Dalam seminggu terakhir, Alina bekerja dengan semangat yang luar biasa. Pagi hingga malam, ia berdiri di balik meja kedai, menyajikan kopi dengan senyuman hangat dan tangan yang cekatan. Kedai kecil itu semakin ramai, dipenuhi oleh para pelaut, pedagang, dan warga sekitar yang merasa betah di tempat yang penuh dengan keakraban. Alina tahu, setiap pelanggan yang datang adalah peluang baginya untuk menambah pemasukan, yang kemudian akan ia tabung sebagai bekal untuk memulai kehidupan barunya.
Semangat Alina bukan hanya berasal dari keinginan untuk memulai babak baru dalam hidupnya, tetapi juga dari rasa syukur melihat ibunya yang kini kembali sehat. Setiap pagi, saat mereka membuka kedai bersama, Alina merasakan kehangatan dari senyum ibunya yang sudah lama tidak ia lihat. Kondisi ibunya yang terus membaik menjadi salah satu dorongan kuat baginya untuk menerima tawaran Tuan Rafiq.
“Kita benar-benar beruntung, Alina. Kedai kita semakin ramai. Aku tidak pernah melihatnya seramai ini,” ujar ibunya suatu pagi saat mereka menyiapkan kedai.
Alina tersenyum, menatap ibunya dengan penuh kasih. “Ibu, ini semua berkat kita berdua. Tapi terutama, karena ibu sudah sehat lagi. Aku sangat senang melihat ibu kembali seperti dulu.”
Ibunya membalas senyum Alina, namun ada sedikit kelelahan yang tersirat di matanya. “Tapi, aku perhatikan kamu bekerja lebih keras dari biasanya, Alina. Apa ada yang kamu pikirkan?”
Alina terdiam sejenak, merasakan dorongan untuk memberitahu ibunya tentang keputusannya. Namun, dia merasa bahwa belum waktunya, bukan karena ragu, tetapi karena dia ingin memastikan semuanya siap sebelum berbicara lebih jauh. “Aku hanya ingin memastikan kita punya cukup tabungan, Bu. Lagipula, kedai kita harus tetap berjalan dengan baik.”
Ibunya mengangguk, meskipun tampak ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. “Kamu benar, Alina. Tapi jangan sampai kamu terlalu lelah. Kamu perlu jaga kesehatan juga.”
Hari-hari berlalu dengan cepat, setiap jam terasa semakin mendekatkan Alina pada keputusan besarnya. Selama seminggu penuh, dia menjaga ritme kedai dengan cermat, berusaha memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar, bahkan jika dia harus meninggalkan tempat itu untuk sementara waktu. Tabungannya perlahan-lahan bertambah, memberikan keyakinan bahwa dia bisa memulai perjalanan barunya dengan tenang.
Suatu pagi, saat Alina tengah membersihkan meja-meja kedai sebelum pelanggan mulai berdatangan, ibunya menghampirinya dengan ekspresi wajah yang lebih cerah dari biasanya. “Alina, aku ingin kau tahu bahwa aku merasa jauh lebih baik sekarang. Kamu tidak perlu khawatirkan aku lagi. Jika ada sesuatu yang ingin kamu lakukan, aku akan mendukungmu.”
Kata-kata itu menembus hati Alina, membuatnya sadar bahwa ini adalah saat yang tepat. Dia merasakan dorongan kuat untuk mengambil langkah berikutnya. Setelah sehari penuh bekerja, ketika matahari sudah mulai terbenam dan kedai berangsur-angsur sepi, Alina memutuskan untuk pergi ke telepon umum di sudut jalan. Di kantongnya, nomor telepon yang diberikan oleh Tuan Rafiq terasa seperti kunci menuju masa depan yang lebih baik.
Dengan napas yang sedikit tertahan, Alina memasukkan koin ke dalam telepon umum dan mulai memutar nomor yang diingatnya dengan baik. Setiap nada sambung terasa seperti hitungan waktu yang menentukan masa depannya.
“Hallo?” Suara Tuan Rafiq terdengar dari seberang, hangat dan tenang seperti biasa.
“Halo, Tuan Rafiq. Ini Alina,” jawabnya dengan suara yang terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan.
“Alina! Senang mendengar kabar darimu. Bagaimana kabarmu?”
“Baik, terima kasih, Tuan. Dan bagaimana dengan Anda?”
“Luar biasa, seperti biasa. Tapi aku lebih penasaran mendengar kabar darimu. Sudahkah kau mempertimbangkan tawaranku?”
