Malam itu, angin bertiup lembut, membawa aroma bunga melati dari taman yang terletak di belakang rumah keluarga Rafiq. Suasana di dalam rumah megah itu tenang, hampir hening, hanya diiringi detik jarum jam yang menggema di ruang tamu yang luas. Namun, ketenangan itu segera dipecahkan oleh suara pintu yang terbuka. Tuan Rafiq, dengan langkah mantap dan penuh wibawa, memasuki ruang kerjanya, diikuti oleh kedua anaknya, Amir dan Nadia.
“Bagaimana keadaan Alina?” tanya Tuan Rafiq, langsung pada intinya setelah ia mengambil tempat di kursi kebesarannya, sebuah kursi yang seolah-olah menjadi simbol otoritas dan kebijaksanaannya.
Amir menghela napas panjang, lalu menjawab dengan nada serius. “Dokter mengatakan dia baik-baik saja, hanya kelelahan. Tapi, ini bukan pertama kalinya dia pingsan setelah menghadapi situasi yang penuh tekanan, Ayah.”
Nadia yang duduk di samping Amir, mengangguk setuju. “Ya, ini sudah kali ketiga dalam beberapa minggu terakhir. Pertama kali ketika Alina harus mempresentasikan strategi baru di hadapan dewan direksi, kemudian saat dia berhasil menutup kesepakatan penting dengan klien besar, dan terakhir tadi setelah memenangkan perdebatan dengan mitra asing yang hampir menghancurkan reputasi perusahaan kita.”
Tuan Rafiq terdiam sejenak, merenung. Matanya yang tajam menatap ke arah jendela, memperhatikan pantulan dirinya di kaca yang buram oleh embun malam. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyatukan semua potongan informasi yang diberikan oleh anak-anaknya.
“Alina memang pemikir yang kritis dan cepat tanggap,” ujar Tuan Rafiq akhirnya, suaranya berat namun penuh pemikiran. “Namun, ada harga yang harus dibayar untuk tingkat kecerdasan yang dimilikinya. Tampaknya, dia menyerap energi yang begitu besar dari tubuhnya setiap kali dia terlibat dalam situasi yang membutuhkan kerja otak ekstra.”
“Ini tidak bisa terus dibiarkan, Ayah,” kata Nadia dengan nada prihatin. “Dia adalah aset berharga bagi perusahaan kita, tapi jika kondisinya terus seperti ini, dia bisa saja mengalami sesuatu yang lebih buruk dari sekadar pingsan.”
Amir, yang biasanya lebih tenang, terlihat agak tegang. “Aku setuju dengan Nadia. Kita tidak bisa mengabaikan kondisi kesehatannya. Tapi di sisi lain, kita juga tidak bisa menghentikan Alina untuk terus berkontribusi. Dia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki banyak orang, dan itu sangat membantu kita di saat-saat genting seperti ini.”
Tuan Rafiq kembali terdiam, meresapi argumen dari kedua anaknya. Baginya, Alina adalah sosok yang sangat menjanjikan. Dia bukan hanya cerdas dan berdedikasi, tetapi juga memiliki semangat juang yang luar biasa. Namun, sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di dunia bisnis, dia juga tahu betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kesehatan. Terlalu sering, dia telah melihat orang-orang berbakat hancur karena mengabaikan kesehatannya sendiri demi ambisi yang terlalu besar.
“Kalian berdua benar,” ujar Tuan Rafiq setelah beberapa saat yang penuh pemikiran. “Alina memang memiliki potensi yang besar, tetapi kita tidak bisa mengorbankan kesehatannya. Kita harus menemukan cara agar dia bisa terus berkontribusi tanpa harus mempertaruhkan kesehatannya.”
Nadia mengangkat alis, tampak bingung. “Tapi bagaimana caranya, Ayah? Setiap kali Alina terlibat dalam perdebatan atau situasi krisis, dia selalu mengerahkan seluruh kemampuannya. Aku tidak tahu apakah ada cara untuk mencegahnya menyerap begitu banyak energi.”
Amir menatap ayahnya dengan serius. “Mungkin kita bisa memantaunya lebih dekat. Memberinya lebih banyak waktu untuk beristirahat antara tugas-tugas besar, atau mungkin bahkan mengurangi bebannya sedikit demi sedikit.”
Tuan Rafiq mengangguk pelan. “Itu bisa menjadi salah satu solusi. Kita harus memastikan bahwa Alina tidak terlalu memaksakan dirinya. Aku akan berbicara dengannya secara pribadi besok pagi. Tapi untuk saat ini, kita harus terus memantaunya dengan ketat. Dia harus merasa bahwa kita ada di sini untuk mendukungnya, bukan hanya memanfaatkan kemampuannya.”
