Malam mulai merayap pelan, melingkupi kota pelabuhan dengan suasana yang hangat namun penuh ketegangan. Bau laut yang khas dan suara riuh rendah aktivitas malam semakin kentara ketika sinar matahari terakhir menghilang di cakrawala. Di tengah hiruk-pikuk itu, sebuah kedai kecil berdiri di sudut jalan yang sempit, dikelilingi oleh deretan bangunan tua yang hampir rapuh termakan usia. Lampu-lampu minyak yang tergantung di depan kedai memancarkan cahaya lembut, memberikan kehangatan yang kontras dengan dinginnya angin malam.
Alina, seorang wanita muda berusia dua puluh tahun, duduk di balik meja kasir yang sederhana, memperhatikan setiap tamu yang masuk dan keluar dari kedai. Wajahnya memancarkan ketenangan yang jarang ditemukan di kalangan mereka yang seumurnya. Matanya yang tajam, alisnya yang tegas, dan bibirnya yang sering kali terkatup rapat menggambarkan keteguhan hati dan tekad yang tak tergoyahkan. Di bawah cahaya temaram, sosoknya yang ramping dan tangkas tampak seperti bayangan yang setia pada tempat ini.
“Kopi hitam satu lagi, Alina,” suara serak dari seorang pria tua, pelanggan tetap kedai, memecah keheningan singkat. Alina mengangguk pelan, senyumnya samar namun hangat. Ia berbalik dengan cekatan, menuangkan kopi dari ceret yang terbuat dari tembaga yang sudah tampak kusam. Tangannya bergerak lincah, seolah-olah sudah terbiasa dengan gerakan itu sepanjang hidupnya. Kopi dituangkan dengan hati-hati ke dalam cangkir keramik yang retak, lalu disajikan di atas meja kayu yang usang.
“Terima kasih, Pak Karim,” jawab Alina, menyerahkan cangkir tersebut dengan sopan. “Bagaimana hari ini di pelabuhan?”
Pak Karim, yang bekerja sebagai buruh angkut di pelabuhan, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Ah, seperti biasa, berat. Kapal-kapal semakin banyak datang, tapi bayaran kita tidak bertambah. Sudah lima tahun lebih aku kerja di sana, tapi rasanya semakin sulit saja untuk bertahan hidup.”
Alina mengangguk penuh empati. Kehidupan di kota pelabuhan memang keras. Ia tahu betul betapa sulitnya mencari penghidupan yang layak di tempat seperti ini. “Semoga ada perubahan yang lebih baik, Pak. Kita hanya bisa berharap dan terus berusaha.”
Percakapan itu berlanjut, meski hanya sepatah dua patah kata, hingga akhirnya Pak Karim pergi meninggalkan kedai dengan langkah pelan. Kedai kembali sepi, hanya ada Alina yang sibuk membersihkan meja dan menyiapkan segala sesuatu untuk hari esok.
Namun, di balik semua kesibukan itu, ada sesuatu yang lebih dalam yang selalu mengusik pikiran Alina. Malam-malamnya tidak hanya dihabiskan untuk bekerja di kedai, tetapi juga untuk belajar, mengejar mimpi yang mungkin dianggap mustahil oleh orang lain di lingkungannya. Ia menghabiskan waktu berjam-jam dengan buku-buku tua yang berhasil ia temukan di pasar loak, berusaha memahami dunia di luar batasan kehidupan sehari-harinya.
Kedai milik keluarganya adalah tempat yang penting bagi Alina, bukan hanya sebagai sumber penghidupan, tetapi juga sebagai tempat di mana ia bisa mengamati dunia, belajar dari setiap orang yang datang dan pergi. Setiap percakapan, setiap cerita, adalah pelajaran bagi Alina. Ia menyerap semua itu seperti spons, menambahkannya pada pengetahuan yang ia kumpulkan dengan susah payah.
“Alina, sudah larut. Kau harus istirahat,” suara lembut namun tegas terdengar dari arah pintu belakang. Ibu Alina, seorang wanita paruh baya dengan kerutan di wajah yang menunjukkan beban hidup yang ia tanggung, berdiri di sana. Rambutnya yang hitam mulai memutih, tapi matanya yang tajam seperti milik Alina, masih memancarkan kekuatan.
“Sebentar lagi, Bu. Aku harus menyelesaikan laporan kas hari ini,” jawab Alina sambil tersenyum menenangkan.
