Kesadaran Alina perlahan kembali, membawanya keluar dari kegelapan yang membekapnya beberapa waktu sebelumnya. Suara samar dan lembut yang familiar perlahan memasuki pikirannya, dan matanya terbuka sedikit demi sedikit. Cahaya lampu di kamar yang hangat menyambutnya, dan ia mendapati dirinya berbaring di tempat tidurnya, di kediaman Tuan Rafiq.
Rasa letih masih melekat di tubuhnya, tapi ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih menenangkan. Di sampingnya, duduk seorang wanita yang sangat dikenalnya—ibunya. Dengan wajah penuh kasih dan kekhawatiran, ibunya mengelus tangan Alina, seolah berusaha memindahkan kekuatan dan cintanya melalui sentuhan itu.
“Bu?” Alina berbisik pelan, suaranya serak dan lemah.
Ibunya segera mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya yang penuh harapan. “Sayang, kau sudah sadar,” suaranya lembut dan penuh kelegaan. Mata ibunya berkaca-kaca, tampak jelas betapa cemasnya dia selama ini.
Alina mengangguk pelan, dan air mata yang tak bisa ia tahan lagi mulai mengalir di pipinya. “Bu… apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya, masih setengah tak percaya bahwa sosok yang sangat dirindukannya kini ada di sampingnya.
Ibunya tersenyum lembut, sambil mengusap rambut Alina yang sedikit kusut. “Tuan Rafiq datang ke kedai tadi pagi. Dia memberitahuku tentang keadaanmu. Aku tidak bisa hanya berdiam diri di rumah setelah mendengar itu, jadi aku ikut dengannya ke sini. Aku harus melihatmu, memastikan kau baik-baik saja.”
Alina tak mampu menahan lagi, ia segera bangun dan memeluk ibunya erat-erat, melepaskan segala ketakutan dan rasa lelah yang menumpuk dalam dirinya selama ini. Ibunya membalas pelukan itu dengan hangat, membiarkan Alina menangis di pundaknya.
“Maafkan aku, Bu… Aku membuatmu khawatir,” kata Alina di sela tangisnya.
Ibunya mengusap punggung Alina, memberikan sentuhan yang menenangkan. “Tak perlu minta maaf, sayang. Aku tahu kau bekerja sangat keras. Aku hanya ingin kau ingat, tidak ada yang lebih penting dari kesehatanmu. Aku tahu kau ingin membantu banyak orang dan membuat kami bangga, tapi kau juga harus menjaga dirimu sendiri.”
Pelukan itu terasa begitu menenangkan, seperti beban yang selama ini menghimpit dadanya perlahan-lahan terangkat. Alina merasakan kekuatan baru meresap ke dalam dirinya, seperti ibunya mentransfer ketenangan dan energi melalui setiap sentuhan lembutnya.
Setelah beberapa lama, Alina akhirnya melepaskan pelukan itu, menatap wajah ibunya yang masih penuh kasih. “Bu, terima kasih sudah ada di sini. Aku benar-benar merindukanmu. Rasanya seperti mimpi buruk yang panjang, tapi sekarang… rasanya semua lebih baik.”
Ibunya tersenyum hangat. “Aku akan selalu ada untukmu, Alina. Apapun yang terjadi, kau selalu bisa mengandalkan kami. Aku dan Ayah sangat bangga padamu, tapi kami juga ingin kau bahagia dan sehat. Kau sudah melakukan yang terbaik, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Alina mengangguk, merasakan kedamaian yang jarang ia rasakan selama ini. Seolah-olah dengan hanya mendengar suara ibunya, semua kecemasan dan ketakutannya larut. “Aku akan mengingat itu, Bu. Aku akan lebih berhati-hati. Tapi, ada begitu banyak yang harus aku selesaikan. Masalah di perusahaan masih belum selesai, dan aku… aku harus memastikan semuanya berjalan lancar.”
