Ruangan sepi dan suasana yang dingin ini membuat perempuan yang sedang menatap sang Ibu yang tengah terbaring diatas brankar itu semakin terbawa perasaan-perasaan yang entah dari mana asalnya. Mulai dari mengingat masa kecilnya yang tidak dibesarkan oleh kedua orangtuanya, tumbuh remaja dan sampai dewasa seperti sekarang tidak membuat dirinya membenci sang Ibu. Ia justru tengah berada diambang keraguan saat sang Ibu menyuruhnya tinggal bersama dirumah besarnya. Bukan tak mau, hanya saja ia mengingat Aksa. Ia juga tidak bisa menerima tawaran begitu saja, sebab belum mengabari pada sang Paman yang mungkin tidak akan mengizinkannya. Disisi lain, ia ingin tinggal bersama, toh ini adalah waktu pertama ia tinggal bersama Ibunya.
Afif, ia mengikuti saja keputusan istrinya itu seperti apa. Tapi, ia juga memang belum mengabari kedua orangtuanya bahwa Afifah sudah bertemu dengan sang Ibunya. Saat ini ia tak ada disini, ia pulang untuk mengabari.
"Assalamu'alaikum,"
Sosok laki-laki dengan hoodie berwarna hitam dan celana panjang berwarna hitam dengan membawa sesuatu ditangannya itu masuk ke dalam ruangan, membuat perempuan ini menoleh.
"Wa'alaikumsalam."
Afifah tersenyum saat suaminya menghampiri, lalu mencium punggung tangan suaminya. "Gimana? Bunda sama Abba marah karna aku nggak pulang dulu?"
"Nggak, dong. Bunda sama Abba malah senang karna kamu bisa ketemu sama Ibu kandung kamu."
"Aa' cerita sama mereka kalo Ibu nyuruh kita untuk tinggal bareng?"
"Cerita. Kata Abba, kalo soal itu terserah kamu aja. Abba, Bunda sama Aa' ngikutin keputusan kamu. Kalo ini memang keinginan kamu, Aa' ikut aja. Apalagi dari kecil kamu memang tinggal sama Paman."
"Tapi, kan—"
"Sudah, tidak usah dipikirkan. Lebih baik kamu makan saja dulu. Bunda tadi buatin kamu makanan, kata Bunda jangan sampai kamu lupa makan, nanti sakit."
Mendengar itu, Afifah tersenyum. "Makasi,"
"Makasinya sama Bunda dong, jangan sama Aa'."
"Kan Bundanya nggak ada. Jadi, makasi sama Aa' karna udah bawain makanan ini."
Afif mengangguk sembari tersenyum. "Yasudah, makan dulu."
"Aa' suapin," lanjutnya berbisik.
Kedua pasutri ini berpindah ke sofa yang tadinya duduk disamping brankar. Afif mulai membuka rantang itu. Setelah itu Afif mulai menyuapi istrinya.
"Tadi sore Paman chat aku dan nanyain soal ini," ucap Afifah disela-sela mengunyah makanannya.
"Terus? Kamu balas apa?"
"Belum aku balas. Aku juga belum cerita kalo Ibu menyuruh kita tinggal bareng dirumahnya."
"Kenapa belum cerita? Paman itu wajib tau, Paman kan yang mengurus kamu waktu kecil sampai bisa sebesar ini. Paman itu orangtua kedua kamu setelah Ayah dan Ibu kandung kamu."
Afifah berhenti mengunyah. "Aku takut Paman marah. Kalo Paman nggak mengizinkan aku untuk tinggal bersama gimana?"
"Marah atau tidaknya, Paman tetap harus tau. Setelah makan, kamu kabari Paman."
"Iya, A'."
Saat keduanya tengah asik makan sembari mengobrol, tiba-tiba Aksa masuk ke dalam ruangan dengan tatapan tajam menatap kedua pasutri ini. Setalah pergi tadi dan mendapatkan kabar bahwa sang Ibu mengalami sakit bagian dada, Aksa baru kemari sekarang.
"Mama kenapa?" tanyanya mulai duduk dikursi samping brankar, entah bertanya pada siapa dirinya ini hanya membuat kedua pasutri itu saling menatap. Bahkan Aksa tak menoleh pada kedua pasangan itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/365082976-288-k626244.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH KITA
SpiritualSequel "Suami Rahasia" Seorang cucu pemilik pondok pesantren yang menikahi seorang santri yang mengaguminya secara diam-diam karena dilecehkan oleh laki-laki tak bertanggung jawab. Yang ternyata, teman dekatnya lah yang melecehkan istrinya. "Satu-s...