru terdiam menunduk.
"Nggak boleh gitu. Dari awal kan kamu mau menerima onsekuensi rumah tangga, ya ini yang Abba maksud. Perempuan hamil memang pada dasarnya seperti anak kecil yang labil."
"Tapi Afif capek. Pulang kerja, pulang kuliah juga."
"Kamu—"
"Sudah, Ba. Tidak apa." ucap Afifah. "Maaf aku udah bangunkan Aa' yang memang lagi capek hanya karna kengidaman aku." ia tersenyum tipis walaupun hatinya sakit.
"Dari awal Afif memang mau menerima, jadi itu anak Afi—"
"Terserah!" ucap Afif yang terus keluar.
"Ini ada apa ribut-ribut?" sahut Alea yang mendengar kebisingan.
•••••••••••••
Pagi harinya, perempuan ini sedang memasak untuk sarapan sang suami sebelum pergi bekerja. Walaupun baru saja ia sampai rumah melalui taksi online, sebab sang suami malam tadi pulang sendirian.
Sedangkan suaminya, sedang dimarahi oleh sang Bunda melalui telfon.
"Kalo kamu nggak mau menerima konsekuensi rumah tangga, jangan pernah berani untuk menikahi seorang perempuan! Ucapan kamu tadi malam membuat dia menangis, membuat Bunda sedih. Kamu capek, istri kamu lebih capek, siapain sarapan setiap pagi buat kamu, melayani kamu, kamu hanya melakukan kewajiban kamu sebagai seorang suami, bekerja. Jangan merasa paling capek karna kamu bekerja dan kuliah, jangan merasa bangga. Abba kamu nggak pernah seperti itu sama Bunda saat Bunda sedang hamil, Abba justru buat Bunda selalu senang. Kalo kamu berpikir karna itu bukan anak kamu, salah. Itu anak kamu karna kamu yang ingin bertanggung jawab, Afif. Kalo kamu sakiti Afifah, kamu juga sama seperti menyakiti Bunda."

KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH KITA
SpiritualSequel "Suami Rahasia" Seorang cucu pemilik pondok pesantren yang menikahi seorang santri yang mengaguminya secara diam-diam karena dilecehkan oleh laki-laki tak bertanggung jawab. Yang ternyata, teman dekatnya lah yang melecehkan istrinya. "Satu-s...