Alina merasa ruangan itu semakin menyempit ketika pertanyaan yang sudah lama dia pendam akhirnya meluncur dari bibirnya. Di ruang kerja yang megah milik Tuan Rafiq, Alina menatap sosok pria yang telah memberinya kesempatan hidup baru dengan penuh tanda tanya. Pikirannya bercampur aduk, antara rasa syukur dan kebingungan yang perlahan-lahan menggerogoti keyakinannya.
“Tuan Rafiq,” Alina memulai dengan suara pelan namun tegas, “Saya ingin bertanya tentang posisi saya di sini. Saat di kedai, Anda mengatakan bahwa saya akan menjadi asisten pribadi Anda. Namun, hingga saat ini saya lebih banyak bekerja di perusahaan milik Amir dan Nadia. Sebenarnya, di mana saya akan ditempatkan?”
Tuan Rafiq menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menatap Alina dengan senyum yang bijaksana. Ia mengangguk, seolah menghargai kejujuran yang terpancar dari gadis muda itu. “Pertanyaan yang bagus, Alina. Dan memang sudah waktunya kau tahu lebih banyak tentang rencanaku untukmu.”
Alina duduk diam, menunggu dengan penuh perhatian. Tuan Rafiq menghela napas sejenak, pandangannya menerawang ke luar jendela, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan.
“Perusahaan milikku, seperti yang mungkin sudah kau dengar, lebih besar dan lebih maju dibandingkan perusahaan yang dikelola oleh Amir dan Nadia. Aku memang berniat menjadikanmu sebagai asisten pribadiku, tetapi sebelum itu, kau harus melalui ujian yang lebih berat.”
Alina mengernyit. “Maksud Anda ujian apa, Tuan?”
“Masalah yang sedang dihadapi Amir dan Nadia, itulah ujiannya. Kau tahu, kedua anakku ini berbakat, tapi masih banyak yang harus mereka pelajari. Perusahaannya sedang dalam krisis, dan aku ingin melihat bagaimana kau menangani situasi ini. Sejauh ini, kau telah menunjukkan potensi besar, tetapi potensi itu harus diuji dalam medan yang nyata dan penuh tekanan. Jika kau berhasil membantu mereka melewati krisis ini, maka kau akan siap menjadi asistennya Tuan Rafiq, sepenuhnya.”
Mendengar penjelasan ini, hati Alina berkecamuk. Di satu sisi, ia merasa dihargai karena telah dipercaya dengan tanggung jawab yang besar. Di sisi lain, ia sadar bahwa apa yang dihadapinya saat ini hanyalah permulaan dari perjalanan panjang yang penuh rintangan.
“Saya mengerti, Tuan,” kata Alina setelah mencerna kata-kata Tuan Rafiq. “Dan saya akan melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan tugas ini.”
Tuan Rafiq tersenyum, sebuah senyum yang penuh makna dan kepercayaan. “Aku tidak pernah meragukanmu, Alina. Ingatlah, ujian ini tidak hanya tentang kemampuanmu menangani masalah, tetapi juga tentang bagaimana kau membawa dirimu dalam situasi sulit. Ketangguhan, kecerdasan, dan integritasmu akan diuji. Dan aku yakin kau bisa melalui semua ini.”
Setelah perbincangan itu, Alina merasa beban yang dipikulnya semakin berat. Namun, rasa tanggung jawab yang besar itulah yang memberinya semangat baru. Ia tahu bahwa yang dihadapinya bukan hanya masalah bisnis biasa, tetapi sebuah tantangan yang akan menentukan masa depannya.
***
Hari berikutnya, Alina kembali ke kantor dengan perasaan was-was. Krisis yang melanda perusahaan Amir dan Nadia semakin terasa, dan suasana di kantor mulai memanas. Beberapa mitra penting perusahaan mulai meragukan kemampuan Amir dan Nadia dalam menangani situasi ini, dan gosip tentang ketidakmampuan mereka mulai beredar di kalangan karyawan.
Puncak dari semua ini terjadi ketika sebuah tuduhan serius dilayangkan oleh salah satu mitra asing perusahaan. Mereka menuduh Amir dan Nadia melakukan kecurangan dalam laporan keuangan, sesuatu yang dapat menghancurkan reputasi perusahaan jika tidak segera ditangani.
Ruang rapat penuh sesak dengan ketegangan ketika pertemuan darurat diadakan. Amir dan Nadia, bersama dengan beberapa anggota tim inti, duduk di sekitar meja panjang. Alina juga hadir, meskipun dia lebih memilih untuk mendengarkan daripada berbicara.