Ibunya menggenggam tangan Alina dengan lembut, menatapnya dengan mata penuh kasih sayang. “Aku tahu kau bisa, Alina. Kau selalu begitu kuat dan cerdas. Tapi ingat, jangan memaksakan diri. Kau sudah melakukan banyak hal, dan aku yakin kau akan bisa menyelesaikan ini dengan baik. Tapi ingat untuk memberi dirimu waktu untuk bernapas.”
Alina menundukkan kepalanya, mengusir sisa-sisa kecemasan dari pikirannya. “Aku akan, Bu. Aku janji.”
Ibunya kembali tersenyum, lalu menatap sekeliling kamar Alina. “Rumah ini sangat indah, dan aku senang kau tinggal di tempat yang nyaman. Tapi jangan lupa untuk pulang ke rumah ketika kau bisa. Aku dan Ayah sangat merindukanmu.”
“Pasti, Bu. Aku juga sangat merindukan kalian,” jawab Alina dengan senyum yang lebih tulus.
Setelah beberapa saat berbicara, Alina merasa tubuhnya semakin ringan. Rasa lelah yang membekapnya seolah mulai memudar, digantikan oleh perasaan damai dan semangat baru. Ia bisa merasakan dirinya kembali utuh, lebih siap menghadapi tantangan yang ada di depan.
“Kau harus beristirahat lagi, sayang,” kata ibunya dengan lembut, melihat mata Alina yang mulai tampak lelah kembali. “Aku akan tetap di sini sampai kau benar-benar pulih.”
Alina mengangguk, merasa lega dan bersyukur atas kehadiran ibunya. “Terima kasih, Bu. Aku akan istirahat sekarang. Tapi aku berjanji, besok aku akan kembali bekerja dengan lebih baik. Aku akan menyelesaikan semua ini, untuk kita semua.”
Ibunya mencium kening Alina dengan lembut, sebelum menuntunnya untuk berbaring kembali di tempat tidur. “Istirahatlah, sayang. Aku akan ada di sini.”
Ketika Alina akhirnya tertidur kembali, dengan tubuh dan pikiran yang lebih ringan, ibunya duduk di samping tempat tidur, tetap memegang tangan Alina dengan penuh kasih sayang. Ia tahu bahwa putrinya adalah gadis yang kuat dan mampu, tapi ia juga tahu bahwa setiap orang membutuhkan dukungan dan cinta untuk tetap teguh menghadapi cobaan.
Malam itu berlalu dengan damai, dan ketika pagi kembali menyapa, Alina terbangun dengan energi baru yang mengalir dalam tubuhnya. Sinar matahari yang hangat menyelinap melalui jendela, dan ia merasakan kekuatan baru yang membuatnya siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Ibunya masih ada di sana, duduk di kursi di samping tempat tidur, dengan senyum lembut di wajahnya. “Pagi, sayang. Bagaimana perasaanmu?”
Alina meregangkan tubuhnya dan merasakan energi yang berlimpah di setiap serat ototnya. “Aku merasa jauh lebih baik, Bu. Terima kasih sudah ada di sini.”
Ibunya mengangguk dengan senang. “Aku akan selalu ada untukmu. Sekarang, mari kita hadapi hari ini dengan penuh semangat.”
Alina bangkit dari tempat tidur, merasakan tubuhnya kembali segar dan pikiran yang lebih jernih. Ia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang menentukan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk perusahaan dan orang-orang yang ia sayangi. Dengan ibunya di sisinya, ia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Namun, di sudut pikirannya, Alina tahu bahwa tantangan yang lebih besar mungkin masih menantinya. Sesuatu yang belum sepenuhnya ia sadari, sesuatu yang masih bersembunyi di balik bayang-bayang kesuksesan sementara yang telah ia raih. Tapi apa pun itu, Alina siap. Dengan dukungan ibunya dan keyakinan pada dirinya sendiri, ia akan melangkah maju, satu langkah demi satu langkah, sampai semuanya selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
Fiction généraleDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...