Pagi yang cerah di pelabuhan, kehidupan perlahan-lahan kembali normal setelah malam yang penuh kekhawatiran bagi Alina. Ibu Alina yang mulai membaik, memberikan semangat tersendiri bagi Alina untuk kembali bekerja di kedai mereka. Ketika ia membuka pintu kedai, udara segar menerobos masuk, membawa aroma laut yang khas, bercampur dengan bau kopi yang selalu menjadi penanda hari baru.
Kedai mulai terisi oleh pelanggan tetap yang mencari secangkir kopi untuk memulai hari mereka. Alina, seperti biasa, melayani dengan senyum ramah dan gerak-gerik lincah. Namun, di tengah kesibukan itu, pikirannya masih tertuju pada percakapan dengan ibunya semalam, tentang tawaran pekerjaan dari Tuan Rafiq.
Tak lama kemudian, pintu kedai kembali berderit, menandakan kedatangan seorang pelanggan. Ketika Alina menoleh, ia melihat Tuan Rafiq memasuki kedai dengan langkah tenang dan senyuman di wajahnya. Dia tampak lebih santai hari ini, mengenakan pakaian yang lebih sederhana, tetapi tetap memancarkan aura kewibawaan.
“Selamat pagi, Alina,” sapa Tuan Rafiq dengan ramah.
“Selamat pagi, Tuan Rafiq,” balas Alina, mencoba menyembunyikan sedikit kegugupannya. “Apa yang bisa saya buatkan untuk Anda hari ini?”
“Aku akan ambil kopi hitam saja, seperti biasa,” jawab Tuan Rafiq sambil mengambil tempat duduk di sudut ruangan yang lebih tenang. “Tapi, yang lebih penting, aku ingin melanjutkan pembicaraan kita tentang tawaran yang kuberikan kepadamu.”
Alina menyiapkan kopi dengan cepat dan membawanya ke meja Tuan Rafiq. Setelah meletakkan cangkir di depan pria itu, ia duduk di seberangnya, merasa ada sesuatu yang lebih serius dari sekadar tawaran pekerjaan yang akan mereka bicarakan.
Tuan Rafiq menyeruput kopinya dengan perlahan, tampak menikmati setiap tegukan. “Alina, aku ingin jujur denganmu,” katanya memulai percakapan. “Aku melihat potensi besar dalam dirimu. Namun, sebelum kamu mulai bekerja denganku, ada beberapa hal yang perlu kamu pelajari dan kembangkan.”
Alina mengerutkan keningnya, penasaran. “Apa yang Anda maksud, Tuan Rafiq?”
“Meski aku yakin dengan kemampuanmu dalam menangani tugas-tugas tertentu, aku juga menyadari bahwa ada beberapa kekurangan yang harus diatasi,” jawab Tuan Rafiq dengan tenang. “Misalnya, pemahamanmu tentang etika bisnis dan diplomasi mungkin belum cukup matang. Ini bukan kesalahanmu, tentu saja, karena aku tahu latar belakangmu yang tidak bersekolah dan berasal dari keluarga terpencil. Tapi, untuk posisi yang akan kau emban, hal ini sangat penting.”
Alina terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Tuan Rafiq. “Jadi, Anda ingin saya belajar lebih dulu sebelum benar-benar mulai bekerja dengan Anda?”
“Benar,” jawab Tuan Rafiq sambil mengangguk. “Aku ingin kau tinggal di kediamanku selama tiga bulan. Di sana, kau akan belajar langsung dariku dan orang-orang yang ahli di bidang mereka. Ini akan menjadi kesempatan bagimu untuk meningkatkan kemampuanmu dan memahami lebih dalam tentang dunia bisnis.”
Alina terkejut dengan tawaran ini. “Tiga bulan? Itu waktu yang lama. Apa Anda benar-benar yakin ingin berinvestasi sebesar itu hanya untuk saya?”
Tuan Rafiq tersenyum, melihat keraguan di wajah Alina. “Alina, izinkan aku menjelaskan. Aku bukan tipe orang yang membuat keputusan tanpa dasar. Instingku sangat kuat saat pertama kali melihatmu. Aku melihat seseorang yang memiliki ketekunan, kejujuran, dan kecerdasan alami yang sulit ditemukan. Meskipun kau belum bersekolah secara formal, cara berpikirmu sudah jauh di atas rata-rata orang yang pernah aku temui.”