Alina menarik napas dalam-dalam. “Saya sudah memikirkannya dengan serius, Tuan. Dan saya siap menerima tawaran Anda. Saya ingin belajar dan bekerja dengan Anda.”
Ada jeda singkat di seberang, sebelum akhirnya Tuan Rafiq berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih hangat dan penuh pengertian. “Aku sangat senang mendengar itu, Alina. Kau telah membuat keputusan yang tepat. Kapan kau bisa mulai?”
“Saya bisa datang kapan saja, Tuan. Tapi saya perlu memastikan ibu saya baik-baik saja. Saya ingin mengatur semuanya dulu di rumah, agar ibu tidak terlalu khawatir saat saya pergi.”
“Luar biasa, Alina. Kau benar-benar memikirkan segalanya. Aku mengerti, tidak perlu terburu-buru. Atur semuanya dengan baik, dan beri tahu aku kapan kau siap untuk berangkat. Aku akan menyiapkan semuanya untuk kedatanganmu.”
Alina tersenyum, meskipun Tuan Rafiq tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, Tuan. Saya akan menghubungi Anda lagi secepatnya.”
“Baik, Alina. Sampai bertemu, dan selamat menyiapkan segala sesuatunya.”
Setelah menutup telepon, Alina berdiri di sana untuk beberapa saat, membiarkan kata-kata Tuan Rafiq bergema di pikirannya. Keputusannya sudah bulat, dan tidak ada jalan kembali. Dia merasa lebih yakin dari sebelumnya bahwa ini adalah jalan yang benar untuknya. Dengan perasaan yang campur aduk antara kegembiraan dan sedikit ketakutan, dia kembali ke kedai, melihat ke arah pintu yang menuju rumahnya di lantai atas.
Malam itu, saat ia sedang duduk di meja dapur, ibunya menghampiri dengan secangkir teh hangat. “Alina, apa yang kamu pikirkan? Kamu tampak berbeda malam ini.”
Alina menatap ibunya dengan mata yang penuh keyakinan. “Bu, aku ingin bicara tentang sesuatu yang penting. Aku sudah memutuskan untuk menerima tawaran Tuan Rafiq untuk pergi bekerja dengannya dan belajar lebih banyak tentang bisnis.”
Ibunya terdiam sejenak, menatap Alina dengan pandangan yang sulit diartikan. “Kamu yakin, Alina? Ini keputusan besar.”
Alina mengangguk dengan mantap. “Aku sudah memikirkannya, Bu. Ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi. Aku ingin mengambilnya, untuk masa depan kita berdua.”
Ibunya tersenyum tipis, meskipun terlihat ada sedikit kesedihan di matanya. “Aku tahu ini adalah langkah yang tepat untukmu. Tapi ketahuilah, bahwa kamu akan selalu punya rumah di sini. Dan aku akan selalu mendukungmu, apa pun yang terjadi.”
Malam itu, Alina tidur dengan perasaan yang bercampur aduk, antara rasa senang, gugup, dan tekad yang semakin menguat. Dalam mimpi-mimpinya, ia melihat dirinya memasuki dunia baru, dunia yang penuh tantangan tetapi juga penuh dengan peluang untuk berkembang dan membuktikan dirinya.
Hari berikutnya, Alina mulai menyiapkan segala sesuatu untuk keberangkatannya. Dia memastikan ibunya memiliki semua yang dibutuhkan, mengatur pemasukan dari kedai agar bisa tetap berjalan selama dia tidak ada. Dia juga mulai menyiapkan pakaian dan barang-barang pribadi yang akan dibawa.
Setelah beberapa hari penuh persiapan, akhirnya Alina merasa siap. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang mendapatkan pekerjaan, tetapi juga tentang mengubah nasibnya dan nasib keluarganya. Dan meskipun ada ketakutan yang menghantui, Alina tahu bahwa dia tidak sendiri. Dukungan dari ibunya dan keyakinan dari Tuan Rafiq memberikan kekuatan baginya untuk melangkah maju.
Alina akhirnya menghubungi Tuan Rafiq kembali, mengabarkan bahwa ia sudah siap untuk berangkat. Suara Tuan Rafiq di telepon terdengar penuh antusiasme dan pengharapan. Mereka mengatur pertemuan untuk keberangkatan Alina, dan dalam beberapa hari ke depan, dia akan memulai perjalanan baru yang tidak hanya akan mengubah hidupnya, tetapi juga hidup orang-orang di sekitarnya.
Hari keberangkatan pun tiba, dan Alina berdiri di depan pintu rumahnya, memandangi kedai yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun. Dengan hati yang penuh tekad dan semangat, Alina melangkah menuju masa depan, siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
Fiction généraleDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...