Bab 13: Rasa yang Tak Terucap

8 5 0
                                    

Alina kembali ke kamarnya dengan pikiran yang penuh campur aduk. Hari Minggu yang penuh tekanan dan diskusi yang intens bersama Amir meninggalkan jejak di pikirannya. Meski menikmati pastry coklat dan teh, ketegangan dalam diskusi mereka membuatnya sulit untuk benar-benar relaks.

Kamar Alina di rumah Tuan Rafiq didekorasi dengan sederhana namun elegan. Jendela besar memberikan pemandangan indah ke taman yang terawat. Dia duduk di meja belajarnya, mencoba menenangkan pikirannya dengan membaca catatan-catatan yang dibuat selama pelajaran. Namun, pikirannya terus kembali pada interaksi dengan Amir—adakah makna lain di balik ketegangan dan argumen yang mereka miliki?

Di ruang teras, Amir masih duduk sendirian, memandang bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit malam. Rasa lega setelah berbicara dengan Alina tidak sepenuhnya menghilangkan kebingungannya. Dia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan mentor dan murid antara mereka, tapi dia juga tidak ingin melanggar batas.

Keputusan untuk menyimpan perasaan dan fokus pada tujuan utama terasa benar, tetapi sulit. Selama ini, dia telah menjaga jarak emosional dengan murid-muridnya. Namun, Alina membuatnya merasa berbeda. Setiap kali dia melihat semangat dan ketulusan Alina, perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan.

Keesokan harinya, Alina melanjutkan rutinitas belajarnya bersama Amir. Suasana pagi itu tenang, dan Alina berusaha untuk mengalihkan pikirannya dari diskusi panas sebelumnya. Mereka mulai dengan sesi belajar biasa sebelum memulai tes mingguan.

Amir datang dengan senyum ramah yang sudah dikenalnya. "Selamat pagi, Alina. Bagaimana tidurmu semalam?"

Alina tersenyum, mencoba menampilkan sikap santai meski ada perasaan yang mengganggu. "Selamat pagi, Amir. Tidurku cukup baik, terima kasih. Bagaimana denganmu?"

Amir duduk di meja belajar, membuka buku dan kertas tes. "Aku baik-baik saja. Mari kita mulai hari ini dengan materi yang agak berbeda. Aku ingin tahu bagaimana kamu akan menangani studi kasus ini."

Mereka memulai sesi dengan materi studi kasus yang kompleks, dan Alina merasa semakin nyaman dengan setiap tantangan yang diberikan Amir. Namun, beberapa jam kemudian, mereka kembali ke topik strategi bisnis.

"Alina, mari kita bicarakan tentang risiko dalam bisnis. Bagaimana kamu menangani risiko yang tidak terduga yang muncul di tengah operasi sehari-hari?" tanya Amir dengan nada serius, namun kali ini dengan sedikit lebih banyak kehangatan dibandingkan sebelumnya.

Alina berpikir sejenak. "Risiko yang tidak terduga sering kali memerlukan penanganan yang fleksibel. Pertama, penting untuk memiliki rencana darurat dan strategi mitigasi risiko. Kedua, perusahaan harus memiliki sistem yang kuat untuk memonitor dan mengevaluasi risiko yang muncul secara berkala. Dengan cara ini, mereka bisa merespons lebih cepat dan menyesuaikan strategi sesuai kebutuhan."

Amir mengangguk, sepertinya terkesan. "Bagus. Tapi bagaimana jika risiko tersebut sangat besar dan mempengaruhi seluruh industri? Apakah rencana darurat yang ada cukup efektif dalam skala yang lebih luas?"

Alina mengerutkan kening, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. "Jika risiko tersebut cukup besar dan mempengaruhi seluruh industri, perusahaan harus bekerjasama dengan pihak-pihak lain dalam industri untuk mengatasi masalah tersebut. Ini mungkin melibatkan kerja sama dengan regulator, mengadopsi standar baru, atau berinvestasi dalam inovasi untuk menanggapi perubahan yang cepat."