“Tapi apakah itu cukup, Ayah?” tanya Nadia, suaranya dipenuhi kekhawatiran. “Apa kita tidak sebaiknya membatasi perannya dalam urusan perusahaan untuk sementara waktu, setidaknya sampai dia pulih sepenuhnya?”
Tuan Rafiq memandang putrinya dengan tatapan penuh pengertian. “Aku mengerti kekhawatiranmu, Nadia. Tapi kita harus berhati-hati. Alina adalah orang yang sangat berdedikasi, dan jika kita tiba-tiba membatasi perannya, dia mungkin merasa diabaikan atau bahkan tersingkir. Itu bisa merusak semangatnya, yang justru kita butuhkan di tengah situasi sulit seperti ini.”
“Jadi apa yang akan kita lakukan?” Amir mendesak, matanya menatap ayahnya dengan penuh harapan.
Tuan Rafiq menghela napas, lalu berkata dengan suara penuh keyakinan, “Kita akan memantaunya dengan cermat. Setiap tugas yang diberikan padanya akan kita evaluasi lebih dulu. Kita juga harus memastikan dia mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Dan yang terpenting, kita harus berbicara dengannya secara terbuka. Alina perlu tahu bahwa kita peduli padanya, bukan hanya karena kontribusinya, tetapi juga sebagai individu yang kita hargai.”
Amir dan Nadia mengangguk setuju, meskipun terlihat jelas bahwa mereka masih diliputi kecemasan. Mereka tahu betapa beratnya tekanan yang dihadapi Alina, dan meskipun mereka berusaha memberikan dukungan, mereka juga menyadari bahwa masalah ini tidak akan selesai dalam semalam.
“Baiklah,” kata Tuan Rafiq sambil bangkit dari kursinya. “Kita akan menindaklanjuti rencana ini mulai besok pagi. Dan satu hal lagi, jangan biarkan Alina merasa sendirian dalam menghadapi ini. Kita adalah tim, dan kita akan melewati krisis ini bersama-sama.”
Nadia tersenyum lemah. “Aku setuju, Ayah. Kita harus berada di sisinya, kapan pun dia membutuhkan kita.”
Amir menambahkan, “Aku akan pastikan untuk selalu ada jika dia memerlukan bantuan. Alina sudah banyak berkorban untuk kita, sekarang saatnya kita memastikan dia tidak harus melakukannya sendirian.”
Tuan Rafiq memandang kedua anaknya dengan bangga. “Kalian berdua adalah pemimpin yang hebat, dan aku tahu kalian akan membawa perusahaan ini keluar dari krisis. Tapi jangan lupa, di balik setiap pemimpin yang hebat, ada tim yang mendukungnya. Alina adalah bagian penting dari tim itu, dan kita harus memastikan dia tetap kuat.”
Dengan keputusan yang telah diambil, mereka akhirnya meninggalkan ruang kerja Tuan Rafiq, meskipun pikiran mereka masih dipenuhi oleh bayangan tentang kondisi Alina. Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya, dan meskipun mereka telah berencana untuk memantau Alina dengan lebih baik, kekhawatiran tetap menghantui mereka.
***
Sementara itu, di kamarnya yang sepi, Alina terbaring di tempat tidur dengan tubuh lemas. Meskipun tubuhnya terasa berat, pikirannya tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang akan terjadi ke depan. Ia tahu bahwa tantangan yang dihadapinya masih jauh dari selesai, dan apa yang ia alami hari ini mungkin hanya permulaan dari sesuatu yang lebih besar.
“Bagaimana aku bisa terus bertahan?” pikirnya dalam hati. “Apakah aku benar-benar mampu menghadapi semua ini?”
Alina menatap langit-langit kamarnya yang gelap, mencoba menemukan jawaban di tengah keheningan malam. Namun, meskipun pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran, ada satu hal yang masih membuatnya tetap bertahan—keinginan untuk membuktikan dirinya, tidak hanya kepada Tuan Rafiq dan kedua anaknya, tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Dengan pikiran itu, Alina akhirnya terlelap, meskipun hatinya masih dipenuhi oleh perasaan yang tidak menentu. Besok, tantangan baru akan datang, dan ia harus siap menghadapinya. Tapi untuk malam ini, setidaknya ia bisa beristirahat sejenak sebelum kembali ke medan perang yang bernama kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
Ficção GeralDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...