Malam itu, udara di kota pelabuhan terasa lebih lembut dibandingkan biasanya. Kedai kecil milik keluarga Alina masih diterangi oleh cahaya lampu minyak yang samar, memantulkan bayangan-bayangan hangat di dinding kayu yang sudah tua. Alina, seperti biasa, berada di balik meja kasir, mengamati setiap pelanggan yang datang dan pergi. Matanya yang tajam menelusuri setiap sudut ruangan, memastikan semuanya berjalan lancar.
Hari itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa pelanggan tetap yang datang untuk menikmati secangkir kopi panas dan makanan ringan. Pak Karim, yang selalu datang menjelang malam, duduk di sudut ruangan dengan cangkir kopi di tangan. Wajahnya yang lelah tetap menunjukkan senyum hangat ketika Alina menyapanya.
"Bagaimana hari ini, Pak?" tanya Alina sambil menyeka meja di dekatnya.
Pak Karim menghela napas panjang, lalu mengangkat bahunya sedikit. "Tidak banyak yang berubah, Alina. Hari-hari di pelabuhan selalu sama-kerja keras dengan upah yang tak seberapa. Tapi, aku tetap bersyukur."
Alina mengangguk penuh pengertian. Ia tahu betapa kerasnya kehidupan di pelabuhan ini, betapa sulitnya bertahan hidup dengan pekerjaan yang berat dan bayaran yang minim. Namun, ia juga tahu bahwa Pak Karim adalah salah satu dari sedikit orang yang selalu mencoba melihat sisi positif dari setiap keadaan.
"Kopi hitam memang cocok untuk menghangatkan malam seperti ini," lanjut Pak Karim, mencoba mencairkan suasana.
Alina tersenyum kecil, menyukai percakapan sederhana semacam itu yang selalu memberikan rasa nyaman di tengah kerasnya kehidupan. Ia kemudian berbalik untuk kembali ke dapur, memastikan segala sesuatu siap jika ada pelanggan baru yang datang.
Sementara itu, di bagian belakang kedai, ibu Alina sedang sibuk menyiapkan adonan untuk roti yang akan dipanggang besok pagi. Ibu Alina adalah wanita yang kuat, dengan tangan yang cekatan dan hati yang penuh kasih. Meski hidup tidak mudah, ia selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi keluarganya, terutama bagi Alina dan adik perempuannya, Laila.
"Ibu, apa yang bisa kubantu?" tanya Alina sambil masuk ke dapur.
Ibu Alina mengangkat wajahnya, tersenyum melihat putrinya yang selalu sigap membantu. "Tidak banyak, Alina. Aku hanya menyiapkan adonan untuk besok. Kau tahu, roti kita selalu laris di pagi hari."
Alina mengangguk, lalu mendekat untuk membantu. Saat tangan mereka sibuk dengan adonan, pikiran Alina kembali teringat pada tawaran pria kaya yang datang ke kedainya malam sebelumnya. Pria itu, dengan pakaian mewah dan senyumnya yang penuh arti, telah memberinya tawaran yang sangat menggoda-tawaran untuk bekerja sebagai asistennya.
Namun, Alina belum menceritakan hal ini kepada ibunya. Ada perasaan bimbang di dalam dirinya, antara keinginan untuk meraih kesempatan itu dan keraguan meninggalkan kedai serta keluarganya. Bagaimana jika ibunya tidak setuju? Bagaimana jika ini bukan pilihan yang tepat? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya.
"Kau terlihat sedikit melamun, Alina," kata ibunya tiba-tiba, memecah lamunan putrinya.
Alina tersentak sedikit, lalu tersenyum untuk menutupi kegugupannya. "Tidak, Bu. Aku hanya berpikir tentang hari esok. Banyak hal yang harus disiapkan."
Ibu Alina memandang putrinya dengan mata yang penuh kasih sayang. "Kau bekerja terlalu keras, Nak. Kadang-kadang Ibu khawatir kau tidak punya waktu untuk dirimu sendiri."
"Aku baik-baik saja, Bu," jawab Alina, mencoba menenangkan ibunya. "Aku menikmati bekerja di sini, bersama Ibu."
Mereka berdua melanjutkan pekerjaan mereka dalam diam, namun pikiran Alina tetap terikat pada tawaran yang belum ia sampaikan.
***
Malam semakin larut, dan kedai mulai sepi. Hanya ada satu atau dua pelanggan yang masih duduk, menikmati kopi mereka dalam keheningan. Alina sedang membersihkan meja ketika pintu kedai terbuka, dan sosok pria yang sama dengan yang datang malam sebelumnya muncul di ambang pintu.
Pria itu, dengan postur tubuh yang tegap dan pakaian yang rapi, segera menarik perhatian Alina. Senyumnya yang ramah namun penuh wibawa membuatnya tampak berbeda dari pelanggan lain yang biasa datang ke kedai ini. Alina merasa jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Pria ini jelas bukan orang sembarangan, dan kehadirannya lagi malam ini membuat Alina semakin penasaran.