Alina menatap pria itu dengan campuran rasa kagum dan skeptis. “Tapi kenapa saya? Ada banyak orang yang lebih berpendidikan dan mungkin lebih cocok untuk pekerjaan ini.”
Tuan Rafiq meletakkan cangkirnya, lalu menatap Alina dengan serius. “Mereka mungkin lebih berpendidikan, tapi mereka tidak memiliki apa yang kau miliki. Orang-orang yang terlalu berpendidikan kadang lupa bagaimana berpikir dengan naluri. Mereka terjebak dalam teori dan prosedur. Sedangkan kau, Alina, kau memiliki kemampuan untuk berpikir cepat dan kreatif. Itu adalah kualitas yang sangat berharga dalam dunia bisnis, terutama ketika menghadapi situasi yang tidak terduga.”
Alina mengangguk perlahan, mulai memahami apa yang dimaksud Tuan Rafiq. “Tapi, bagaimana jika saya tidak bisa memenuhi harapan Anda?”
“Jangan khawatir tentang itu,” jawab Tuan Rafiq dengan nada tenang. “Aku tidak mengharapkan kesempurnaan darimu. Aku mengharapkan dedikasi dan keinginan untuk belajar. Itu saja. Selebihnya, kita bisa kembangkan bersama-sama.”
Alina merenungkan kata-kata tersebut. Ia merasa dihargai, tetapi juga merasakan tanggung jawab besar yang menantinya. “Jika saya menerima tawaran Anda, bagaimana dengan ibu saya? Saya tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”
Tuan Rafiq mengangguk dengan pengertian. “Tentu saja. Jika kau menerima tawaran ini, kita bisa mengatur sesuatu untuk memastikan ibumu mendapatkan perawatan yang baik selama kau tidak di rumah. Aku bisa membantu dengan biaya perawatan dan memastikan dia baik-baik saja.”
Alina menatap pria itu dengan rasa syukur. “Anda benar-benar memikirkan segalanya, Tuan Rafiq. Saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih.”
Tuan Rafiq tersenyum lagi, kali ini dengan lebih hangat. “Alina, jika kau menerima tawaran ini dan melakukan pekerjaanmu dengan baik, itulah cara terbaik untuk berterima kasih padaku. Kita akan saling membantu untuk mencapai tujuan kita masing-masing.”
Alina merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. Tawaran ini memang menakutkan, tetapi juga penuh dengan peluang yang mungkin tidak akan datang lagi dalam hidupnya. “Baiklah, Tuan Rafiq. Saya akan mempertimbangkannya dengan sangat serius. Terima kasih atas semua yang Anda tawarkan dan perhatiannya kepada saya dan ibu.”
“Bagus,” jawab Tuan Rafiq sambil berdiri. “Aku senang kau mulai melihat ini sebagai peluang, bukan hanya tantangan. Ambil waktu yang kau butuhkan untuk memutuskan. Ketika kau sudah siap, hubungi aku. Kita bisa mulai segera setelah itu.”
Tuan Rafiq menatap Alina dengan senyum puas sebelum berpamitan dan meninggalkan kedai. Alina menatap pintu yang baru saja ditutup di belakangnya, merasa campuran emosi yang rumit. Tawaran itu menggiurkan, tetapi juga penuh tanggung jawab yang besar. Namun, di balik semua itu, ada rasa percaya diri yang tumbuh, rasa bahwa ia bisa melakukan lebih dari apa yang selama ini ia bayangkan.
Hari berlanjut dengan Alina melayani pelanggan yang datang dan pergi, tetapi pikirannya terus berputar pada percakapan tadi. Tawaran Tuan Rafiq adalah peluang untuk merubah hidupnya, namun Alina tahu keputusan ini tidak bisa diambil dengan tergesa-gesa. Bagaimanapun juga, ia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang, dengan keyakinan bahwa apa pun yang ia pilih, itu akan menjadi keputusan yang didasari oleh pertimbangan yang matang dan hati yang tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
Fiksi UmumDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...