Ibu Alina mendekat, duduk di kursi di seberang meja. “Kau selalu bekerja terlalu keras, Nak. Kadang-kadang Ibu khawatir kau tidak punya waktu untuk dirimu sendiri.”
Alina tertawa kecil, menenangkan ibunya. “Jangan khawatir, Bu. Aku baik-baik saja. Lagipula, aku menikmati semua ini. Belajar dari setiap hal yang terjadi di sini, itu sudah cukup memberi kebahagiaan untukku.”
Ibu Alina hanya bisa mengangguk pelan, meski masih ada kekhawatiran yang tersisa di wajahnya. Mereka berdua tahu bahwa hidup tidak pernah mudah bagi mereka, tapi Alina selalu memiliki cara untuk membuatnya terasa sedikit lebih ringan.
Setelah memastikan ibunya kembali ke kamar untuk beristirahat, Alina melanjutkan pekerjaannya. Namun, pikirannya melayang jauh. Ia memikirkan buku-buku yang telah ia baca, pelajaran yang ia pelajari, dan masa depan yang ia bayangkan. Di sudut hatinya, ada ambisi yang tumbuh, keinginan untuk meraih sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan di kedai kecil ini. Namun, bagaimana caranya?
Sambil merenung, pintu kedai tiba-tiba terbuka, memecah kesunyian malam. Seorang pria dengan penampilan rapi, mengenakan pakaian mahal yang tampak kontras dengan lingkungan sekitar, masuk. Alina mengenalnya, pria itu sering datang ke kedainya. Seorang pedagang kaya yang memiliki usaha besar di kota.
“Selamat malam, Alina,” sapa pria itu dengan suara yang penuh wibawa. “Apakah kedaimu masih buka?”
Alina mengangguk, menyembunyikan sedikit rasa gugup yang muncul tiba-tiba. “Tentu saja, Tuan. Silakan duduk, saya akan segera melayani Anda.”
Pria itu tersenyum, duduk di kursi dekat jendela, mengamati Alina yang mulai menyiapkan pesanan. Ada sesuatu yang berbeda dari kunjungan malam ini, pikir Alina. Pria itu tampak lebih serius dari biasanya, seolah ada sesuatu yang penting yang ingin ia bicarakan.
Setelah menyerahkan secangkir kopi panas ke meja pria itu, Alina duduk di seberang meja, menunggu dengan sabar. Pria itu menyesap kopinya perlahan, kemudian meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di atas meja.
“Alina, aku sudah sering datang ke kedaimu, dan setiap kali aku terkesan dengan caramu bekerja dan cara kau berbicara,” katanya membuka percakapan. “Kau berbeda dari orang-orang lain di sekitarmu. Kau cerdas, cekatan, dan yang paling penting, kau memiliki keberanian yang jarang dimiliki oleh orang-orang seusiamu.”
Alina terdiam sejenak, mencerna kata-kata pria itu. Pujian seperti itu bukan hal yang biasa ia dengar, terutama dari seorang pria yang memiliki kedudukan tinggi seperti dia.
“Terima kasih, Tuan,” jawabnya dengan suara rendah namun penuh kepercayaan diri. “Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik di sini.”
Pria itu mengangguk pelan, lalu melanjutkan, “Aku ingin menawarkan sesuatu padamu, Alina. Sebuah kesempatan yang mungkin bisa mengubah hidupmu. Bagaimana jika kau bekerja untukku? Aku membutuhkan seseorang sepertimu, seseorang yang cerdas dan bisa dipercaya, untuk menjadi asistennya. Kau akan belajar banyak hal, bukan hanya tentang bisnis, tetapi juga tentang bagaimana dunia ini bekerja.”
Hati Alina berdebar-debar. Tawaran itu terdengar begitu menggiurkan, begitu luar biasa. Namun, di balik semua itu, ia juga merasa ragu. Meninggalkan kedai ini berarti meninggalkan satu-satunya tempat yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil.
“Tuan, saya… saya tidak tahu harus berkata apa,” gumamnya, mencoba menyusun pikirannya.
“Tidak perlu terburu-buru, Alina,” sahut pria itu dengan senyum hangat. “Pikirkan baik-baik. Aku hanya ingin kau tahu bahwa ada dunia yang lebih luas di luar sana, dan aku yakin kau bisa meraih sesuatu yang lebih besar.”
Malam itu, setelah pria itu pergi, Alina duduk sendirian di kedai, merenungi tawaran yang baru saja ia terima. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan dan keraguan. Namun, di dalam hatinya, ada satu hal yang pasti—ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia lewatkan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
General FictionDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...