"Selamat malam, Alina," sapa pria itu dengan nada hangat yang terdengar sangat tulus.
"Selamat malam, Tuan," jawab Alina sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Silakan duduk, saya akan segera melayani Anda."
Pria itu memilih tempat duduk yang sama seperti malam sebelumnya, dekat jendela. Ia tampak tenang, seolah-olah tempat ini sudah menjadi bagian dari rutinitasnya. Alina menyiapkan secangkir kopi seperti yang biasa dipesan pria itu, lalu membawanya ke meja dengan langkah yang tenang.
"Terima kasih, Alina," katanya saat menerima cangkir kopi. "Aku selalu suka kopi di kedaimu ini. Rasanya berbeda, lebih hangat, mungkin karena dibuat dengan hati."
Alina tersenyum tipis, senang mendengar pujian itu. "Kami memang selalu berusaha memberikan yang terbaik, Tuan. Terima kasih sudah kembali berkunjung."
Pria itu menatap Alina dengan tatapan yang dalam, seolah-olah sedang menimbang sesuatu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara, suaranya lembut namun penuh makna.
"Alina, apakah kau sudah memikirkan tawaranku?"
Alina terdiam sejenak, mencoba menata kata-katanya sebelum menjawab. "Tuan, tawaran Anda sangat menarik, dan saya sangat terhormat. Namun, saya belum sempat membicarakannya dengan ibu saya. Saya masih ragu untuk meninggalkan kedai ini dan keluarga saya."
Pria itu mengangguk, seolah-olah sudah mengantisipasi jawaban tersebut. "Aku mengerti, Alina. Keputusan seperti ini memang tidak mudah. Tapi ingatlah, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Aku melihat potensi besar dalam dirimu, potensi yang mungkin tidak akan berkembang jika kau hanya tinggal di sini."
Alina menunduk, merasakan beban dari kata-kata pria itu. Benar, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ada lebih banyak hal yang bisa ia capai. Namun, ada juga perasaan bersalah yang menyelimuti pikirannya, meninggalkan keluarganya yang sangat ia cintai.
"Jika aku menerima tawaran Anda, apa yang akan terjadi pada keluargaku? Siapa yang akan menjaga kedai ini?" tanya Alina dengan suara lirih.
Pria itu tersenyum lembut, lalu meletakkan cangkir kopinya dengan hati-hati. "Aku tidak akan memaksamu untuk segera memutuskan, Alina. Tapi aku bisa membantumu. Jika kau setuju untuk bekerja denganku, aku bisa memberikan dukungan finansial untuk keluargamu. Mereka tidak akan kekurangan apa pun, dan kau bisa fokus pada pekerjaanmu."
Alina terdiam, mencerna kata-kata itu. Dukungan finansial? Itu bisa sangat membantu keluarganya, terutama ibunya yang sudah mulai menua dan adiknya yang masih kecil. Tapi, apakah itu cukup untuk membuatnya merasa nyaman meninggalkan mereka?
"Terima kasih, Tuan. Saya sangat menghargai tawaran dan perhatian Anda terhadap keluarga saya," jawab Alina dengan hati-hati. "Tapi, bisakah saya meminta waktu untuk memikirkan ini lebih lanjut?"
"Tentu saja, Alina. Aku tidak ingin kau merasa tertekan," jawab pria itu dengan tenang. "Pikirkan baik-baik, dan ketika kau siap, beri tahu aku. Aku akan menunggu."
Setelah percakapan itu, pria kaya tersebut menikmati sisa kopinya dalam diam. Alina tetap berdiri di belakang meja, merasa pikirannya dipenuhi dengan berbagai pemikiran dan perasaan yang campur aduk. Tawaran itu terlalu besar untuk diabaikan, tetapi konsekuensinya juga sangat berat.
Ketika pria itu akhirnya pergi, Alina berdiri di ambang pintu, menyaksikan punggungnya yang perlahan menghilang di kejauhan. Malam itu, setelah kedai tutup dan ibunya serta adiknya sudah tidur, Alina duduk sendiri di meja yang sering dipakai pria kaya itu. Pikirannya berkelana, memikirkan masa depan yang kini tampak berada di persimpangan jalan.
Ia tahu bahwa keputusan apa pun yang diambilnya akan mengubah hidupnya, mungkin selamanya. Di satu sisi, ada kedai kecil dan keluarganya, tempat di mana ia merasa nyaman dan aman. Di sisi lain, ada dunia luar yang menawarkan kesempatan yang lebih besar, namun juga penuh dengan ketidakpastian.
Alina menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan kegelisahannya. Ia tidak harus membuat keputusan malam ini. Masih ada waktu untuk berpikir, untuk berbicara dengan ibunya, dan untuk mempertimbangkan semua kemungkinan. Namun, satu hal yang ia tahu pasti-hidupnya tidak akan pernah sama lagi, apa pun keputusan yang akhirnya ia buat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
Ficção GeralDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...