Pagi hari di kedai kopi keluarga Alina dimulai dengan kegiatan rutin yang sama seperti biasa. Alina dan ibunya sudah berada di kedai sejak matahari terbit, mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut pelanggan. Meskipun udara pagi yang dingin, suasana di dalam kedai terasa hangat dengan aroma kopi yang baru diseduh.
"Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa kubantu?" tanya Alina sambil memeriksa persediaan bahan-bahan di dapur.
Ibu Alina, yang sedang mengatur cangkir dan sendok di meja, tersenyum lemah. "Selamat pagi, Alina. Tidak perlu khawatir, aku sudah hampir selesai. Tapi bisa tolong periksa beberapa biji kopi? Sepertinya kita kehabisan."
Alina mengangguk dan pergi ke ruang penyimpanan. Selama beberapa menit, ia memeriksa stok biji kopi dan mengisi kembali tempat penyimpanan. Meskipun tampaknya semua berjalan lancar, Alina mulai memperhatikan bahwa ibunya tampak tidak sehat. Raut wajah ibunya terlihat pucat dan sering kali tampak kelelahan, dan ia tidak bisa mengabaikan kekhawatirannya.
Ketika kedai mulai ramai dengan pelanggan pagi, Alina berusaha menyibukkan diri dengan menyajikan kopi dan merespons pesanan. Namun, ia tidak bisa mengabaikan rasa cemas yang semakin mendalam mengenai kondisi ibunya.
"Bu, sepertinya kau terlihat lelah. Apakah kau baik-baik saja?" tanya Alina dengan nada penuh perhatian saat ibunya menghampiri meja kasir.
Ibu Alina memaksakan senyum. "Oh, tidak apa-apa, Nak. Aku hanya sedikit lelah. Mungkin aku hanya butuh sedikit istirahat."
Alina merasa tidak nyaman mendengar itu. "Kau harus benar-benar istirahat. Jika perlu, aku bisa mengurus kedai sendiri hari ini. Kau pulang saja dan beristirahat di rumah."
Ibu Alina menatap putrinya dengan tatapan lembut. "Kau benar-benar baik hati, Alina. Tapi, aku rasa aku bisa bertahan beberapa jam lagi. Nanti aku pulang lebih awal."
Setelah beberapa jam berlalu, tampaknya kondisi ibu Alina semakin memburuk. Dengan hati-hati, Alina memutuskan untuk membujuk ibunya agar pulang dan beristirahat. Akhirnya, ibu Alina setuju dan pulang ke rumah, meninggalkan Alina untuk menjaga kedai sendirian.
Saat kedai mulai sepi menjelang sore, Alina merasa kelelahan tetapi juga merasa harus membuat keputusan penting mengenai tawaran pekerjaan yang telah diberikan kepadanya. Ditengah-tengah kebingungannya, pintu kedai terbuka lalu memunculkan seorang gadis yang familiar. "Laila?"
"Selamat sore, Alina! Aku melihat ibu kamu tidak di sini. Ada yang salah?" tanya Laila, masuk dengan penuh perhatian.
Laila memasuki ruangan dengan senyuman cerah. Laila adalah teman baik Alina yang telah lama mengenalnya. Ia dikenal sebagai sosok yang tulus, baik hati, dan penuh semangat. Dengan rambut hitam yang dikepang rapi dan mata berkilauan penuh kebaikan, Laila memiliki kehadiran yang mampu membuat suasana menjadi lebih hangat dan ceria. Pakaian sederhana namun rapi yang dikenakannya mencerminkan gaya hidup yang sederhana namun penuh rasa hormat terhadap orang-orang di sekelilingnya.
Alina tersenyum lemah. "Selamat sore, Laila. Ibu sedang tidak enak badan, jadi dia pulang untuk beristirahat. Aku menjaga kedai sendirian hari ini."
Laila mengerutkan keningnya dengan prihatin. "Oh, aku sangat menyesal mendengarnya. Aku harap dia cepat sembuh. Tapi kau tampaknya terlihat tegang. Ada yang bisa aku bantu?"
Alina menghela napas dan menatap temannya dengan penuh rasa syukur. "Sebenarnya, aku ingin berbicara denganmu tentang sesuatu. Ada tawaran pekerjaan yang sangat penting, tapi aku merasa bingung dan tertekan."
Laila mengangguk, memahami betapa beratnya situasi Alina. Mereka duduk di meja dekat jendela, tempat kedai terasa lebih tenang saat sore hari. Laila memperhatikan ekspresi wajah Alina yang penuh kebingungan.
"Cerita padaku tentang tawaran pekerjaan itu," kata Laila dengan lembut.