Mitra asing yang mengajukan tuduhan tersebut berada di ujung meja, dengan ekspresi keras dan tanpa kompromi. “Kami telah memeriksa laporan keuangan yang Anda kirimkan, dan kami menemukan beberapa kejanggalan yang sangat mencurigakan. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.”
Amir mencoba menjelaskan, tetapi suaranya terdengar goyah. “Kami yakin ini hanya kesalahpahaman. Kami akan meninjau kembali laporan tersebut dan…”
“Kesalahpahaman?” Mitra tersebut memotong dengan tajam. “Kami berbicara tentang angka-angka yang tidak cocok, dan Anda hanya menyebutnya kesalahpahaman?”
Nadia mencoba menengahi, tapi suaranya pun tenggelam dalam ketegangan yang semakin membara. Alina, yang merasa waktu semakin berlarut-larut, merasakan dorongan kuat untuk berbicara. Ia tahu bahwa jika dibiarkan seperti ini, keadaan akan semakin memburuk.
“Maaf, bolehkah saya bicara?” Alina berkata dengan tegas, membuat semua mata tertuju padanya. Ada keraguan di beberapa wajah, tapi Alina mengabaikannya. Dia menatap mitra asing itu dengan penuh keyakinan.
“Apa yang Anda katakan tentang kejanggalan dalam laporan keuangan, saya tidak menyangkalnya. Tetapi saya yakin bahwa semua ini memiliki penjelasan yang logis. Saya meminta waktu untuk meneliti kembali angka-angka tersebut dan memastikan bahwa kami dapat memberikan penjelasan yang tepat.”
Mitra tersebut tampak tidak yakin, tetapi ada sesuatu dalam nada bicara Alina yang membuat mereka memberinya kesempatan. “Baiklah, kami akan memberikan waktu sampai akhir hari ini. Tapi ingat, jika penjelasan Anda tidak memuaskan, kami akan mengajukan tuntutan resmi.”
Alina mengangguk, merasa bahwa waktu sudah hampir habis. Setelah pertemuan berakhir, dia segera membawa dokumen-dokumen yang dipermasalahkan ke meja kerjanya dan mulai memeriksanya dengan teliti.
Waktu terus berjalan, dan Alina semakin larut dalam pekerjaannya. Ketika ia menemukan titik lemah dalam laporan tersebut, ia menyadari bahwa ini bukanlah kesalahan yang disengaja, melainkan hasil dari data yang salah input. Dengan bukti-bukti di tangannya, Alina kembali ke ruang rapat dengan langkah cepat.
Ketika dia kembali berhadapan dengan mitra asing tersebut, Alina mempresentasikan temuannya dengan penuh percaya diri. “Setelah meninjau kembali laporan keuangan, saya menemukan bahwa ada kesalahan input data yang menyebabkan angka-angka tersebut tidak cocok. Kami tidak berusaha untuk menutupi atau memanipulasi apapun. Kesalahan ini adalah murni kesalahan manusia, dan kami sudah memperbaikinya.”
Mitra tersebut terlihat berpikir keras. Mereka memeriksa dokumen yang Alina berikan, sementara ruangan itu dipenuhi ketegangan yang tebal. Akhirnya, setelah beberapa saat yang menegangkan, mereka mengangguk dengan enggan. “Baiklah, kami akan menerima penjelasan ini. Tapi ingat, kami akan memantau dengan lebih ketat ke depannya.”
Alina menghela napas lega, tapi tubuhnya terasa lemah. Ketika mitra asing itu meninggalkan ruangan, Alina nyaris tidak mampu berdiri. Tekanan dan kelelahan akhirnya mengambil alih, dan sebelum ia sempat berkata apa-apa, pandangannya gelap, dan ia pingsan di tempat.
***
Malam itu, Alina terbaring di kamarnya, mencoba merenungi semua yang telah terjadi. Pikirannya berkecamuk, tidak bisa berhenti memikirkan apa yang telah ia hadapi hari ini. Meski ia telah memenangkan perdebatan, rasa cemas masih menghantui. Ia tahu bahwa ini baru permulaan, dan krisis ini jauh dari selesai.
“Bagaimana aku bisa melewati semua ini?” gumam Alina pelan, perasaan tak menentu memenuhi dirinya.
Di luar, angin malam bertiup lembut, membawa ketenangan yang sejenak meredakan kepalanya yang berat. Tapi di dalam dirinya, badai baru saja dimulai. Tantangan yang lebih besar menunggu, dan Alina belum tahu bagaimana ia akan menghadapinya. Namun, satu hal yang pasti—Alina tidak akan mundur. Tidak sekarang, tidak pernah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
General FictionDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...