Amir merenung sejenak sebelum menjawab, "Itu jawaban yang baik, dan benar bahwa kolaborasi bisa membantu. Namun, implementasi kolaborasi dalam skala besar sering kali memerlukan waktu dan kompromi. Seberapa cepat kamu berpikir perusahaan harus mulai beradaptasi untuk menghindari dampak yang lebih parah?"

Alina merasa sedikit tertekan oleh pertanyaan Amir yang terus-menerus menuntut. "Perusahaan harus mulai beradaptasi secepat mungkin. Waktu sangat penting dalam mengatasi risiko besar, dan perusahaan harus memiliki proses yang cepat untuk beradaptasi dengan perubahan."

Amir terlihat puas dengan jawaban tersebut, namun dia memutuskan untuk mengakhiri sesi dengan menenangkan suasana. "Oke, kita sudah banyak berbicara tentang risiko. Aku pikir kita perlu istirahat sejenak."

Mereka menuju dapur, dan Amir menyiapkan teh lagi. Alina mengambil beberapa kue kering dan coklat. Setelah beberapa saat, mereka duduk bersama di ruang tamu, menikmati makanan ringan.

"Amir, aku ingin bertanya," ucap Alina dengan hati-hati. "Kenapa kamu memilih untuk membangun perusahaanmu sendiri alih-alih mengikuti jejak Ayahmu?"

Amir menatapnya, sepertinya memikirkan jawabannya. "Itu keputusan yang tidak mudah. Aku ingin menciptakan sesuatu yang berbeda dan menantang diriku sendiri. Aku merasa bahwa membangun perusahaan sendiri memberi lebih banyak kebebasan untuk berinovasi dan beradaptasi."

Nadia, yang baru saja masuk ke ruangan, bergabung dalam percakapan. "Aku juga merasa begitu. Kami berdua ingin membawa pendekatan yang segar dan menghadapi tantangan dengan cara kami sendiri."

Alina mengangguk, memahami keputusan mereka. "Aku bisa mengerti itu. Kadang-kadang, menghadapi tantangan dari sudut pandang baru bisa sangat berharga."

Percakapan mereka berlanjut dengan lebih santai, dan suasana menjadi lebih hangat. Alina merasa lega bisa berbicara dengan Amir dan Nadia tentang topik yang lebih pribadi dan menyenangkan.

Namun, saat hari berlanjut, Alina masih tidak bisa menghilangkan rasa penasaran dan kekhawatiran tentang perasaannya sendiri dan dinamika yang berkembang antara dirinya dan Amir. Dia merasa bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar profesional, namun dia tidak yakin bagaimana menghadapinya.

Ketika malam tiba, Alina kembali ke kamarnya dengan pikiran yang sibuk. Dia tahu bahwa perjalanan ini adalah proses belajar dan penyesuaian diri yang besar, dan dia masih harus menemukan cara untuk menavigasi perasaan dan dinamika baru yang muncul.

Sementara itu, Amir dan Nadia juga merasa tidak sepenuhnya puas. Amir merasa bahwa ada sesuatu yang harus diungkapkan, tetapi dia tidak tahu kapan dan bagaimana melakukannya tanpa mengubah dinamika yang sudah ada. Nadia, sebagai kakak perempuan yang penuh perhatian, merasa bahwa Amir mungkin perlu lebih berhati-hati dengan perasaannya dan dampaknya terhadap Alina.

Hari berikutnya akan membawa tantangan dan kesempatan baru, dan Alina, Amir, serta Nadia harus siap untuk menghadapinya. Dengan perasaan yang campur aduk dan dinamika yang berkembang, masa depan mereka tidak pernah terasa lebih menegangkan dan penuh kemungkinan.

Seiring mereka melangkah menuju hari baru, Alina dan Amir masing-masing berusaha mencari jalan mereka sendiri—menyelesaikan masalah yang ada, mengejar impian mereka, dan mungkin, menemukan jawaban untuk perasaan yang mengganggu mereka.

Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana KekuasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang