Keesokan paginya, sinar matahari menerobos masuk ke celah-celah jendela kecil di kedai milik keluarga Alina. Udara pagi di kota pelabuhan masih sejuk, bercampur dengan aroma laut yang khas. Alina bangun lebih awal dari biasanya, menyadari banyak hal yang harus ia lakukan hari ini. Di dapur, ibunya sudah sibuk dengan adonan roti, seperti biasa.
"Selamat pagi, Bu," sapa Alina dengan suara lembut sambil merapikan rambutnya yang panjang. Ia menatap ibunya yang masih asyik dengan pekerjaannya.
"Pagi, Alina. Kau tidur nyenyak?" tanya ibunya tanpa mengalihkan pandangan dari adonan yang ia uleni.
"Cukup nyenyak, Bu. Tapi banyak yang harus aku pikirkan," jawab Alina sambil membantu menyiapkan peralatan di dapur.
Setelah beberapa saat, ibunya menoleh, memperhatikan wajah putrinya yang tampak sedikit murung. "Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kau tampak tidak seperti biasanya."
Alina tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Tidak ada apa-apa, Bu. Hanya banyak pekerjaan di kedai dan urusan lainnya."
"Kalau begitu, jangan terlalu dipikirkan. Kita hadapi satu per satu, ya?" kata ibunya sambil menepuk punggung Alina dengan lembut.
Alina hanya mengangguk. Meski ia sangat ingin menceritakan tentang tawaran pekerjaan dari pria kaya itu, ia merasa belum siap. Ada banyak hal yang masih harus ia pertimbangkan, terutama tentang bagaimana ibunya akan merespons berita tersebut.
Setelah sarapan sederhana, Alina mengambil keranjang belanjaannya. Hari itu, ia berencana pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan untuk kedai. Ibunya sudah membuat daftar belanja yang cukup panjang, tetapi Alina terbiasa dengan tugas ini. Selain membeli bahan makanan, ada satu hal lain yang selalu menjadi tujuannya di pasar: toko loak.
Pasar pelabuhan selalu ramai, dengan suara pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka, derap langkah orang-orang yang sibuk berlalu-lalang, dan aroma rempah-rempah yang khas. Alina melangkah dengan percaya diri, menyusuri lorong-lorong pasar yang sempit, sesekali berhenti untuk menawar harga atau memilih barang-barang yang dibutuhkannya.
Namun, tidak semua yang ada di pasar itu ramah. Beberapa anak laki-laki sebaya dengan Alina sering kali menunggu kesempatan untuk mengganggunya setiap kali ia hendak menuju toko loak. Anak-anak ini adalah bagian dari kelompok kecil yang kerap berkeliaran di pasar, mencari kesenangan dengan cara yang tidak selalu menyenangkan bagi orang lain.
Seperti yang ia duga, saat Alina mendekati toko loak favoritnya, anak-anak itu muncul. Mereka tertawa dan berbisik satu sama lain, jelas-jelas merencanakan sesuatu.
"Hei, lihat siapa yang datang! Si kutu buku pelabuhan!" seru salah satu dari mereka, seorang anak lelaki dengan rambut kusut dan mata yang licik.
Alina mencoba mengabaikan mereka dan melanjutkan langkahnya. Ia sudah terbiasa dengan ejekan semacam itu, tetapi hari ini ia merasa sedikit lebih mudah tersinggung. Mungkin karena tekanan pikiran tentang tawaran pekerjaan yang ia terima.
"Untuk apa kau ke sini lagi? Membeli buku bekas yang tidak berguna?" tanya anak lainnya sambil mendekati Alina dengan sikap menantang.
Alina menghentikan langkahnya dan menatap anak itu dengan tajam. "Apa urusanmu? Aku tidak mengganggumu, jadi jangan ganggu aku."
Anak-anak itu tertawa, tampaknya menikmati reaksi Alina. "Kau pikir kau pintar karena membaca buku-buku itu? Apa gunanya semua itu di tempat seperti ini?"
Mereka melanjutkan ejekan mereka, tetapi Alina berusaha keras untuk tetap tenang. Baginya, buku-buku itu lebih dari sekadar hiburan; mereka adalah jendela ke dunia yang lebih luas, dunia yang mungkin suatu hari nanti bisa ia jelajahi. Namun, di saat yang sama, ia tahu bahwa berdebat dengan anak-anak ini hanya akan membuang-buang waktu.
"Aku punya pekerjaan yang harus diselesaikan," kata Alina dengan tegas, mencoba menutup percakapan. "Jadi, kalau kalian tidak punya urusan lain, aku akan pergi."
Anak-anak itu tampak sedikit bingung dengan sikap tegas Alina. Setelah beberapa saat, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi, meskipun masih dengan tawa dan cemoohan di belakangnya. Alina hanya menghela napas lega dan melanjutkan perjalanannya ke toko loak.
Di dalam toko loak, suasananya jauh lebih tenang. Toko kecil itu dipenuhi dengan barang-barang lama, buku-buku usang yang berjajar di rak kayu, dan benda-benda antik yang dibiarkan berdebu. Alina menyukai tempat ini; di sini, ia merasa bisa melarikan diri sejenak dari kerasnya kehidupan di pelabuhan.
"Selamat pagi, Alina," sapa pemilik toko, seorang pria tua dengan kacamata tebal yang selalu tersenyum ramah. "Ada yang kau cari hari ini?"
"Selamat pagi, Pak. Aku sedang mencari sesuatu yang baru, mungkin buku tentang bisnis atau sesuatu yang berhubungan dengan politik," jawab Alina sambil mulai menelusuri rak-rak buku.
Pria tua itu mengangguk dan mulai mencari di antara koleksi bukunya. "Aku rasa aku punya beberapa buku yang mungkin cocok untukmu. Tunggu sebentar."
Alina menunggu dengan sabar, membiarkan pikirannya kembali melayang pada tawaran pria kaya itu. Buku-buku tentang bisnis dan politik semakin menarik baginya setelah tawaran tersebut; ia merasa butuh lebih banyak pengetahuan untuk memahami dunia yang baru akan ia masuki.
Pria tua itu kembali dengan beberapa buku di tangannya. "Ini dia, Alina. Beberapa di antaranya mungkin sedikit tua, tetapi isinya masih sangat relevan."
Alina menerima buku-buku itu dengan penuh rasa syukur. Ia membolak-balik halaman-halaman yang sudah mulai menguning, mencium aroma kertas tua yang selalu memberinya rasa tenang. Setelah memilih dua buku yang paling menarik perhatiannya, ia membayar dan memasukkannya ke dalam keranjang belanjaannya.
"Terima kasih, Pak. Buku-buku ini pasti akan sangat berguna," kata Alina sambil tersenyum.
"Sama-sama, Alina. Aku selalu senang melihat anak muda sepertimu yang masih menghargai buku-buku lama ini," balas pria tua itu dengan hangat.
Setelah selesai di pasar, Alina kembali ke kedai. Hari itu berjalan seperti biasa-pelanggan datang dan pergi, ibunya sibuk di dapur, dan Alina memastikan semua berjalan lancar. Namun, pikirannya terus kembali pada satu hal yang belum ia sampaikan kepada ibunya.
Saat matahari mulai terbenam dan kedai mulai sepi, Alina akhirnya memberanikan diri. Ia menunggu hingga hanya ada sedikit pelanggan yang tersisa sebelum mendekati ibunya yang sedang membersihkan meja di dekat pintu.
"Bu, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," kata Alina dengan suara pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Ibunya berhenti sejenak, menatap Alina dengan perhatian penuh. "Apa itu, Nak? Kau terdengar serius."
Alina menarik napas dalam-dalam. "Minggu lalu, seorang pria kaya datang ke kedai ini. Dia menawariku pekerjaan sebagai asistennya. Pekerjaan itu bisa membuka banyak peluang untukku, tapi aku belum memberitahumu karena aku masih ragu."
Wajah ibunya menunjukkan keterkejutan sejenak, tetapi ia segera tenang kembali. "Pekerjaan? Di mana, Alina?"
"Di perusahaan besar, Bu. Dia bilang aku punya potensi, dan dia ingin memberiku kesempatan untuk belajar dan berkembang," jawab Alina, masih dengan nada hati-hati.
Ibunya menatap putrinya dengan ekspresi yang sulit dibaca, campuran antara kebanggaan dan kekhawatiran. "Alina, Ibu tahu kau pintar dan penuh ambisi. Tapi apakah ini benar-benar yang kau inginkan? Bagaimana dengan kedai ini? Bagaimana dengan keluargamu?"
Alina menunduk, merasa sedikit bersalah. "Itulah yang membuatku ragu, Bu. Aku tidak ingin meninggalkan kalian, tetapi aku juga tahu bahwa kesempatan seperti ini tidak datang dua kali."
Ibu Alina terdiam, merenung sejenak. Setelah beberapa saat, ia berkata, "Nak, Ibu selalu ingin yang terbaik untukmu. Jika kau merasa ini adalah langkah yang tepat, Ibu tidak akan menghalangimu. Tapi kau harus benar-benar yakin bahwa ini adalah yang kau inginkan, dan kau siap dengan segala konsekuensinya."
Kata-kata ibunya membuat Alina terharu. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak akan mudah, tetapi dukungan ibunya sangat berarti baginya. "Terima kasih, Bu. Aku akan mempertimbangkan semuanya dengan baik."
Malam itu, setelah kedai tutup dan semua orang sudah beristirahat, Alina duduk sendiri di meja dapur. Ia membuka salah satu buku yang dibelinya dari toko loak tadi pagi, berharap bisa menemukan petunjuk atau inspirasi. Dengan lampu minyak yang menerangi halaman-halaman buku tua itu, Alina mulai membaca, mencoba mencari jawaban untuk masa depannya nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
General FictionDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...