Alina memulai penjelasan. "Pria kaya yang sering datang ke kedai kami menawarkan pekerjaan yang sangat baik. Dia menawarkan posisi sebagai asisten pribadi di perusahaannya. Tugasnya meliputi pekerjaan administratif dan strategis yang penting, dan dia juga menawarkan dukungan finansial yang cukup besar."
Laila mendengarkan dengan seksama. "Itu terdengar seperti kesempatan yang sangat berharga. Tapi aku bisa melihat dari ekspresi wajahmu bahwa ini bukan keputusan yang mudah."
Alina mengangguk. "Benar. Aku merasa terbagi antara memanfaatkan peluang ini dan tetap bersama ibuku di kedai. Kami telah bekerja keras di sini selama bertahun-tahun, dan aku merasa bersalah jika harus meninggalkannya."
Laila memandang Alina dengan serius. "Kau harus memikirkan masa depanmu juga. Jika tawaran ini dapat memberikan stabilitas dan peluang untuk berkembang, mungkin itu adalah langkah yang perlu diambil. Tapi aku mengerti jika kau merasa bertanggung jawab terhadap keluarga."
Alina mulai merasa frustrasi. "Kau tidak mengerti, Laila. Ini bukan hanya tentang kesempatan kerja. Ini tentang meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi bagian besar dari hidupku. Aku merasa terjebak antara keinginan untuk maju dan tanggung jawab terhadap keluargaku."
Laila terlihat terkejut oleh kemarahan Alina. "Aku hanya mencoba membantumu melihat keseluruhan gambaran. Kau tidak bisa terus mengorbankan dirimu untuk tanggung jawab tanpa memikirkan dirimu sendiri. Ini adalah kesempatan yang mungkin tidak datang lagi."
Alina melanjutkan dengan nada semakin tinggi. "Dan aku merasa seperti aku harus memilih antara masa depanku dan tanggung jawabku terhadap ibu. Aku tidak bisa hanya meninggalkannya begitu saja tanpa berpikir panjang."
Laila menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan napas panjang. "Aku tidak bermaksud mengecilkan perasaanmu, Alina. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kadang-kadang mengambil risiko adalah bagian dari perkembangan. Tapi aku juga menghargai betapa pentingnya keluargamu bagimu."
Alina menatap Laila dengan penuh emosi. "Maaf jika aku terdengar kasar. Aku hanya merasa sangat tertekan dan bingung. Aku tidak ingin membuat keputusan sembarangan."
Laila meraih tangan Alina dengan lembut. "Tidak apa-apa. Aku tahu ini adalah situasi yang sulit dan penuh emosi. Aku hanya ingin kau membuat keputusan dengan hati-hati, dan aku ada di sini untuk mendukungmu, apa pun hasilnya."
Alina menghela napas dalam-dalam, merasa lebih tenang setelah percakapan yang penuh emosi tersebut. "Terima kasih, Laila. Aku benar-benar menghargai dukunganmu. Aku tahu aku harus memikirkan semuanya dengan matang dan berbicara dengan ibuku sebelum membuat keputusan akhir."
Laila tersenyum lembut. "Senang bisa membantumu. Ingat, apa pun keputusanmu nanti, itu akan datang dari tempat yang penuh pertimbangan dan cinta. Kau adalah orang yang bijaksana dan penuh perhatian. Aku percaya kau akan membuat keputusan yang terbaik."
Mereka melanjutkan percakapan dengan nada yang lebih santai, berbicara tentang hal-hal lain untuk mengalihkan perhatian dari ketegangan awal. Laila berbagi beberapa cerita lucu dan ringan, yang membuat Alina tertawa dan merasa lebih baik.
Ketika saatnya tiba bagi Laila untuk pulang, ia berdiri dan meraih tasnya. "Aku harus pergi sekarang, tapi ingatlah, Alina, aku selalu ada jika kau butuh teman untuk bicara. Aku yakin kau akan membuat keputusan yang tepat."
Alina tersenyum dengan rasa terima kasih. "Terima kasih banyak, Laila. Aku akan memikirkan semua yang kau katakan. Aku benar-benar menghargai dukungan dan persahabatanmu."
Setelah Laila meninggalkan kedai, Alina merasa lebih siap untuk menghadapi percakapan dengan ibunya dan membuat keputusan akhir. Ia tahu bahwa diskusi dengan Laila, meskipun tegang, telah membantunya melihat berbagai sisi dari masalah yang dihadapi. Dengan tekad baru dan dukungan teman, Alina merasa lebih percaya diri untuk melangkah maju, apa pun keputusan yang akan diambil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
Fiksi UmumDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...