Bab 6: Pilihan di Dalam Krisis

7 5 0
                                    

Menjelang pagi, Alina baru sadar jika dirinya tertidur di meja pelanggan. Segera ia menghampiri pintu, Alina tertegun ketika mendapati pintu kedai tidak terkunci. Dengan hati yang resah, ia berlari kecil menuju kasir, mengecek uang penghasilan kemarin dan buku-buku catatan pengeluaran, dan tak lama kemudian ia menghela nafas lega. "Fyuh, semuanya aman."

Karena terlalu lelah, Alina tidak sadar ia langsung terlelap setelah beberapa saat Laila pergi. Dan seketika, Alina teringat pada ibunya yang sedang sakit di rumah. Segera ia mengambil tas kecil berisi koin dan lembaran uang lalu mengunci pintu, membalikan papan yang menggantung di depan dinding kedai. Mau bagaimana lagi, kedai akan tutup untuk sementara waktu.

Dengan langkah hati-hati, Alina membuka pintu kamar ibunya dan melihat ibunya terbaring lemah di tempat tidur. Suasana di kamar terasa suram dengan cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela kecil, seolah menambah berat hati Alina.

“Ibu,” panggil Alina lembut, menghampiri tempat tidur ibunya dan duduk di sampingnya. “Bagaimana perasaanmu pagi ini?”

Ibu Alina membuka matanya dengan susah payah dan tersenyum lemah. “Selamat pagi, Nak. Aku merasa sedikit lebih baik, tapi masih sangat lelah.”

Alina menyentuh dahi ibunya dan merasakan panas demam yang tinggi. “Ibu masih demam. Aku khawatir jika dibiarkan kondisi ibu akan semakin memburuk. Kita harus segera mencari obat yang ampuh untukmu.”

Ibu Alina mengangguk, tampaknya setuju. “Tapi, kita tidak punya banyak uang untuk itu. Bagaimana kalau kita menunggu beberapa hari?”

Alina merasa berat hati, namun ia tahu harus mencari solusi secepat mungkin. “Tidak, kita tidak bisa menunggu. Aku akan pergi ke pasar hari ini untuk mencari obat yang kau butuhkan.”

Dengan tekad yang kuat, Alina meninggalkan rumah dan menuju pasar loak yang ramai. Langit pagi cerah tetapi suasana di pasar terasa panas dan penuh aktivitas. Alina bergerak cepat, mencari apotek yang menjual obat untuk demam tinggi.

Setelah beberapa waktu mencari, Alina menemukan apotek kecil di sudut pasar. Ia masuk dan menghadap ke bagian obat-obatan. “Permisi, apakah Anda memiliki obat untuk demam tinggi?” tanyanya kepada apoteker yang berdiri di belakang meja.

Apoteker memeriksa stok dan kemudian mengeluarkan botol obat dari rak. “Ya, kami memiliki obat ini. Harganya cukup mahal, 200 koin.”

Alina merasa tertekan saat melihat harga obat tersebut. “Saya butuh obat ini untuk ibu saya. Apakah ada cara lain untuk membayar dengan harga lebih murah?”

Apoteker menatap Alina dengan sedikit simpati. “Maaf, kami tidak bisa menurunkan harga. Obat ini memang harganya mahal. Jika Anda tidak bisa membayar, mungkin Anda harus mencari alternatif lain.”

Sementara Alina berdiri tertekan di depan meja, seseorang tiba-tiba mendekat dari arah belakang. Itu adalah pria kaya yang sama yang telah menawarkan pekerjaan kepada Alina. Pria itu, mengenakan jas mahal dan topi berwarna hitam, memandang Alina dengan ekspresi prihatin.

“Alina, bukan?” tanyanya dengan nada ramah. “Apa yang sedang kau lakukan di sini?”

Alina menoleh dan mengenali pria itu. “Oh, Tuan Rafiq. Saya mencari obat untuk ibu saya, tapi harganya terlalu mahal untuk kami.”

Tuan Rafiq melihat ke arah apoteker dan kemudian kembali menatap Alina. “Kau tahu, aku tidak bisa membiarkan kau pergi tanpa mendapatkan obat yang diperlukan. Biarkan aku membayar untuk obat itu.”

Alina terkejut dan merasa tidak nyaman. “Tapi, itu terlalu banyak. Kami tidak bisa menerima bantuan seperti ini.”

Tuan Rafiq tersenyum lembut. “Kau tidak perlu khawatir tentang biayanya. Ini adalah hal kecil yang bisa kulakukan untuk membantu. Lagipula, aku ingin memastikan bahwa kau dan ibumu tidak perlu khawatir tentang hal ini.”

Setelah beberapa saat, Tuan Rafiq membayar obat tersebut dan memberikannya kepada Alina. “Ambil obat ini dan berikan kepada ibumu. Aku harap dia segera merasa lebih baik.”

Alina menerima obat tersebut dengan rasa terima kasih yang mendalam. “Terima kasih banyak, Tuan Rafiq. Ini sangat berarti bagi kami.”

Tuan Rafiq mengangguk dan memberi isyarat untuk pergi. “Jangan sebut-sebut. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau dan ibumu baik-baik saja. Aku akan menunggumu untuk berbicara lebih lanjut tentang tawaran pekerjaan itu, jadi harap pertimbangkan dengan baik.”

Setelah Tuan Rafiq pergi, Alina segera kembali ke rumah dengan obat tersebut. Ketika ia sampai di rumah, ia memberikan obat itu kepada ibunya dan memberinya dengan penuh perhatian.

“Kau kembali dengan cepat. Apa yang terjadi?” tanya ibunya dengan mata yang sedikit lebih cerah.

Alina tersenyum dan memberikan obat kepada ibunya. “Tuan Rafiq membayar obat ini untuk kita. Dia juga bilang bahwa dia ingin berbicara lebih lanjut tentang tawaran pekerjaan yang dia berikan.”

Ibunya tampak terkejut. “Tuan Rafiq? Dia sungguh baik hati... Bagaimana menurutmu? Apakah kau sudah memikirkan tawaran itu?”

Alina mengangguk dan duduk di samping tempat tidur ibunya. “Aku sudah memikirkan banyak hal. Tawaran itu sangat menggiurkan, tapi aku merasa terjebak antara memanfaatkan kesempatan ini atau tetap bersama ibu di sini.”

Ibu Alina menggenggam tangan putrinya dengan lembut. “Kau harus memilih apa yang terbaik untukmu. Aku tahu kita telah bekerja keras di sini, tapi aku juga ingin melihatmu sukses. Jika tawaran itu benar-benar bisa membuka peluang yang lebih baik untukmu, mungkin ini adalah kesempatan yang harus kau ambil.”

Alina menghela napas dalam-dalam. “Aku merasa sangat bingung. Aku tidak ingin membuat keputusan terburu-buru dan kemudian menyesalinya.”

Ibu Alina memandang putrinya dengan penuh kasih. “Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungmu. Yang penting adalah kau merasa yakin dan bahagia dengan pilihanmu. Ingat, kita akan selalu memiliki dukungan satu sama lain.”

Alina merasa terharu mendengar kata-kata ibunya. “Terima kasih, Bu. Aku akan memikirkan semuanya sebelum membuat keputusan akhir. Aku tidak ingin membuat keputusan ini hanya karena tekanan atau rasa bersalah.”

Malam itu, kondisi ibu Alina mulai membaik setelah mendapatkan obat yang tepat. Suhu tubuhnya menurun, dan dia terlihat lebih segar. Alina merasa sedikit lega melihat kemajuan tersebut. Mereka berbicara lebih lanjut tentang tawaran pekerjaan dan apa yang akan dilakukan jika Alina memutuskan untuk menerimanya.

“Saat aku berbicara dengan Tuan Rafiq, aku merasa dia benar-benar serius tentang menawarkan pekerjaan itu,” kata Alina. “Dia bahkan membayar obat untuk kita tanpa ragu.”

Ibunya mengangguk. “Jika tawaran itu datang dari seseorang yang peduli seperti itu, mungkin ada banyak potensi yang bisa kamu manfaatkan. Tapi ingatlah untuk memilih dengan hati-hati.”

Alina mengangguk dan menatap ibunya dengan penuh rasa terima kasih. “Aku akan memikirkan semuanya dan memastikan untuk membuat keputusan yang terbaik. Terima kasih sudah selalu mendukungku.”

Saat malam semakin larut, Alina duduk di samping ibunya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa keputusan yang akan diambil adalah keputusan besar yang akan mempengaruhi masa depan mereka. Dengan dukungan dan pemahaman dari ibunya, Alina merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang dan membuat keputusan yang akan membentuk arah hidupnya.

Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana KekuasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang